Menakar Efektivitas Razia Produk Pangan

Oleh :
Oryz Setiawan
Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat (Public Health) Unair Surabaya

Keamanan pangan merupakan suatu kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat sehingga aman untuk dikonsumsi. Sesuai dengan Undang-Undang No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan dimana hakikat keamanan pangan adalah indikator esensial dari ketahanan pangan yang mandiri dan berdaulat. Keamanan pangan merupakan prasyarat dasar produk pangan, sehingga penjaminan keamanan pangan harus melekat pada upaya pemenuhan kebutuhan pangan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu isu keamanan pangan selalu menarik perhatian karena menyangkut urusan kesehatan, bahkan berpotensi merenggut nyawa seseorang.
Di pihak lain, bak rutinitas tahunan, bahwa razia produk pangan selama bulan puasa hingga memasuki hari raya Idul Fitri kian masif. Tak dipungkiri memang berdasarkan analisis resiko ketika bulan puasa hingga menjelang lebaran peredaran produk pangan terus meningkat seiring dengan hukum pasar yang ditandai dengan meningkatnya permintaan masyarakat terhadap berbagai produk pangan.
Kondisi tersebut diperkuat dengan budaya menyiapkan aneka menu hidangan, baju lebaran, perbekalan mudik hingga menyiapkan angpao sebagai gaya hidup dan sifat konsumerisme masyarakat. Hal tersebut dapat diprediksi bahwa ditengah derasnya arus modernisasi yang ditandai dengan gencarnya produsen, distributor hingga penjual produk pangan yang mengenjot produksi. Produk pangan di Indonesia, tidak hanya dituntut untuk memberikan pasokan produk pangan dalam jumlah dan gizi yang cukup (nutritionally adequate), tetapi juga aman (safety). Selama ini problematika terhadap kompleksitas produk pangan belum dibarengi dengan aspek pengawasan yang optimal. Beberapa hal yang menyebabkan kondisi tersebut antara lain : pertama, rasio jenis dan jumlah produk pangan yang beredar di pasaran sangat jauh timpang dengan jumlah pengawas yang tersedia.
Belum lagi distribusi yang jauh dari perkotaan hingga sampai pelosok-pelosok desa terpencil misalnya. Sementara ketersediaan tenaga District Food Inspector (DFI) yang ada di Kabupaten/Kota sangatlah minim sehingga sulit untuk memantau peredaran makanan minuman yang tersebar luas di daerah. Kedua, hanya sampel atau contoh produk pangan yang diuji sehingga belum sepenuhnya merepresentasikan kualitas dan keamanan produk pangan yang beredar. Hal ini wajar bila dikaitkan dengan berbagai diferensiasi dan aneka ragam produk pangan sehingga sekaligus lulus pengujian produk pangan belum dapat menggambarkan keamanan dan kesehatan bagi konsumen sebagai pengguna akhir (user). Sebagai contoh terdapat bahan makanan tambahan yang diperkenankan hingga batas ambang tertentu namun bila dikonsumsi secara terus menerus dalam jangka panjang tetaplah berpotensi mengganggu kesehatanan seseorang.
Ketiga, razia produk bersifat musiman dan insidental sehingga oknum dapat mempermainkan momentum untuk menghindari atau memperoleh celah untuk mengelabuhi petugas misalnya. Bisa jadi mereka memiliki strategi penjualan langsung dari rumah kerumah atau door to door terutama di kalangan masyarakat yang belum well informed. Keempat, efek atau dampak dari pemberitaan atas produk bermasalah yang ditemukan sehingga timbul kepanikan di masyarakat yang pada akhirnya terjadi resistensi atas produk tersebut. Perlu waktu yang tidak singkat untuk memulihkan (recovery) untuk ‘mengembalikan’ agar produk tersebut diterima kembali oleh masyarakat. Masifnya penggunaan pewarna dan pengawet makanan, seperti formalin yang biasanya pada tahu, rhodamin B pada krupuk dan makanan ringan dan boraks yang biasanya pada bakso adalah salah satu sasaran dari razia sebab produk pangan tersebut paling banyak dikonsumsi masyarakat sehingga dengan demikian yang menyangkut hajat hidup masyarakat luas haruslah menjadi prioritas pemerintah.
Namun harus juga disadari bahwa keamanan pangan adalah sesuatu yang bersifat abstrak. Kita baru menyadari ada masalah ketidakamanan pangan setelah jatuh korban. Sebab itu, siapa pun yang secara sengaja atau karena kelalaiannya menyebabkan jatuhnya korban di masyarakat akibat mengonsumsi pangan yang tidak aman, sudah sepantasnya mendapat hukuman yang setimpal sesuai dengan tingkat kesalahan yang dilakukan. Sudah saatnya mengubah paradigma atau pola pikir bekerja musiman misal saat Bulan Ramadhan, menjelang hari raya atau ketika ada laporan baru ditindaklanjuti namun melaksanakan pengawasan secara berkesinambungan.
Ancaman penyalahgunaan terhadap keamanan produk pangan berkorelasi langsung dengan hak asasi manusia atas keamanan, kelayakan dan keselamatan produk pangan yang berbahaya, kadaluarsa, bahan tambahan pangan yang melebihi standar keamanan pangan dan ancaman lainnya. Adanya food contact materials adalah semua bahan dan komponen yang “dengan segaja/intended” akan mengalami kontak dengan bahan pangan, tidak hanya yang berkaitan dengan bahan pengemas, tetapi juga pisau, wadah, dan alat-alat pengolahan lainnya, seperti bahan melamin yang rentan mengalami efek negatif bila terpapar panas secara langsung dan durasi lama. Secara kimia mekanis terjadinya transfer atau migrasi ke dalam bahan pangan melebihi jumlah yang bisa diterima secara keamanan pangan sehingga dibutuhkan pemahaman atas jenis produk food contact materials yang berpotensi menimbulkan permasalahan kesehatan jika tidak diantisipasi.

———- *** ———-

Tags: