Menata Kembali Lembaga Independen

Oleh :
Adam Setiawan, SH, MH
Dosen Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda

Pasca runtuhnya rezim Orde Baru tepatnya 22 tahun yang lalu, Indonesia mengalami proses transisi dari sistem politik otoritarian ke sistem politik demokratis. Salah satu wujud nyata transisi tersebut adalah adanya amandemen konstitusi sebanyak 4 (empat) kali. Reformasi konstitusi merupakan harga mati yang harus diperjuangkan mengingat UUD 1945 (sebelum perubahan) mengakomodir dominasi Pemerintah untuk melanggengkan kekuasaannya.Selain itu proses transisi sistem politik otoritarian ke sistem politik demokratis berimplikasi pula pada lahirnya lembaga-lembaga baru baik yang sifatnya independen (independent regulatory agencies), maupun lembaga sampiran (state auxiliary agencies). Fenomena lahirnya lembaga-lembaga baru di luar cabang kekuasaan utama merupakan solusi atas stagnansi praktik bernegara.
Saldi Isra memahami maksud dari yang dikatakan oleh Soekarno bahwa konsepsi trias politica yang digagas oleh Montesquieu dianggap telah usang. Dengan demikian artinya kebutuhan praktik bernegara yang terus bergerak mengikuti dinamika kompleksitas persoalan menghendaki hadirnya institusi baru. Karenanya, pembagian kekuasaan negara secar konvensional yang mengasumsikan hanya ada 3 (tiga) cabang kekuasaan di suatu negara tak mampu lagi menjawab kompleksitas yang muncul dalam perkembangan negara modern.
Bruce Ackerman dalam tulisannya yang selalu menjadi rujukan para ilmuwan politik dan hukum tata negara yang membahas cabang kekuasaan, dengan judul “ The New Separation of Power” menunjukan dalam perkembangannya negara Amerika Serikat mempunyai 5 (lima) cabang kekuasaan yakni House of Representative, Senate, President, Court and independent agencies (Bruce Ackerman: 2000).
Adapun paradigma lembaga independen menurut Prof. Jonathan Turley bahwa munculnya cabang keempat atau lahirnya lembaga di luar kekuasaan utama, menjadikan lembaga independen mempunyai kewenangan yang besar bahkan mereduksi kewenangan lembaga utama seperti lembaga pembentuk undang-undang (Jonathan Turley: 2013).
Diskursus yang berbeda dialami negara Indonesia, lembaga independen satu persatu kehilangan tajinya, karena desain pengaturannya yang tidak memadai alhasil tak ubahnya seperti pedang yang tumpul karena tidak pernah diasah sehingga menjadi tumpul. Ungkapan arabnya adalah wujuduhu ka’adamihi (adanya sama seperti ketidak beradaannya). Sebagai contoh keberadaan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) tidak jelas kerangka kerjanya dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM yang di masa lalu ditambah kasus-kasus mutakhir seperti kasus Novel Baswedan yang banyak pihak menilai terpidana penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan bukanlah orang yang sebenarnya dan tidak menjawab siapa aktor utama penyiraman.
Di samping soal pengaturan yang tidak memadai, ada pula desain pengaturan yang tidak mencerminkan makna indpendensi an sich. Contohnya adalah Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) di awal kehadirannya didesain menjadi lembaga negara independen terbebas dari kekuasaan manapun. Namun pasca terbitnya UU No 19/2019 (revisi UU KPK) format KPK mengalami perubahan drastis menjadi lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif.
Hal tersebut rasanya kontraproduktif bahkan terkesan menegasikan makna independen. Alasannya karena di satu sisi, KPK dalam melaksanakan tugas dan wewenang yang dimilikinya kini tetap bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. namun di sisi lain KPK ditasbihkan dalam rumpun eksekutif. Tentunya timbul pertanyaan apakah mungkin KPK bisa bekerja secara efektif seperti sebelumnya, jika KPK terkungkung dalam kekuasaan eksekutif.
Problematika berikutnya adalah soal makna independen yang dinilai muspra apabila dilihat dari pola rekrutmen anggota lembaga independen, karena dalam praktiknya acapkali ditemukan pola rekrutmen yang anomali. Misalnya penunjukan tim Panitia Seleksi yang disinyalir adanya conflict of interst dengan salah satu calonnya. Sebagai contoh rekrutmen calon pimpinan KPK yang sekarang dinilai sangat kontroversial karena banyak pihak yang menilai Pansel diduga kuat mempunyai konflik kepentingan dengan pimpinan KPK yang terpilih.
Contoh lainnya adalah penunjukan Pansel Anggota Ombudsman Republik Indonesia (ORI) yang berasal dari unsur penyelenggara pelayanan publik dinilai mempunyai conflic of interst. Ketua Pansel Anggota ORI adalah Chandra Hamzah cq merupakan Komisaris Bank Tabungan Negara (BTN), lalu anggota Pansel diisi oleh Muhammad Yusuf Ateh sebagai Ketua Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) juga menjabat anggota Dewan Pengawas PT Peruri. Sedangkan Juri Ardiantoro menjabat Deputi V Kantor Staf Presiden sekaligus komisaris PT Asuransi Jasa Indonesia.
Jika dilihat dari komposisinya, Pansel Anggota ORI terbukti ada yang rangkap jabatan, hal demikian tentunya menimbulkan pertanyaan karena sebelumnya ORI memberikan laporan adanya 397 penyelenggara negara terindikasi merangkap jabatan komisaris di BUMN. Oleh sebab itu wajar saja publik menjadi curiga, Pansel akan menjaring Anggota ORI yang tidak mempunyai kualitas dan integritas bahkan stigma masyarakat akan ada Anggota yang dapat dikendalikan.
Adapun potensi conflict of interest demikian tentunya bertentangan secara moral hingga berimplikasi terhadap objektivitas proses rekrutmen. Gejala public distrust pun tidak dapat terhindarkan tatkala ada salah satu Pansel atau lebih yang bermasalah hingga menghadirkan agenda setting yang terselubung dalam proses rekrutmen.
Selain itu anomali rekrutmen harus terjadi secara terus menerus tatkala melibatkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), kendati parlemen merupakan representasi rakyat, namun bukan rahasia umum lagi jika politik transaksional merupakan menu sehari-hari di parlemen, karena setiap partai yang berada di parlemen mempunyai agenda tersendiri. Dengan demikian tidak dapat dinafikan bahwa beberapa lembaga independen yang pola rekrutmen anggota/pimpinannya melibatkan peran DPR akan melahirkan anggota/pimpinan lembaga independen tidak terbebas dari anasir-anasir kepentingan partai politik di DPR.
Ihwal lembaga independen di Indonesia mempunyai banyak persoalan dan tantangan sehingga perlu rasanya kita tagih political will pemerintah (Presiden bersama DPR) untuk memperkuat kembali lembaga independen kedepannya. Pertama, Pemerintah harus mendesain lembaga independen dengan pengaturan yang lebih memadai, dengan tugas dan kewenangan yang lebih besar agar mampu bergerak dalam mengatasi berbagai kompleksitas negara yang ada. Kedua, Pemerintah harus memformat kembali lembaga independen sebagai lembaga yang independen an sich. Dengan perkataan lain lembaga independen tidak masuk dalam rumpun kekuasaan manapun, dengan begitu secara mutatis mutandis lembaga independen bekerja secara bebas tanpa intervensi siapapun. Ketiga, urgensi menata ulang pola rekrutmen anggota/pimpinan lembaga independen yang bebas dari anasir-anasir kepentingan politik.
Kendati harus melibatkan peran parlemen karena merupakan representasi rakyat, perlu adanya unsur masyarakat yang secara langsung terlibat tahap akhir rekrutmen yakni pemilihan anggota/pimpinan lembaga independen tidak hanya berhenti pada tahap assessment.
——— *** ———

Rate this article!
Tags: