Menakar Peran PBB dalam Konflik Rusia-Ukraina

Oleh :
Keshia Maureen BT
Mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Brawijaya Malang

Invasi Rusia ke Ukraina pada 24 Februari 2022 lalu mencuri perhatian masyarakat global dari berbagai kalangan. Tagar #WWIII dan frasa ‘World War 3’ atau perang dunia ketiga menjadi trending di Twitter, kemudian diikuti munculnya berbagai artikel berita terkait yang turut menjadi perbincangan publik di berbagai media.

Hal ini menunjukkan adanya keresahan masyarakat internasional, tersentak dengan berita yang ada, tidak menduga bahwa di zaman yang sudah maju ini masih mungkin terjadi perang secara fisik. Dengan adanya PBB selama tujuh dekade terakhir, sebagian besar warga global mungkin merasa dalam zona nyaman, di mana tidak terjadi perang-perang fisik seperti sebelumnya. Namun, hal ini dipatahkan dengan operasi militer yang dilakukan Rusia ke sejumlah kota di Ukraina.

Rusia berharap dengan serangan ini dapat memperingatkan Ukraina agar tidak bergabung atau mengurungkan niatnya untuk mendaftar menjadi anggota North Atlantic Treaty Organization (NATO), organisasi pertahanan bentukan negara-negara barat yang telah berdiri sejak 1949 itu.

Serangan ke Ukraina oleh Rusia tersebut adalah serangan militer terbesar di Benua Eropa setelah Perang Dunia II, pun merupakan keberlanjutan dari ketegangan yang sudah ada sebelumnya antara keduanya. Serangan pada 24 Februari 2022 itu diyakini Rusia sebagai upaya menjaga rasa aman dari bayang-bayang NATO -satuan kekuatan militer negara-negara barat, di wilayah yang berbatasan langsung dengan negaranya. Selain itu, Presiden Federasi Rusia, Vladimir Putin mengklaim bahwa Ukraina adalah saudaranya berdasarkan latar belakang historis, yakni sebelum pecahnya Uni Soviet, dan dengan alasan itu pula Rusia melarang Ukraina untuk bergabung dengan kekuatan barat.

Kekhawatiran Rusia dengan bergabungnya Ukraina ke NATO akan membuatnya sangat rentan akan serangan barat, bisa dipahami jika dilihat dari kacamata neorealisme. Kondisi security dilemma, kondisi di mana suatu negara berusaha meningkatkan keamanannya seperti dengan memperkuat militer, bergabung dalam aliansi dan sebagainya. Namun, tindakan ini direspon oleh negara lainnya (terlebih negara tetangganya) sebagai ancaman, sehingga ikut meningkatkan keamanannya pula untuk mengantisipasi apabila negara pertama (ataupun bersama aliansinya) melancarkan serangan. Neorealis memandang sistem internasional bersifat anarki, sehingga masing-masing negara akan berusaha untuk survive, mempertahankan eksistensinya.

Akan tetapi, tindakan Rusia tersebut tidak dapat dibenarkan sebab Ukraina saat itu bahkan baru mengungkapkan niatannya saja untuk bergabung dengan NATO. Selain itu, Ukraina maupun NATO pun tidak melakukan serangan tertentu kepada Rusia, sehingga bukan merupakan kondisi mendesak bagi Rusia untuk membombardir Ukraina.

Ukraina sudah merdeka pada 24 Agustus 1991, serta telah menjadi anggota PBB yang berarti Ukraina merupakan negara merdeka dan berdaulat. Rusia dalam hal ini dengan terang telah melanggar hukum internasional dengan menyerang wilayah kedaulatan Ukraina dan mengabaikan PBB sebagai institusi internasional yang berwenang menengahi permasalahan semacam itu.

Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) dibentuk setelah Perang Dunia II dengan misi mewujudkan perdamaian, upaya resolusi konflik dengan negosiasi, sehingga meminimalisir dan mencegah terjadinya perang yang mengerikan dan menimbulkan kerugian besar seperti pada Perang Westphalia, Perang Dunia I dan II di masa mendatang.

Misi PBB tersebut nampaknya cukup sukses hingga Rusia memutuskan menginvasi Ukraina sejak bulan Februari lalu. PBB boleh dikatakan mati kutu, tidak berdaya saat resolusi yang dihasilkan pada forum tersebut dibatalkan oleh Rusia dengan memanfaatkan hak vetonya dalam Dewan Keamanan PBB.

Hingga saat artikel ini dibuat, selain sanksi-sanksi embargo ekonomi dan energi kepada Rusia oleh Uni Eropa (EU) dan negara-negara lainnya yang menentang serangannya terhadap Ukraina, belum ada penyelesaian pasti yang nampak efektif untuk menyudahi konflik ini, terutama dari PBB. Bahkan, aktivitas ‘serang-lawan-bertahan’ antara Rusia dan Ukraina masih terus berlangsung.

Menjadi pertanyaan, mengapa PBB sebagai organisasi bermisi perdamaian internasional -dengan keanggotaan hampir seluruh negara di dunia, ketika berhadapan dengan kasus kejahatan yang bahkan banyak memakan korban jiwa seperti di Ukraina, terkesan lemah saat disodorkan veto oleh Rusia, sang pelakunya sendiri? Dewan Keamanan PBB tampaknya kesulitan dalam menegakkan dan memberi sanksi terhadap pelanggaran Rusia tersebut. Sejalan dengan pernyataan direktur eksekutif Human Rights Watch Group, Kenneth Roth pada forum “High-Level Ministerial Event on Framing the Use of Veto in the Face of Massive Crimes” di Markas PBB di New York (30/9/2015), bahwa hak-hak veto yang diterapkan hingga saat ini secara tidak langsung melemahkan legitimasi Dewan Keamanan PBB (Nugraha dalam medcom.id, 01/10/2015).

Strategi Rusia untuk memberi ‘efek jera’ bagi Ukraina agar tidak bergabung ke NATO, nampaknya kurang tepat. Mengapa demikian? Penggunaan koersi atau ancaman (dalam kasus ini serangan militer) untuk membuat pihak lawan patuh/bertindak sejalan dengan apa yang kita inginkan, harus diimbangi dengan ‘imbalan’ yang menjanjikan bagi pihak lawan. Hal ini berdasar pada prinsip diplomasi koersi, sebuah strategi diplomasi dengan tingkat koersi/ancaman terbatas sehingga pemberian sticks (ancaman) diikuti dengan carrots (imbalan) secara proporsional (Jentleson, 2006).

Berdasar pada prinsip tersebut, ‘gertakan’ Rusia ini nampaknya tidak diikuti dengan carrots yang menjanjikan bagi Ukraina. Melakukan kepatuhan terhadap kehendak Rusia bukan malah menguntungkan, melainkan dinilai sama saja dengan menyerah menurut pernyataan Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky.

Belum tampak ujung konflik ini, muncul efek domino pada negara-negara tetangga Rusia yang lainnya. Finlandia dan Swedia, secara geografis berdekatan bahkan berbatasan langsung dengan wilayah darat Rusia. Resah dan khawatir akan mengalami insiden yang sama dengan Ukraina, keduanya berniat memperkuat keamanannya dengan mengajukan keanggotaan dalam aliansi pertahanan. Alih-alih tetap netral, mereka justru berniat mengajukan diri sebagai anggota NATO dalam waktu dekat ini. Rusia tentu menentang niatan tersebut, namun Finlandia berdalih bahwa tiap negara berhak dan harus berusaha mempertahankan kedaulatannya, dalam hal ini bergabung dengan NATO menjadi jalan yang dipilih Finlandia sebagai upaya optimalisasi keamanan negaranya.

Swedia mengambil langkah perubahan besar setelah memilih netral selama lebih dari tujuh dekade. Tidak mudah mengingat adanya perdebatan internal yang panjang, dari hanya sekitar 40% masyarakat Swedia mendukung niatan bergabung ke NATO, meningkat menjadi lebih dari 60% setelah Rusia menginvasi Ukraina. Seorang warga Swedia, Cecilia Wikstron berpendapat, “Sebelumnya, saya pikir itu tak perlu, tapi sekarang rasanya lebih baik jika ada negara-negara yang bakal membela pertahanan kami,” seperti dikutip oleh CNN (17/05/2022). Bukankah memprihatinkan, negara-negara anggota PBB malah kalang-kabut mencari naungan lain untuk mengamankan negaranya?

Belum tuntas dengan resolusi konflik Rusia-Ukraina, Finlandia dan Swedia turut berpotensi memancing ketegangan baru dengan Rusia. Lantas, akankah PBB terus mengambil peran yang ‘aman’ sementara efek domino dari konflik ini terus meluas?

Sudah tepatkah mekanisme penggunaan hak veto Dewan Keamanan PBB yang demikian pada kasus sejenis? Masih relevankah wibawa PBB sebagai wadah berembug untuk menghasilkan mufakat bagi perdamaian.

———– *** ————

Tags: