Menakar Wacana Pembentukan Provinsi Madura

ABD HANNANOleh :
Abd Hannan
Akademisi Sosial di Pascasarjana Sosiologi, FISIP Universitas Airlangga Surabaya.

Belakangan ini, wacana pembentukan Provinsi madura kembali ramai diperbincangkan media. Pasalnya, menurut informasi yang berkembang, lahir kesepakatan antara pinpinan dan seluruh dewan daerah Madura, Pamekasan, Sumenep, Sampang, dan Bangkalan untuk menjadikan madura sebagai Provinsi. Bahkan, tersiar kabar mereka sepakat mengajukan peninjauan kembali (judicial review) undang-undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, sebagai langkah cepat menutupi kurangnya persyaratan.
Dengan begitu, jika upaya tersebut dikabulkan, maka harapan menjadikan madura sebagai Provinsi akan terbuka lebar. Sehingga hal ihwal menyangkut persyaratan tidak lagi menjadi kendala. Karena, satu-satunya kendala yang paling sulit dipenuhi adalah pemenuhan batas minimal daerah yang harus terdiri dari lima kabupaten.
Oleh sebab itu, hal menarik untuk membaca setiap kemungkinan yang akan terjadi andai saja madura benar-benar menjadi Provinsi. Khusunya, berkaitan dengan arah pembangunan daerah setempat. Karena, sebagai sebuah gagasan sah-sah saja mengklaim pembentukan Provinsi madura murni dilatari oleh upaya perbaikan dan kemandirian daerah. Namun, siapa yang dapat memastikan dan siapa pula yang dapat menjamin. Toh pada dasarnya gagasan adalah sekumpulan ide, yang bisa saja datang dari sisi subjektivitas, atau-syukur-syukur jika-memang berlandaskan objektivitas untuk  membela dan memperjuangkan kesejahteraan masyarakat madura.
Karenanya, mengkaji PM sebagai sebuah diskursus tidak cukup semata melihat pada sisi permukaan sebagaimana ide yang ditawarkan, namun perlu keberanian menilisik terhadap apa saja yang ada dibaliknya. Yakni melihat segala kemungkinan yang akan terjadi. Karena meminjam bahasa Micheal Foulcaut, setiap wacana erat kaitannya dengan kekuasaan dan unsure-unsur politis. Sehingga mempertentangkannya pada pertanyaan-pertanyaan kritis perlu dilontarkan, untuk mengungkap ke permukaan tentang hakikat dan tujuan subtansinya (what’s the essence of).
Apalagi, jika berdasarkan pada realitas sosial masyakat madura, persoalan paling mendasar bukan pada menjadi Provinsi atau tidak. Melainkan lebih pada kondisi rill masyarakat setempat, yang bersentuhan langsung dengan problem sumber daya manusia. Karenanya, patut dipertanyakan apakah gagasan mengenai PM murni untuk menyelamatkan Madura?  Ataukah, ide pendirian PM tidak lain adalah ‘proyek’ yang dipaksakan atas dasar kepentingan kelompok tertentu?
Untuk menjajaki jawaban dua pertanyaan di atas, maka ada pentingnya menarik wacana pembentukan Provinsi Madura pada perspektif kebudayaan sebagai pembacaan sosiologis mengenai peluang, tantangan dan segala konsekuensi yang besar kemungkinan akan menimpa sosial-lingkungan masyarakat Madura.
Perspektif Kebudayaan
Dalam perspektif kebudayaan, madura memiliki romantisme sejarah dengan nilai sosial kultural lokal yang identik dengan religiusitas. Semangat religiusitas madura nampak jelas dari sikap masyarakat setempat yang memiliki kecenderungan untuk menjunjung tinggi moral. Begitu kentalnya aroma religiusitas masyarakat hingga akhirnya madura dijuluki sebagai serambi madinah.
Persoalan besarnya kemudian adalah ketika madura menjadi Provinsi, maka tentu akan ada proses pembangunan massif di daerah setempat. Dalam hukum pembangunan ada pertaruhan kebudayaan antara budaya lokal (localisme) dengan kebudayaan yang datang dari luar. Baik yang dibawa secara langsung maupun yang tidak langsung. Apalagi, selama ini standart pembangunan selalu mengacu pada modernisasi dan globalisasi. Tanpa mengacu pada keduanya, sulit diprediksi untuk bisa survive dalam tingkat persaingan global.
Jika kaji dari teori pembangunan (developmentalisme) Marshall Plan, paling tidak madura harus siap dengan dua hal. Pertama, modal (capital), bicara masalah modal tidak akan lepas dari sumber dana yang besar, karena setiap membangun daerah, apapun itu bentuknya membutuhkan sumber dana yang tidak sedikit. Tidak cukup mengandalkan suntikan dana pemerintah pusat, apalagi kemampuan financial daerah. Jalan satu-satunya adalah berusaha meraup dukungan pihak swasta. Artinya, perlu dukungan kaum pemodal untuk membiayainya.
Persoalannya kemudian adalah seberapa ramah lingkungan kita terhadap pendirian kantong-kantong ekonomi seperti industry, pabrik dan lain semacamnya? Toh nyatanya sejak diresmikannya suramadu enam tahun silam, sampai sekarang belum terlihat geliat perkembangan dan pembangunannya di Madura. Tanpa melibatkan pihak swasta, pembangunan madura akan sulit terwujud.
Kedua, transformasi kebudayaan. Sebagaimana disinggung di atas agenda pembangunan identik dengan dengan pertaruhan tradisi dan nilai sosial kultural lokal. Artinya, kalaupun madura nantinya nyata menjadi sebuah Provinsi, maka harus ada kesangguban melakukan transfromasi kebudayaan masyarakat setempat untuk bisa bersaing, ikut berpartisipasi  mendukung pembangunan madura. Tanpa transformasi kebudayaan, mustahil pembangunan dapat dijalankan. Kalaupun berjalan, ada kemungkinan masyarakat daerah sebatas menjadi penonton. Itu, karena rendahnya kualifikasi diri untuk bisa bersaing. Dengan begitu, ide memaksimalkan sumber kekayaan madura yang berorientasi pada kemashalahatan penduduk lokal menjadi tawar, jauh panggang dari api.  Oleh sebab karenanya, pendekatan di atas mengisyaratkan bahwa wacana pembentukan Provinsi madura memerlukan kajian mendalam dan pertimbangan aspek sosial kultural yang matang. Paling mendasar adalah pentingnya melakukan transformasi kebudayaan yang berkearifan lokal. Paling tidak, pendekatan demikian megandaikan pada tiga hal. Pertama,perlunya transformasi kebudayaan secara massif dan menyasar masyarakat bawah. kedua, penguatan sumber daya manusia. Ketiga, agenda transformasi kebudayaan dan penguatan sumber daya manusia harus ditopang oleh kesadaran kolektif pada nilai lokal (localisme).

                                                                                                    ———– *** ———–

Tags: