Menata Hati di Bulan Suci

Oleh :
Oryz Setiawan
Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat (Publich Health) Unair Surabaya

Bulan puasa telah tiba, bagi Umat Islam menyambut Bulan Suci Ramadhan merupakan siklus tahunan dimana kehadiran bulan penuh rahmat selalu dinantikan. Tahun ini berbeda dengan tahun sebelumnya bahwa Bulan Ramadhan hadir pasca dilaksanakan ajang pesta demokrasi pemilu 2019. Meski puncak pemilu telah usai dimana ditandai dengan pencoblosan, saat ini publik menanti proses perhitungan peroleh suara baik pilpres maupun pileg sesuai tahapan pemilu. Hasil perhitungan rekapitulasi suara pemilu dilakukan pada 22 Mei mendatang oleh KPU-RI. Suasana yang telah diwarnai persaingan terutama antar pendukung kedua calon presiden dan wakil presiden yang cenderung memanas. Kembali ke ranah bulan puasa, dalam konteks kekinian bahwa salah satu hikmah puasa adalah mampu memperbaiki kesehatan mental atau kejiwaan seseorang. Dalam penelitian Dr. Ehret seorang ilmuwan bidang kejiwaan menjelaskan bahwa dengan beberapa hari berpuasa akan memberikan dampak pada kesehatan fisik, dan lebih lanjut untuk mendapatkan kesehatan mental maka seseorang harus menjalani puasa lebih dari 21 hari.
Secara normal kondisi emosional seseorang pada saat puasa ternyata lebih stabil dibandingkan dengan yang tidak berpuasa selain karena faktor pengendalian diri juga dipengaruhi juga oleh reaksi tubuh atas dampak makanan yang masuk dalam tubuh dalam bentuk energi lebih. Energi berlebih inilah yang merupakan “potensi” luapan emosional seseorang. Terhindarnya seseorang dari gangguan dan penyakit kejiwaan, mampu menyesuaikan diri, sanggup menghadapi masalah-masalah dan kegoncangan-kegoncangan biasa, adanya keserasian fungsi-fungsi jiwa (meminimalisasi timbulnya konflik) dan merasa bahwa dirinya berharga, berguna dan bahagia, serta dapat menggunakan potensi yang ada padanya seoptimal mungkin. Jika dikorelasi dengan kondisi perpolitikan saat ini, datangnya bulan puasa merupakan momentum terbaik untuk meredam luapan emosi dan kegaduhan yang cenderung mengarah pada egoisme kelompok atau golongan.
Mengingat sebagian besar aktor dan elit politik adalah muslim maka dengan berpuasa semestinya lebih sabar dan mampu mengontrol emosi dan menepis syahwat ingin menyingkirkan lawan politiknya. Hal ini juga relevan dengan pemerintah Jokowi saat ini mengampanyekan revolusi mental terhadap seluruh elemen masyarakat. Tujuannya untuk membangun dan memperbaiki mental masyarakat menuju kondisi Indonesia yang lebih baik. Diharapkan nanti dalam penentuan pemenang pemilu tidak ada lagi dendam politik yang berkepanjangan, sudah saatnya “bersatu” kembali untuk memajukan bangsa kita ditengah persaingan global. Kesemuanya harus dimulai dari individu (diri sendiri), dimulai saat ini dan hal-hal yang kecil terutama di lingkungan keluarga. Bulan Puasan merupakan momentum yang tepat untuk mewujudkan harapan tersebut.
Memaknai Puasa
Nabi Muhammad SAW bersabda yang diriwayatkan oleh Ibnu Suny dan Abu Nu’aim: “Berpuasalah maka kamu akan sehat.” Dengan berpuasa, akan diperoleh manfaat secara biopsikososial berupa sehat jasmani, rohani dan sosial. Hal ini sudah sangat umum disampaikan diberbagai referensi ilmiah. Rahasia kesehatan yang dijanjikan dalam berpuasa inilah yang menjadi daya tarik ilmuwan untuk meneliti berbagai aspek kesehatan puasa secara psikobiologis, imunopatofisilogis dan biomolekular. Secara psikologis dengan berpuasa sesuai niat yang kuat dan ikhlas, ibadah puasa dapat kita jalani dengan maksimal sekaligus memberikan manfaat yang maksimal pula bagi diri kita. Selain itu akan mampu memperbaiki kondisi mental secara bermakna. Seorang peneliti di Moskow melakukan penelitian pada seribu penderita kelainan mental termasuk gangguan jiwa (skizofrenia). Ternyata dengan puasa sekitar 65 persen terdapat perbaikan kondisi mental yang bermakna.
Secara ekonomi, sebenarnya berpuasa dapat mengurangi beban ekonomi masyarakat dimana terdapat pengurangan frekuensi kuantitas asupan makanan, namun godaan duniawi yang dimanifestasikan dalam pesatnya gairah belanja dengan berlebihan dan gaya hidup konsumtif secara masif jelas berpengaruh terhadap makna dan hikmah puasa itu sendiri. Saat ini justru banyak ditemui, konsumsi meningkat pesat akibat dorongan pusaran roda geliat ekonomi booming di bulan puasa. Pendek kata masyarakat tergilas oleh gencarnya promosi produk-produk konsumtif (consumer goods). Dari sisi produktivitas, dengan berpuasa membuat pikiran menjadi lebih tenang dan juga “melambat”. Hal tersebut diperkuat hasil penelitian ternyata pikiran yang melambat ini membuatnya justru bekerja lebih fokus, konsentrasi dan tajam. Masalah “rasa lapar” adalah masalah kelanjutan hidup sehingga wajar jika rasa lapar memaksa kita untuk berpikiran lebih kreatif, menciptakan inovasi dan hal-hal yang baru sehingga diharapkan hidup lebih produktif.

———- *** ———–

Rate this article!
Menata Hati di Bulan Suci,5 / 5 ( 1votes )
Tags: