Menakar Puncak Kasus Covid-19

Oleh :
Oryz Setiawan
Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat (Public Health) Unair Surabaya

Mulai 26 Juli hingga 2 Agustus 2021 pemerintah resmi memperpanjang masa Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Level 4 di Pulau Jawa dan Bali.

Sebenarnya kebijakan PPKM tidak sepenuhnya berakhir, dilanjutkan dengan penyesuaian di sejumlah sektor dengan mengubah menjadi PPKM Level 4. Perubahan ini berdasarkan Indikator Penyesuaian Upaya Kesehatan Masyarakat dan Pembatasan Sosial dalam Penanggulangan Pandemi Covid-19 yang ditetapkan Menteri Kesehatan mengacu Badan Kesehatan Dunia (WHO) yakni daerah yang dilabeli dengan PPKM level 4 memiliki kriteria antara lain : memiliki lebih dari 150 kasus Covid-19/100 ribu penduduk, lebih dari 30 kasus Covid-19 yang dirawat di rumah sakit/100 ribu penduduk dan lebih dari 5 kasus Covid-19 meninggal/100 ribu penduduk. Sedangkan PPKM Level 3 memiliki kriteria : terdapat 50-150 kasus Covid-19/100 ribu penduduk, 10-30 kasus Covid-19 dirawat di rumah sakit/100 ribu penduduk dan 2-5 kasus Covid-19 meninggal/100 ribu penduduk.

Di Provinsi Jawa Timur setidaknya terdapat 12 Kab/Kota yang masuk ke PPKM Level 4 dan 26 Kab/Kota katagori Level 3 dimana diatur lebih lanjut secara teknis berbagai aturan kegiatan ekonomi, sosial masyarakat, pendidikan, keagamaan, transportasi dan lain-lain. Pendek kata kebijakan PPKM Level 4 adalah upaya merelaksasi secara bertahap dan hati-hati agar jumlah penambahan kasus terkendali minimal tidak terjadi secara eksponensial dan memberikan ruang ekonomi dan sosial masyarakat secara menjadi agak longgar dengan tetap melaksanakan protokol kesehatan di semua lini. Kondisi ini secara tersirat upaya memberikan ‘sedikit’ pada sisi ekonomi agar tidak semakin kolaps. Di sisi lain, harus diakui laju penularan Covid-19 begitu signifikan dan belum sepenuhnya terkendali, meski pemerintah telah mengeluarkan berbagai jurus kebijakan dalam menekan penyebaran pandemi nan masif di penjuru tanah air.

Mulai dari PSBB dengan berbagai turunannya hingga PPKM, PPKM skala mikro hingga PPKM darurat untuk menekan mobilitas masyarakat antar wilayah dalam rangka mengurangi risiko ‘sisi hulu’ yang berpotensi tinggi menyumbang angka penambahan kasus meski di sisi lain menimbulkan dampak atau ‘ongkos’ sosial ekonomi yang luar biasa. Saat ini harus jujur diakui sistem kesehatan mengalami kedodoran jika tidak dapat disebut kolaps. Hal ini terlihat dari beberapa indikator sederhana, apalagi berbicara tenaga kesehatan mulai dokter, perawat, bidan dan tenaga kesehatan lain hingga tenaga penunjang lain seperti tenaga pemulasaran sampai tenaga penggali kubur.

Beban berat nan sangat tinggi menyebab kelelahan yang luar biasa bahkan sudah mencapai angka ribuan tenaga kesehatan yang harus gugur demi sebuah tugas kemanusia. Ya risiko terbesar ada di pundak tenaga kesehatan dimana risiko terpapar virus Covid-19 terutama varian delta yang sangat tinggi, tujuh kali lebih virulen meski telah didukung oleh APD lengkap sehingga tak salah bila ada anggapan bahwa jika tenaga kesehatan kolaps maka dapat dipastikan ambruknya sistem layanan kesehatan kita. Kondisi yang terus dihadapkan pada upaya akselerasi program vaksinasi secara masif untuk mengejar target kekebalan kelompok (herd immunity), namun harus melayani pasien yang terus berdatangkan tak terkendali selain itu juga digenjot untuk melakukan strategi 3T (Testing, Tracing and Treatment) yakni tindakan melakukan tes COVID-19 (testing), penelusuran kontak erat (tracing), dan tindak lanjut berupa perawatan pada pasien COVID-19 (treatment) di fasilitas layanan kesehatan baik di tingkat primer (puskesmas berbasis perawatan), sekunder (rumah sakit) hingga tersier (rumah sakit rujukan).

Tak hanya itu juga harus melayani rumah sakit ‘tambahan’ seperti rumah sakit darurat atau lapangan khusus Covid-19. Dalam konsep kesehatan bahwa berbagai upaya layanan tidak bersifat tunggal merupakan resultan atau komposit dari berbagai upaya dapat memberikan hasil yang optimal. Salah satu yang masih sangat mengkawatirkan adalah upaya testing dan tracing yang masih amat minim. Testing sebagai upaya mendeteksi kasus baru sehingga dapat dilakukan intervensi secara dini agar tidak menjadi ‘media’ penularan yang lebih luas. Upaya testing dan tracing merupakan salah satu yang paling esensi dan sangat strategis sebagai upaya menemukan kasus baru sehingga dapat diketahui per individu. Ibarat perang testing merupakan upaya untuk melihat musuh secara nyata agar dapat dilakukan strategi dan taktik untuk mengalahkannya.

Saat ini upaya testing per hari masih mencapai kisaran 200-250 ribuan masih sangat jauh dari target 1-2 juta testing per hari. Hal ini berarti bahwa sebenarnya sangat banyak orang yang terpapar namun tidak terdeteksi (under detected) dimana sebagian besar orang tanpa gejala (OTG) dan OTG inilah yang menjadi biang kerok penyebarluasan virus dengan cepat. Jika kondisi ini yang terjadi maka dapat menggambarkan bahwa upaya pengendalian kasus di Indonesia masih belum sesuai yang diharapkan Kesemuanya memberikan makna bahwa tenaga kesehatan dibebani berbagai kebijakan yang semuanya bertumpu pada tenaga kesehatan. Sekali lagi bahwa tenaga kesehatan merupakan pahlawan kemanusiaan, komponen sangat esensial dalam upaya menyelamatkan krisis kemanusia pandemi Covid-19. Sisi psikologis inilah yang harus terus dimasifkan sebagai salah satu strategi penguatan 5 M di masyarakat. Masyarakat dan setiap kita harus sadar bahwa dengan ketidakdisiplinan masyarakat dalam menjalankan protokol kesehatan maka sama dengan mengorbankan sisi kemanusiaan dan lamban laun membawa para tenaga kesehatan di gerbang kematian.

Gambaran Kasus

Di tengah kasus Corona terus meroket, Indonesia dituding sebagai episentrum dunia. Mengapa ini bisa terjadi setidaknya dengan melihat sejumlah indikator antara lain jumlah penambahan kasus mencapai rekor diatas 50 ribu per hari, tingkat kematian menembus lebih dari 1.500 per hari kian menguatkan asumsi tersebutSampai kapan pandemi ini akan berakhir? Hingga detik ini tidak ada ahli, pakar atau ilmuan kesehatan yang mampu memprediksinya. Hampir semua negara di dunia kini didera lonjakan (kembali) kasus gelombang ketiga dan keempat (third wave, fourth wave) baik di Kawasan Benua Asia, Afrika, Eropa hingga Amerika tak luput dari rollercoaster kasus Covid-19. Bahkan ada beberapa negara yang men-declare bebas masker namun toh masih berfluktuatif kasus penularan yang berpotensi cepat menyebar.

Di Indonesia masih berkutat pada fase gelombang kedua yang ditandai lonjakan eksponensial kasus pasca libur lebaran yang kian hari kian angka penambahan kasus sungguh amat miris dan mengkawatirkan. Hal ini ditandai dengan jumlah ketersediaan obat, alat dan oksigen yang semakin terbatas tidak seimbang dengan jumlah kebutuhan akibat kunjungan pasien tidak seimbang bahkan diantaranya harus isolasi mandiri di rumah pada pasien katagori sedang dan berat, jumlah OTG yang belum sepenuhnya dilakukan perlakukan yang tepat, kapasitas dan lokasi isolasi mandiri yang tidak memadai serta jumlah areal pemukiman yang terus makin sesak tidak seimbang dengan pertambahan jenazah. Dengan kata lain bahwa di tengah superkompleksitas multiproblematika yang ada, upaya ekstraordinary dalam menangani pandemi ini harus komprehensif dari hulu ke hilir dan melibatkan semua pihak tanpa kecuali.

———- *** ———–

Rate this article!
Tags: