Menakar Kekuatan LGBT

Najamuddin KhairurrijalOleh :
Najamuddin Khairur Rijal
Dosen Prodi Hubungan Internasional FISIP Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)

Tuntutan dan gerakan para Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) agar eksistensinya diakui dan diterima dalam tata kehidupan masyarakat tidak boleh dianggap remeh. Derasnya tuntutan mereka menunjukkan bahwa mereka punya kekuatan: kekuatan jaringan, organisasi, dan massa.
Perkembangan dan eksistensi kelompok tersebut tidak lepas dari perubahan politik di yang terjadi di Indonesia. Demokrasi yang mendorong universalisasi nilai-nilai universal hak asasi manusia (HAM) menjadi momentum kaum LGBT untuk memperjuangkan identitas gender dan orientasi seksual mereka. Hal itu dipertegas dengan banyaknya jumlah organisasi atau komunitas LGBT yang tersebar di hampir seluruh wilayah Indonesia.
Sejalan dengan itu, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi sekaligus memfasilitasi para LGBT untuk memperjuangkan identitas mereka. Perkembangan internet dengan berbagai fiturnya menjadi instrumen penting LGBT untuk menunjukkan eksistensinya dan berusaha mendapatkan status sebagai kelompok masyarakat yang diakui sehingga tidak lagi terdiskriminasi dalam berbagai dimensi sosial, ekonomi, politik, budaya, dan lainnya.
LGBT di Indonesia
Jumlah kaum LGBT di Indonesia tidak memiliki angka pasti. Hal tersebut karena masih banyak di antara mereka yang enggan untuk menyatakan identitas dan orientasi seks mereka karena kuatnya dominasi budaya dan agama. Kata Tom Boellstorff dalam bukunya The Gay Archipelago (2005), “Orang gay dan lesbi ada di mana-mana di Indonesia, dari Sabang ke Merauke, tetapi lebih tersembunyi. Sampai sekarang, banyak antaranya yang merasa mereka harus tertutup.”
Berdasarkan hasil survei CIA pada tahun 2008, jumlah gay di Indonesia mencapai 16,6 juta. Jumlah itu menempatkan Indonesia pada urutan kelima negara dengan jumlah gay terbanyak di dunia dari jumlah keseluruhan yang mencapai 469,4 juta jiwa (www.topix.com). Itu gay, hanya satu elemen dari LGBT. Artinya, kekuatan kelompok LGBT untuk kemudian membentuk gerakan dalam memperjuangkan identitas mereka tidak bisa dianggap sepele secara kuantitas.
Kekuatan LGBT itu kian tampak dalam beberapa pekan terakhir. Kita disibukkan dengan perbincangan tentangnya yang kemudian secara sadar atau tidak menggiring kita ke arah pro-kontra tak berkesudahan. Bahkan gerakannya bisa disebut sistematis, salah satunya dengan adanya stiker (ikon) yang merepresentasikan hubungan LGBT di media sosial, seperti Line dan Whatsapp. Tidak hanya itu, beberapa sumber menyebutkan, mereka didanai oleh pihak asing. Semua itu menunjukkan bahwa LGBT punya kekuatan.
Lebih lanjut, kini kaum LGBT semakin berani menunjukkan identitas mereka dibandingkan dengan di masa lalu. Diskriminasi multidimensional yang dialami oleh LGBT dan belum adanya pengakuan terhadap kelompok tersebut kian membangkitkan semangat para aktivis LGBT untuk memperjuangkan pengakuan identitas mereka dan perlindungan dari segala bentuk diskriminasi (Ariyanto dan Triawan 2008). Dalam bahasa Dede Oetomo, pendiri organisasi GAYa Nusantara, LGBT seolah-olah dipandang sebagai “anak haram ibu pertiwi”.
Perjuangan identitas sebagai “bukan anak haram” kemudian ditandai dengan banyaknya organisasi dan komunitas LGBT. Hingga tahun 2013 setidaknya terdapat sebanyak 119 organisasi atau komunitas LGBT di 28 dari 34 provinsi di Indonesia. Beberapa di antaranya seperti GAYa Nusantara, Arus Pelangi, Ardhanary Institute, Institut Pelangi Perempuan, Our Voice, Violet Grey, HerLounge, Gaya Dewata, IGAMA, PLU Sehati, dan lainnya. Jumlah tersebut belum termasuk organisasi-organisasi yang concern pada hak-hak asasi manusia dengan perjuangan pada hak-hak LGBT.
Jaringan LGBT
Keterbukaan politik melalui demokratisasi melahirkan banyak tuntutan-tuntutan terhadap penegakan HAM yang selama ini terkungkung oleh dominasi Orde Baru. Maka, ketika kran kebebasan terbuka, suara-suara kritis yang selama ini terkekang mulai berteriak lantang. Tidak terkecuali, kaum LGBT yang selama ini dipinggirkan di berbagai sektor kehidupan, mengalami diskriminasi multidimensional, dan tidak diterima sebagai kelompok sosial.
Suara perjuangan dari komunitas LGBT di Indonesia juga tidak terlepas dari adanya pengaruh dari Barat mengenai kebebasan LGBT sebagai pilihan hidup yang dibawa oleh nilai-nilai demokrasi. Teknologi informasi dan komunikasi memegang peranan penting dalam penyebaran ide-ide tersebut. Pada titik ini, ide-ide kebebasan yang ada di Barat berusaha diperjuangkan dalam konteks Indonesia yang notabene-nya masih sangat sensitif secara budaya dan agama mengenai isu LGBT.
Revolusi teknologi informasi dan komunikasi tersebut selanjutnya berimplikasi pada kesalingterhubungan komunitas LGBT di Indonesia dengan komunitas LGBT di level regional atau global dengan terbentuknya jaringan-jaringan komunitas LGBT. Dalam skala nasional, hingga tahun 2013 terdapat dua jaringan nasional yang menghimpun 119 organisasi LGBT (Oetomo dkk. 2013), yakni Jaringan Gay, Waria dan Laki-laki yang Berhubungan Seksual dengan Laki-laki/LSL Indonesia (GWL-INA) dan Forum Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, Interseks, dan Queer (LGBTIQ). Adapun di tingkat regional atau internasional, misalnya The Global Alliance for LGBT Education (GALE), International Lesbian, Gay, Bisexual, Trans and Intersex Association (ILGA), serta Island of South East Asia Network of Male and Transgender Sexual Health (ISEAN).
Melalui jaringan tersebut di atas, para LGBT mengorganisasikan usaha merebut dan memperjuangkan identitas mereka. Caranya melalui kampanye-kampanye HAM dengan beragam instrumen. Pertemuan-pertemuan di level nasional dan regional juga digagas untuk mendesak pemerintah menerima eksistensi LGBT sebagai kelompok sosial dan memberikan hak-hak LGBT sebagai warga negara. Misalnya pada tahun 2013 digelar pertemuan level regional di Bali untuk menggagas Being LGBT in Asia, yakni mengenai bagaimana seharusnya LGBT hidup dan diperlakukan dalam masyarakat Asia. Terakhir, adalah cara sistematis melalui kampanye via beragam fitur media sosial.
Uraian di atas menunjukkan bahwa LGBT punya kekuatan. Masalahnya adalah di mana posisi kita? Apakah berada pada pihak yang pro dengan alasan bahwa menjadi LGBT adalah hak esensial manusia. Atau, berada pada pihak yang kontra dengan menolak LGBT karena dipandang bertentangan dengan fitrah kemanusiaan, budaya, dan agama. Pada posisi manapun, satu hal yang penting adalah LGBT itu ada dan siapa pun tidak boleh menutup mata. Jika tidak berpihak, setidaknya jangan melayangkan caci-maki dengan segala sumpah-serapah terhadapnya. Tolak ukurnya adalah nilai kemanusiaan, bahwa setiap manusia akan bangkit melawan untuk memperjuangkan hakikat kemanusiaannya ketika ia merasa diinjak dan ditindas.

                                                                                                         ——————– *** ——————–

Rate this article!
Menakar Kekuatan LGBT,5 / 5 ( 1votes )
Tags: