Menarasikan Kearifan Lokal di Sekolah

Oleh :
Wahyu Kuncoro SN
Anggota Dewan Pendidikan Kota Surabaya ; Staf pengajar di Fakultas Sosial dan Hukum Universitas Sunan Giri (Unsuri), Surabaya

Maarif Institute (2017) lewat penelitiannya mengungkapkan kegiatan ekstrakurikuler terbukti menjadi pintu kelompok radikal untuk menyasar siswa. Kegiatan ekstrakurikuler yang ada di sekolah tidak terlalu immune dari pengaruh kelompok radikal dari kelompok luar seperti alumni, lembaga konseling, lembaga kursus dan sebagainya. Penelitian tersebut juga mengungkapkan adanya peran guru dalam penyebaran radikalisme lewat kegiatan belajar mengajar (KBM) yakni adanya beberapa guru yang ditemukan.
Pada sisi lain, kecemasan lain terhadap dunia pendidikan kita juga hadir saat menyimak data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) periode Januari – Maret 2018, yang menunjukkan ada tren peningkatan angka kekerasan terhadap anak di lingkungan sekolah.
Dalam periode tiga bulan tersebut, KPAI telah menerima aduan kekerasan fisik sebanyak 72 persen, psikis 9 persen, pemalakan atau pemerasan 4 persen, dan seksual 2 persen. Selain itu, ada 13 persen kasus yang viral di media sosial tidak dilaporkan ke KPAI, Kompas (20/3/2018).
Menyimak realitas di atas, benar kiranya sinyalemen yang disampaikan Brooks dan Goble (2013) bahwa kejahatan dan bentuk-bentuk penyimpangan lain seperti kekerasan, perilaku tidak bertanggung jawab telah meningkat dengan kecepatan yang sangat mengkhawatirkan. Merembes ke berbagai aspek kehidupan termasuk ke wilayah pendidikan (baca : sekolah) bahkan telah tereproduksi secara sosial.

Melacak Faktor Pemicu
O’Sullivan (Urban Economics: 2000) membuat analisis menarik tentang faktor dan indikator yang membuat anak-anak sering terlibat dengan praktik kekerasan, baik di sekolah maupun di luar sekolah. Dalam pandangannya, kekerasan yang dilakukan seorang siswa sesungguhnya merupakan dampak langsung dari kebijakan tentang ukuran ruang kelas (class size), sumber pembiayaan sekolah (school financial resources), kurikulum (the curriculum), efek pergaulan sejawat (peer effects), dan latar belakang orangtua (parents’ background). Pertanyaannya ialah, mana di antara faktor dan indikator itu yang paling determinan dan dominan dalam kasus dan praktik kekerasan para siswa kita.
Menarik untuk melihat dan mempertimbangkan, betapa sistem pendidikan kita, dengan alasan angka wajib belajar yang tinggi, tak bisa menciptakan ruang kelas yang ideal dan nyaman bagi anak dan guru untuk belajar. Bahkan sejak di SD, anak-anak kita sudah menghadapi kendala psikologis ‘menumpuk’ karena jumlah mereka yang terlalu banyak berbanding luasnya ruang kelas. Ketika di SMP dan SMA, anak-anak kita menghadapi problem tambahan, yaitu ketiadaan pendampingan rutin dan intensif, baik dari guru maupun orangtua, ketika mereka mengenal dan saling memengaruhi dalam pergaulan di sekolah.
Menghadapi tantangan yang semakin kompleks ini, perlu kembali fokus dan kritis melihat pendekatan pendidikan di Indonesia agar dapat mewujudkan aspirasi terbentuknya generasi yang memiliki hati nurani, nilai moral, dan prinsip, agar dapat berperan aktif dalam menjadikan dunia yang lebih baik. Hal ini sejalan dengan fungsi pendidikan nasional di Indonesia, seperti tertulis di Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003 Sistem Pendidikan Nasional, yaitu untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

Momentum Pengarusutamaan Kebudayaan
Kebudayaan meminjam definisinya Koentjoroningrat adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan bermasyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Sementara, menurut Ki Hajar Dewantara kebudayaan berarti hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh kuat, yakni alam dan zaman (kodrat dan masyarakat) yang merupakan bukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai rintangan dan kesukaran di dalam hidup dan penghidupannya guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang pada lahirnya bersifat tertib dan damai.
Dari pengertian di atas memberikan pesan bahwa kebudayaan akan menjadi modal bagi masyarakat untuk belajar sekaligus bekal dalam menghadapi berbagai tantangan yang dihadapi. Dengan demikian, bangsa Indonesia sungguh memiliki sumber-sumber pedoman dan panduan untuk belajar dan bekal menghadapi persoalan zaman berupa khazanah kebudayaan yang melimpah. Pertanyaannya adalah, sudahkah kekayaan berupa kebudayaan tersebut dikelola dan dimanfaatkan secara baik?
Alih-alih dimanfaatkan, justru yang sering terdengar adalah kian meredupnya perhatian terhadap budaya nasional. Padahal di luar sana, apresiasi warga dunia terhadap kebudayaan nasional kian meningkat. Gambaran mudahnya misalnya, dalam lingkup pendidikan hari ini, tengah dirundung kegelisahan karena kian sepinya minat pelajar kita untuk mempelajari budaya-budaya lokal.
Apa yang terjadi di atas sungguh membutuhkan satu gerak bersama dari semua komponen bangsa untuk menata kembali warisan nenek moyang berupa kebudayaan bangsa ini bukan saja tetap eksis dalam kehidupan hari ini tetapi juga menjadikan budaya bangsa tersebut sebagai penerang bagi langkah bangsa ini yang acap gagap ketika menghadapi perubahan zaman.
Dalam konteks inilah, hadirnya Undang Undang 15 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan menemukan relevansinya. Undang Undang ini memang belum menjawab kegundahan dan kegelisahan terhadap nasib kebudayaan tanah air. Namun, setidaknya Undang- Undang ini adalah pijakan awal untuk memanuskripkan budaya Indonesia. Dengan bahasa lain, Undang Undang ini menjadi pondasi yang kuat untuk membaca sekaligus menyusun peta jalan (roadmap) mau dibawa kebudayaan bangsa ini.

Menarasikan Kearifan Lokal
Penelitian yang dilakukan Roikhwanphut Mungmachon (2012) dalam “Knowledge and Local Wisdom: Community Treasure” mengirimkan pesan pendidikan yang berlangsung hingga saat ini masih mengabaikan pentingnya kearifan lokal sebagai akibat globalisasi yang hanya berfokus pada pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, pelaksana pendidikan harus mengintegrasikan kearifan lokal dengan pengetahuan yang dipelajari oleh peserta didik, sehingga diperoleh hasil pembelajaran yang berkontribusi terhadap lingkungan sosial mereka.
Pentingnya kurikulum yang harus menampung kearifan lokal dan tradisi lokal sudah terlalu sering diwacanakan. Ini mengindikasikan pemaknaan terhadap kearifan lokal dalam dunia pendidikan masih sangat kurang. Ada istilah muatan lokal dalam struktur kurikulum pendidikan, tetapi pemaknaannya sangat formal karena muatan lokal kurang mengeksporasi kearifan lokal. Muatan lokal hanya sebatas bahasa daerah dan tari daerah yang diajarkan kepada siswa.
Tantangan dunia pendidikan sangatlah kompleks. Apalagi jika dikaitkan dengan kemajuan global di bidang sains dan teknologi, nilai-nilai lokal mulai memudar dan ditinggalkan. Karena itu eksplorasi terhadap kekayaan luhur budaya bangsa sangat perlu untuk dilakukan.
Kearifan lokal sesungguhnya mengandung banyak sekali keteladanan dan kebijaksanaan hidup. Pentingnya kearifan lokal dalam pendidikan kita secara luas adalah bagian dari upaya meningkatkan ketahanan nasional kita sebagai sebuah bangsa. Budaya nusantara yang plural dan dinamis merupakan sumber kearifan lokal yang tidak akan mati, karena semuanya merupakan kenyataan hidup (living reality) yang tidak dapat dihindari.
Sungguh sangat diperlukan langkah strategis untuk meningkatkan rasa cinta dan peduli terhadap kearifan budaya lokal kepada para peserta didik. Kebudayaan lokal merupakan kebudayaan yang sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat adat. Agar eksistensi budaya tetap kukuh, maka perlu ditanamkan rasa cinta akan kebudayaan lokal khususnya di daerah. Salah satu cara yang dapat ditempuh di sekolah adalah dengan cara mengintegrasikan nilai-nilai kearifan budaya lokal dalam proses pembelajaran, ekstra kurikuler, atau kegiatan kesiswaan di sekolah. Harapannya, pendidikan hadir dengan wajah yang hangat nan damai dan jauh dari narasi-narasi kekerasan. ***

Rate this article!
Tags: