Menata Pelabuhan, Mendongkrak Daya Saing

Wahyu Kuncoro SNOleh :
Wahyu Kuncoro SN
Wartawan Bhirawa ;
Alumnus Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya

Sektor kemaritiman terus menggeliat seiring program Nawacita yang didorong oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo. Sektor kepelabuhanan yang menjadi salah satu titik penting program Tol Laut pun terus berbenah. Berbagai pembangunan dan pembenahan di sektor pelabuhan berikut insfrastruktur yang lain dalam membangun  konektivitas perekonomian nasional sedikit demi sedikit mulai menampakkan hasilnya.
The Global Competitiveness Report (GCR) tahun 2014-2015 misalnya yang dirilis Forum Ekonomi Dunia atau World Economic Forum (WEF) yang me-ranking daya saing global menempatkan Indonesia pada peringkat 34 dari 144 negara, atau naik 4 (empat) tingkat dari posisi sebelumnya 38 (tahun 2013-2014), dan posisi ke-50 pada 2012-2013. Kenaikan peringkat tersebut setidaknya mengindikasikan kesungguhan pemerintah untuk menggarap secara serius sektor infrastruktur telah berada pada track yang benar. Menurut WEF, naiknya ranking indeks daya saing Indonesia pada periode ini dikarenakan perbaikan di beberapa kriteria seperti infrastruktur dan konektifitas, kualitas tatakelola sektor swasta dan publik, efisiensi pemerintahan, dan pemberantasan korupsi.
Manajemen logistik di pelabuhan masih menjadi kendala dalam mata rantai perekonomian nasional. Lamanya proses barang keluar dari pelabuhan sejak turun dari kapal, membuat biaya semakin mahal, sehingga memengaruhi harga yang harus dibayar konsumen. Pemerintah dan semua pihak terkait, harus segera memangkas birokrasi di pelabuhan agar proses yang harus dijalani sejak kontainer turun dari kapal hingga keluar dari pelabuhan (dwelling time) bisa dipersingkat.
Dampak langsung dwelling time dihadapi oleh perusahaan freight forwarder (FF), perusahaan trucking, dan pemilik barang. Biaya yang dihadapi oleh pelaku dan penyedia jasa logistik berdampak terhadap harga barang, sehingga masyarakat membeli barang dengan harga yang mahal. Dampak terbesar tentu pada meningkatnya harga komoditas yang masuk di pelabuhan, akibat biaya birokrasi yang tidak efisien. Jika komoditas itu berupa bahan baku, tentu akan memengaruhi biaya produksi, yang pada akhirnya membuat harga barang yang harus dibayar konsumen lebih mahal. Selain itu, daya saing produk menjadi rendah, baik di dalam maupun luar negeri. Inilah mata rantai kerugian akibat lamanya dwelling time di pelabuhan, yang merugikan perekonomian nasional.
Dikhawatirkan, lamanya proses dwelling time sengaja dibuat untuk membuat celah korupsi atau pungutan liar (pungli). Sudah bukan rahasia lagi, mata rantai birokrasi dibuat rumit dan lama, sehingga pengguna jasa harus mengeluarkan biaya tambahan jika menghendaki proses dipercepat. Ini yang sangat berbahaya, karena membiarkan pelabuhan menjadi sarang pungli.
Momentum Memangkas Dwelling Time
Membenahi birokrasi dan manajemen logistik di pelabuhan bukan perkara mudah. Terbukti, persoalan dwelling time bertahun-tahun nyaris tak tersentuh. Lantaran itu, patut diapresiasi kiranya ketika Presiden Jokowi mendorong jajaran kepolisan mengusut kasus dwelling time di pelabuhan Tanjung Priok. Persoalan lamanya waktu bongkar muat (dwelling time) yang begitu lama di Pelabuhan yang selama ini nyaris tak terselesaikan mulai menemukan titik terang menyusul terbongkarnya terbongkarnya praktik suap besar di Priok. Tidak tanggung-tanggung, kasus tersebut menyeret direktur jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan dan beberapa pejabat lain di lingkungan kementerian itu. Ada dugaan suap dan gratifikasi serta tindak pidana pemerasan terhadap para pengusaha (importir) dalam dwelling time di Pelabuhan Tanjung Priok.
Praktik-praktik tersebut sesungguhnya telah berlangsung lama dan sudah tersistematis. Praktik-praktik tersebut membelit hampir semua urusan terkait dengan sistem keluar masuk barang di pelabuhan, mulai dari pengurusan dokumen (pre-clearance), pemeriksaan bea dan cukai (custom clearance), dan terakhir proses pengeluaran barang (post-clearance). Persoalannya menjadi kian panjang dan rumit karena beberapa tahap di antaranya melibatkan 18 kementerian yang juga menerbitkan peraturan untuk impor barang. Itulah makanya dwelling time yang seharusnya bisa satu hari kelar, akhirnya terhambat karena importir harus mengurus seabrek perizinan untuk mengeluarkan barang dari Pelabuhan Tanjung Priok tersebut.
Rata-rata dwelling time di Pelabuhan Tanjung Priok masih 5,5 hari dari target 4,7 hari. Angka ini masih jauh lebih lama dibandingkan dengan Port Klang, Malaysia, yang hanya membutuhkan waktu 2 hari, di Thailand 2-3 hari, sedangkan di Singapura hanya 1 hari. Banyak kerugian yang harus diterima pengusaha jika persoalan dwelling time ini masih terus menjadi masalah. Selain kerugian biaya juga tentu waktu yang lebih lama. Investor pun tentu makin enggan berinvestasi di Indonesia.
Mereka tentu akan melihat, Indonesia masih belum mampu membenahi birokrasi di manajemen logistik. Akibatnya, kalkulasi para pengusaha akan sampai pada kesimpulan bahwa berinvestasi di Indonesia tidak menguntungkan, karena barang yang dihasilkan tidak kompetitif akibat inefisiensi di sejumlah lini, termasuk manajemen pelabuhan. Inilah yang kemudian berimplikasi pada rendahnya daya saing Indonesia di mata asing.
Bagi pengusaha/importir yang tak mau repot dengan berbagai prosedur itu, penggunaan jasa pihak lain untuk kepengurusannya, adalah pilihan yang paling mungkin. Dari sinilah muncul dan berkembang celah-celah untuk permainan uang, suap, gratifikasi, dan sejenisnya. Ratusan miliar rupiah uang haram lahir dari praktik-praktik permainan dalam dwelling time di Pelabuhan Tanjung Priok ini. Sebuah data bahkan menyebutkan praktik yang sudah berlangsung lama ini telah menimbulkan ketidakefesienan dan membuat kerugian negara mendekati Rp 780 triliun.
Itulah makanya semua praktik yang menimbulkan inefisiensi dan ekonomi biaya tinggi dalam dwelling time di Pelabuhan Tanjung Priok harus segera diakhiri. Langkah hukum adalah satu hal penting yang harus ditegakkan. Kepolisian jangan ragu untuk membongkar dan mengusut tuntas terjadinya indikasi pidana, mulai dari gratifikasi, penyuapan hingga pemerasan kepada pengusaha.
Memacu Kinerja Pelindo III
Pelabuhan merupakan salah satu gerbang perekonomian suatu negara. Sehingga, maju-tidaknya perekonomian suatu negara salah satunya terkait erat dengan kinerja pelabuhan yang dimiliki. PT Pelabuhan Indonesia III (Persero) selaku operator pelabuhan dituntut senantiasa berusaha meningkatkan kinerjanya, khususnya terkait dengan layanan jasa pelabuhan. PT Pelindo III sebagai BUMN kepelabuhanan yang mengelola 43 pelabuhan di 7 provinsi tentu akan menjadi salah satu aktor terpenting dalam penataan sistem logistik nasional. Oleh karenanya, upaya-upaya pembenahan dalam sistem logistik nasional harus menjadi concern PT Pelindo III.
Langkah restrukrisasi organisasi Pelindo III yang baru saja dilakukan tentu merupakan respon baik dalam upaya menata organisasi. Restrukturisasi organisasi tersebut setidaknya untuk menyesuaikan dengan perubahan-perubahan yang terjadi. Terlebih pada tahun 2018 mendatang Pelindo III menargetkan menjadi Emerging Industry Leader melalui layanan full handling terminal system & logistic integration serta integrated industrial port estate. Artinya, perubahan struktur organisasi tersebut guna memastikan fungsi-fungsi dalam organisasi tertata dengan efektif utamanya dalam meningkatkan market share pengusahaan bongkar muat dan meningkatkan pelayanan operasional.
Adanya perubahan struktural tersebut membuat Pelindo III kini lebih ramping namun kaya fungsi. Misalnya, terlihat adanya penguatan manajemen pada sisi bisnis, pemasaran dan Pengembangan Usaha. Penguatan SDM pemasaran ini diharapkan dapat mempercepat layanan dengan mengintegrasikan semua terminal di Pelabuhan Tanjung Perak yang merupakan gerbang penting untuk logistik kawasan Indonesia Timur. Memang, penataan struktur organisasi saja tidak akan mungkin menjawab tantangan. Lantaran itu, ada dua langkah strategis yang mesti dilakukan Pelindo III untuk meningkatkan kinerjanya.
Pertama, revitalisasi dan modernisasi pelabuhan. Revitalisasi dilakukan dengan mengandalkan terminal pelabuhan yang sudah ada. Misalnya, di Terminal Jamrud Utara, sebelumnya hanya untuk melayani general cargo dan penumpang, kini, Jamrud Utara utara juga akan melayani general cargo internasional, curah kering internasional, dan penumpang. Begitu juga di Terminal Berlian yang tadinya melayani peti kemas domestik dan general cargo, kini dikhususkan untuk melayani peti kemas domestik dan curah kering. Sementara, modernisasi pelabuhan dilakukan dengan meningkatkan kinerja lewat pembaruan dan penambahan alat-alat bongkar muat yang ada di pelabuhan. Langkah Pelindo III mendatangkan peralatan bongkar muat berupa dua unit Grab Ship Unloader (GSU) dan dua unit Ship to Shore (STS) Crane sungguh tepat. Penambahan alat muncul setelah ada keluhan waktu bongkar muat barang di pelabuhan masih lama. Apalagi Pelindo III juga menjadi pusat logistik ekonomi kawasan timur Nusantara. Peralatan yang tiba merupakan fasilitas bongkar muat utama yang didatangkan untuk mempercepat kinerja bongkar muat di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Grab Ship Unloader yang difungsikan untuk bongkar muat curah kering di Terminal Teluk Lamong sesuai dengan konsep terminal ramah lingkungan. Pelayanan kecepatan bongkar muat curah kering terus ditingkatkan sehingga sejalan dengan proyeksi Terminal Teluk Lamong untuk mencapai target produksi lima juta ton per tahun.
Kedua, peningkatan kapasitas pelabuhan. Langkah ini dilakukan dengan penambahan fasilitas di luar fasilitas yang sudah ada sekarang. Langkah Pelindo III ketika membangun membangun Terminal Teluk Lam ataupun merevitalisasi Alur Pelayaran Barat Surabaya adalah salah satu langkah pengembangakan kapasitas pelabuhan. Langkah semacam ini juga harus terus dilakukan untuk mengembangkan pelabuhan-pelabuhan lain dengan penambahan dermaga ataupun perluasan lahan bongkar muat berikut peralatannya.

                                                                                                               ———– *** ———–

Tags: