Menanti RUU Mediasi, Percepat Penanganan Konflik

Oleh :
Gandhung F Panjalu
Pengajar Hukum Keluarga Islam Universitas Muhammadiyah Surabaya (UMSurabaya), Mediator Bersertifikat

Apabila mendapat pertanyaan “Apa yang menjadi landasan hukum mediasi?”, para akademisi maupun praktisi mediasi pasti menjawab Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No 1 Tahun 2016 tentang Mediasi. Peraturan tersebut disahkan tanggal 3 Februari 2016, atau tepat lima tahun silam, serta merupakan perubahan atas PERMA nomor 1 tahun 2008 dan PERMA nomor 2 tahun 2003.

PERMA merupakan salah satu produk hukum Mahkamah Agung (MA). Selain PERMA, dikenal pula Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA), Fatwa, dan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung (SK-KMA). Masing-masing memiliki fungsi berbeda. PERMA berisi berbagai ketentuan bersifat hukum acara. SEMA berisi bimbingan penyelenggaraan peradilan khususnya bersifat administratif. Fatwa MA berisi pendapat hukum yang diberikan atas permintaan lembaga negara. Sementara SK-KMA adalah keputusan yang dikeluarkan oleh Ketua MA mengenai suatu hal tertentu.

Seluruh peraturan di atas bersifat mengikat dalam lingkungan lembaga peradilan, berdasarkan pada pasal 7 dan 8 UU no 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-Undangan. Karena bersifat mengikat hanya di internal lembaga peradilan, maka eksistensi mediasi yang dilakukan di luar lembaga pengadilan menjadi kurang terakomodir. PERMA hanya menyampaikan bahwa kesepakatan damai yang dilakukan di luar pengadilan harus dikuatkan menjadi akta perdamaian oleh pengadilan tingkat pertama, sehingga tetap bermuara pada lembaga peradilan.

Sebenarnya telah terdapat peraturan yang mengatur penyelesaian sengketa di luar lembaga peradilan, yakni UU nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dalam pasal 1 ayat 10 UU tersebut, dijelaskan bahwa Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.

Namun dalam perjalanannya, penyelesaian sengketa di luar lembaga peradilan yang berjalan efektif adalah mediasi, itu-pun masih ditopang dengan keberadaan PERMA nomor 1 tahun 2016 di atas. Belum adanya undang-undang yang secara spesifik mengatur Mediasi berdampak pada ketidaktahuan masyarakat tentang adanya proses mediasi non-litigasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa secara mudah, murah dan cepat.

Di sisi lain, berdasarkan pasal 13 ayat 1 PERMA nomor 1 tahun 2016, Setiap Mediator wajib memiliki Sertifikat Mediator yang diperoleh setelah mengikuti dan dinyatakan lulus dalam pelatihan sertifikasi Mediator yang diselenggarakan oleh Mahkamah Agung atau lembaga yang telah memperoleh akreditasi dari Mahkamah Agung. Hingga saat ini, telah banyak lembaga terakreditasi MA yang telah meluluskan mediator bersertifikat.

Peserta yang lulus pelatihan sertifikasi sebagaimana dimaksud tentu layak berprofesi menjadi mediator. Dengan dijadikannya mediator sebagai suatu profesi, tentu dibutuhkan peraturan yang memuat standar kompetensi serta kode etik mediator profesional. Untuk itulah sangat perlu adanya UU Mediasi. Keberadaan undang-undang yang mengatur sebuah profesi bukanlah hal baru dan bahkan menjadi sebuah kebutuhan, sebagaimana pada UU nomor 2 tahun 2014 tentang Jabatan Notaris, UU 18 tahun 2003 tentang Advokat, dan sebagainya.

Namun hingga saat ini, tampaknya belum terlihat tanda-tanda lahirnya UU Mediasi. Dibutuhkan perjuangan panjang dari berbagai pihak baik akademisi maupun praktisi guna mendorong agar RUU Mediasi masuk dalam Prolegnas. Semoga segera terwujud dalam rangka mempercepat penanganan konflik dengan cara yang mudah, murah dan cepat.

———- *** ——–

Tags: