Mencari Pers Sehat di Tahun Politik

persehatHari Pers Nasional (HPN) telah diperingati tanggal 9 Februari lalu. HPN tahun ini mengangkat tema “Pers Sehat, Rakyat Berdaulat”. Tema ini relevan dipilih mengingat posisi pers yang sangat strategis dalam mewujudkan masyarakat yang berdaulat. Pers yang dapat menjadi media pembentuk kedaulatan rakyat hanyalah pers yang sehat. Di tahun politik ini, cukup sulit menemukan pers yang benar-benar sehat.
Keberadaan pers menjelang pemilu tahun ini memang terasa spesial. Banyak politisi, pengurus parpol, dan para caleg, berebut mendapat liputan media demi mendongkrak popularitas dan pencitraan diri dan partainya. Netralitas, proporsionalitas dan independensi pers saat ini benar-benar teruji. Apabila pers Indonesia lulus dalam ujian ini berarti pers mampu menjadi saluran penampung aspirasi dan kontrol sosial masyarakat.
Namun apabila pers gagal menjaga prinsip-prinsip dasar jurnalismenya, maka pers sebagai salah satu pilar demokrasi justru akan membuat demokrasi runtuh. Diantara maraknya ketidakpercayaan masyarakat pada tiga pilar demokrasi yang lain, harapan masih tertumpu pada pers Indonesia agar tidak ikut-ikutan sakit seperti halnya pilar legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Menilik praktik pers baik lewat media cetak, elektronik, dan media online, di tahun politik ini ada praktik pers yang menyimpang. Masalah politisi pemilik media, intervensi ruang redaksi (newsroom), hingga curi start kampanye melalui iklan dan pemberitaan politik, banyak menghiasi layar televisi, halaman surat kabat dan media online, serta siaran radio.
Stop Jurnalisme Pacuan Kuda
Agenda pemilu legislatif semakin dekat. Dalam beberapa bulan lagi masyarakat Indonesia memilih wakil-wakil mereka yang akan duduk menjadi anggota dewan. Aroma kompetisi antar caleg sudah semakin ramai terasa. Sosialisasi lewat pemasangan gambar caleg dalam bentuk umbul-umbul, baliho, spanduk, billboard, dan stiker ramai mengiasi pinggir jalan-jalan kota dan desa.
Pertarungan antar kandidat caleg atau pasangan capres-cawapres juga ramai dalam liputan media. Tidak sedikit media cetak maupun elektronik yang menjadi fasilitator pertarungan pencitraan para politisi yang berlaga. Tidak jarang pula media mempraktikkan model jurnalisme pacuan kuda dalam liputan berita politiknya. Seperti layaknya lomba pacuan kuda, suasana yang dibangun oleh media menjadi penuh kegaduhan.
Jurnalime pacuan kuda (Horse Race Journalism) adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menggambarkan aktivitas jurnalistik dalam meliput kegiatan pemilihan pemimpin suatu negara atau daerah yang menyerupai lomba pacuan kuda. Berita di media lebih fokus hanya pada polling data, persepsi publik terhadap seorang kandidat serta perbedaan seorang kandidat versus kandidat lain.
Berita politik di media ditampilkan layaknya sebuah perlombaan pacuan kuda. Para jurnalis sibuk meliput kegiatan kampanye politik para kandidat. Biasanya liputan dimulai dari persiapan para calon yang diibaratkan layaknya “joki” dan bagaimana kompetisi antar “kuda” atau partai yang menjadi tunggangannya. Wartawan juga menampilkan bagaimana jalannya “pacuan kuda” atau persaingan diantara para kandidat dan pendukungnya.
Praktik jurnalisme pacuan kuda ini bisa terlihat dari pemberitaan media yang lebih menonjolkan persaingan antar partai, kompetisi antar caleg, dan pertempuran antar kandidat. Seperti halnya sebuah balapan kuda, media cenderung menampakkan saling salip antar calon dan partai pendukung serta para suporter setianya agar bisa memenangkan pemilu.
Patterson (2005) berpendapat bahwa praktik jurnalisme pacuan kuda berpotensi merusak kepercayaan masyarakat terhadap akurasi dan validitas pemungutan suara. Para awak media terkonsentrasi pada permainan politik para kandidat seperti fokus terhadap taktik dan strategi tim kampanye kandidat tanpa memberikan pemberitaan mengenai kualifikasi seorang kandidat dalam pencalonannya sebagai pemimpin. Hal ini akan mengurangi kemampuan masyarakat dalam mengambil keputusan yang tepat pada pemilu.

Pers Sehat Jelang Pemilu
Ada sederet indikator yang bisa digunakan sebagai penanda sebuah pers bisa dinyatakan sehat, sakit, atau bahkan sekarat. Sebagai institusi bisnis, pers dikatakan sehat bisa dilihat dari sudut pandang kesuksesan secara finansial, namun pada sisi lain kesehatan pers dapat dilihat lewat sejauh mana pers mampu memainkan peran idealnya di tengah masyarakat.
Menteri Komunikasi dan Informatika, Tifatul Sembiring, mengatakan bahwa salah satu indikasi pers yang sehat adalah berbahasa baik, santun dan mencerdaskan masyarakat. Sementara itu menurut Ketua Dewan Pers, Bagir Manan, ada tiga kriteria yang harus dimiliki media massa atau pers sehingga dapat dikatakan pers sehat.
Mengutip Bagir Manan, pers sehat harus merdeka dan bebas intervensi. Jika ada pihak yang membatasi media, maka bertentangan dengan prinsip kebebasan pers. Pers juga harus profesional dengan menganut unsur-unsur integritas, pengetahuan yang luas, dan nilai-nilai kode etik yang ditaati. Selanjutnya media massa harus komitmen terhadap sifat alamiah di mana pers merupakan institusi sosial yang mengedepankan kepentingan publik.
Mengutip pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam sambutan puncak peringatan HPN di Bengkulu bahwa pers yang sehat bisa menjadi pengawal demokrasi sekaligus sebagai pengawas good governance. Untuk itu pers yang sehat hendaknnya tidak menyebar fitnah dalam pemberitaannya. Pemberitaan sepatutnya didasari dengan itikad baik sesuai sendi utama jurnalisme.
Pers sehat adalah pers yang tidak merusak perasaan kalangan tertentu, tidak mengganggu ketertiban dan keamanan. Selain itu, pers sehat adalah pers yang tidak menyebarluaskan kebencian dan tendensius. Dalam pemberitaan pemilu, pers hendaknya menjunjung kode etik jurnalistik serta bisa menghindari praktik menyimpang, seperti menerapkan jurnalisme pacuan kuda.
Kontribusi insan pers dalam mendukung kesuksesan pemilu 2014 mendatang sangatlah besar. Bisa dikatakan bahwa hitam putihnya pemilu bisa dibentuk oleh pers. Untuk itu para pelaku pers perlu kedewasaan dan semangat menjunjung etika dan moral dalam menjalankan profesi ini. Bagi para politisi dan pemilik media hendaknya bisa bersikap adil, tidak mentang-mentang karena dia pemilik media lantas bisa seenaknya menggunakan medianya untuk kepentingan pribadi dan partainya.
Keikutsertaan masyarakat guna mengawasi pers juga menjadi unsur penting dalam membangun pers yang sehat. Kemauan masyarakat turut aktif memantau dan mengawasi praktik media yang menyimpang juga teramat penting. Pers memang mampu menjadi sarana kritik dan kontrol masyarakat terhadap pemerintah, tetapi dalam menjalankan perannya insan pers hendaknya juga tidak anti kritik. Semoga jaya pers Indonesia. *

Oleh:
Sugeng Winarno
Pegiat Literasi Media, Dosen Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Muhammadiyah Malang.
Rate this article!
Tags: