Menanti Episode Akhir Pandemi

Oleh :
Oryz Setiawan
Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat (Public Health) Unair Surabaya

Entah sampai kapan, pandemi Covid-19 akan berakhir. Berbagai kalangan dan pakar kesehatan hingga detik ini belum mampu setidaknya memprediksi ‘badai bencana’ Covid-19 ada tanda berakhir atau minimal melandai secara perlahan. Di tengah merebaknya berbagai varian baru yang terus bermunculan, mulai dari delta, mu, omicron dan ihu. Omicron misalnya dalam hitungan hari sangat cepat menyebar di berbagai negara, termasuk Indonesia. Publik dunia, khususnya tanah air sudah amat lelah menanti berakhirnya episode terakhir. Alih-alih melandai, kasus monster Covid-19 di dunis selayaknya roller coaster, naik turun secara tiba-tiba terkadang luput dari prediksi seiring dengan meningkatnya mobilitas masyarakat dan timbulnya simpul-simpul kerumunan secara massal di berbagai kegiatan. Patut disyukuri, hingga saat Indonesia belum terjadi lonjakan kasus yang berarti pasca libur Natal dan Tahun Baru (Nataru) dimana merupakan momentum ujian bagi pemerintah dalam mengendalikan pandemi agar tidak semakin melandai. Badan kesehatan dunia, WHO dan pemerintah masih tetap memberlakukan darurat pandemi Covid-19 yang bermakna bahwa ancaman Covid-19 belum berakhir, bahkan justru kian waspada atas merebaknya varian-varian baru yang lebih cepat menular atau memiiki derajat virulensi tinggi.

Semua, tanpa kecuali harus terus waspada mengingat umur Covid-19 yang baru dua tahun sehingga masih banyak hal yang tak terduga dari virus ini. Berbagai penyebab kenaikan kasus positif di banyak negara saat ini harus menjadi pelajaran bagi Indonesia.

Pemerintah seakan tak ingin kecolongan pada libur Nataru. Berbagai kebijakan terus digeber di perbagai lini terutama terkait pengendalian mobilitas masyarakat yang cenderung tinggi dan gencarnya strategi program vaksinasi yang dilaksanakan secara masif, mengamankan dan upaya penyediaan stok vaksin dalam jangka panjang dan terus melakukan berbagai testing, kontak tracing dan memperketat karantina dan isolasi terpusat agar tidak menjadi sumber penularan yang lebih luas . Di sisi lain, penerapan protokol kesehatan di masyarakat kian menurun, seakan kondisi telah benar-benar aman. Kondisi ini tentu sangat kontradiktif dengan upaya pemerintah untuk terus menekan laju penyebaran virus di tengah masyarakat luas.

Duet Masker – Vaksin

Strategi dan upaya pengendalian pandemi tidak boleh kendor, secara legal formal pandemi dan kondisi darurat Covid-19 belum dicabut baik oleh WHO, pemerintah hingga pemerintah daerah sehingga semua tidak boleh lengah dalam menjaga setiap potensi penularan. Memang tidak ada yang dapat memastikan kapan dan dimana seseorang tertular virus, meski sudah menerapkan protokol kesehatan. Namun setidaknya kita dapat memitigasi setiap resiko yang akan timbul. Saat ini masker dan vaksin menjadi salah satu senjata penangkal atau tameng untuk meminimalisir penularan dan dampak keparahan kasus (case fatality). Secara kualitas masker tidak hanya berfungsi melindungi resiko paparan virus yang masuk ke saluran pernafasan (inhalation) namun pemakaian juga harus benar, bahan masker harus sesuai standar dan memahami titik lengah ketika melepas masker (ketika makan dan minum) misalnya, harus ditempat terbuka tidak dalam ruangan yang memiliki ventilasi dan pencahayaan buruk maupun durasi melepas masker sebaiknya meminimalis mungkin. Terlebih dalam kondisi kerumunan (banyak orang) dalam suatu tempat.

Sebelum pandemi benar-benar berakhir, ‘budaya’ memakai masker tetap harus dilakukan terutama ketika ke luar rumah yang memang aktivitas keseharian dan bertemu banyak orang. Inilah yang disebut dengan normal baru (new normal). Jangan sampai seseorang yang memakai masker justru dianggap aneh ketika berada dalam lingkungan masyarakat yang tak bermasker yang notabene pemakaian masker melindungi semua yang berpotensi terjadi penularan. Di sisi lain, pemberian vaksin ke setiap penduduk harus tetap digenjot setidaknya mencapai 70 persen untuk mencapai kekebalan kelompok (herd immunity). Pemerintah tidak main-main, ratusan trilyun rupiah digelontorkan untuk menjamin kesediaan vaksin di dalam negeri setidaknya untuk mengamankan program vaksinasi dengen mengerahkan segala daya upaya untuk memasifkan pemberian vaksinasi.

Tenaga vaksinator (tenaga kesehatan) dibantu TNI/Polri bahu membahu menyasar target kelompok sasaran bahkan hingga di wilayah-wilayah terpencil, terluar hingga wilayah yang memiliki akses sulit secara geografis dan topografis tetap terus dicapai. Hambatan vaksinasi antara lain, masih ada kelompok orang yang tidak mau divaksin, ketersediaan dan distribusi vaksin, adanya hoax yang bertebaran di media sosial hingga faktor geografis. Selain itu adanya asumsi bahwa jika sudah divaksin akan kebal terhadap penularan Covid-19 sehingga penerapan protokol kesehatan terabaikan. Kondisi demikian dibutuhkan sosialisasi dan edukasi secara kontinyu di berbagai sektor. Terlebih munculnya varian baru disinyalir dapat menurunkan tingkat efikasi (daya kemanjuran) vaksin juga merupakan tantangan baru yang harus dihadapi. Tidak ada rumus, formula dan strategi yang jitu dan manjur dalam upaya pengendalian Covid-19 di semua negara, kesemuanya masih dalam tahap penelitian terutama potensi varian baru yang terus bermunculan tiada henti. Strategi “rem dan gas” merupakan salah satu upaya pemerintah untuk menyeimbangkan upaya penurunan kasus dan memulihkan sisi ekonomi dan sosial masyarakat yang terdegradasi akibat dua lebih pandemi melanda tanah air dan dunia. Semoga pandemi cepat berakhir dan beralih ke endemi dan sosial ekonomi masyarakat dapat bangkit kembali seperti sediakala setidaknya sebelum pandemi melanda.

———– *** ———–

Rate this article!
Tags: