Mencari Role Model Pemberdayaan Perempuan

Oleh :
Suli Da’im
Mahasiswa Program Doktor STIESIA Surabaya

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati Puspayoga menyatakan program Pahlawan Ekonomi dan Pejuang Muda Surabaya bisa menjadi role model pemberdayaan ekonomi perempuan. Program tersebut juga bisa dilakukan di pelosok-pelosok Tanah Air. (JP, 9/12/2019).
Menteri PPA juga mengapresiasi menjamurkan perkembangan usaha kaum perempuan di Kota Pahlawan. Di mana, banyak produk yang dihasilkan dan kini telah mampu masuk pasar ritel modern. Para perempuan yang tidak bisa meninggalkan pekerjaan domestik bisa membantu perekonomian keluarga dengan bekerja, tapi tidak meninggalkan rumah.
Pemberdayaan perempuan masih hingga kini masih menjadi agenda serius yang perlu ditutaskan. Penguatan kualitas dan kuantitas di sektor ini butuh sentuhan nyata lewat program-program konkret. Peran perempuan dianggap strategis untuk meningkatkan perekonomian negara. Kesejahteraan dan kemakmuran negara akan tercapai bila kaum perempuan mampu melakukan kegiatan produktif dalam bisnis.
Potret kegiatan usaha perempuan juga bisa dilihat dari data Bank Indonesia. Di mana, tahun 2018, total usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) tahun 2018 mencapai 57,83 juta dengan lebih 60 persen dikelola perempuan. Ini artinya, jumlah UMKM perempuan di Indonesia 37 juta.
Di level nasional isu pemberdayaan perempuan juga gencer dilakukan. Kita bisa melihat kampanye Facebook. Sejak tahun 2017, Facebook gencar mengampanyekan dukungan untuk pengusaha perempuan di dunia, termasuk di Indonesia. Facebook berkeyakinan jika keberhasilan perempuan sangat penting bahkan bisa diartikan sebagai kemenangan bersama.
Sikap afirmatif terhadap perempuan tersebut dilatarbelakangi riset Facebook (Riset YouGov), di mana 9 dari 10 perempuan di Indonesia ingin membangun usaha sendiri. 58 persen dari para perempuan tersebut memulai bisnis yang akan memiliki pengaruh sangat besar terhadap ekonomi. Hal tersebut bisa membuka kesempatan pada 3.836 juta bisnis baru, 1.175 juta lapangan kerja baru pada 2021 mendatang.
Riset juga menjabarkan tantangan kaum perempuan yang ingin menjadi pengusaha. Yakni, kurang akses finansial (36 persen), kurang percaya diri (30 persen), kurang informasi untuk memulai usaha (32 persen), dan tidak ada tempat untuk menjalankan bisnis seperti ritel atau kantor (26 persen)
Ada beberapa catatan yang pantas dicermati untuk melihat pola dan pengembangan pemberdayaan perempuan, khususnya dalam menjalankan aktivitas bisnis.
Pertama, pemberdayaan perempuan hingga kini tak bisa lepas dari intervensi pemerintah. Di mana kaum perempuan mendapat berbagai fasilitas dan kemudahan untuk mendukung kegiatan usaha. Fasilitas berupa training, legalitas, perizian, dan masih banyak lagi. Pun dengan akses pemasaran yang menyediakan sarana seperti ruang pameran, show case di tempat-tempat keramaian, dan masih banyak lagi.
Di satu sisi, keterlibatan pemerintah ini dianggap positif. Karena hal itu menunjukan adanya keberpihakan untuk menolong usaha mikro lebih maju dan berkembang. Namun, di sisi lain, faktor ini bisa menjadi kurang menguntungkan lantaran acap kali pelaku usaha perempuan menjadi kurang mandiri dalam menjalankan aktivitas bisnis.
Rasanya juga harus dilihat, seberapa banyak pelaku usaha perempuan yang eksis karena memenuhi program-program unit kerja dan instansi pemerintah. Hal ini pada gilirannya memosisikan pelaku usaha perempuan sebagai entitas organik dan tidak banyak berkontribusi dalam menyokong kegiatan ekonomi masyarakat.
Kedua, keterlibatan pihak ketiga yang ikut mendorong pertumbuhan dan perkembangan pelaku usaha perempuan. Pihak ketiga atau perusaahan menggelontorkan dana corporate social responsibility (CSR) untuk membantu kegiatan bisnis dengan bentuk permodalan.
Hanya saja, alokasi dana CSR sering bersifat insidentil dan kurang memerhatikan masalah institusionalisme yang mensyaratkan struktur organisasi dan tata kelola sumber daya manusia yang tepat di bidang CSR. Sehingga, banyak program CSR yang tidak mampu memenuhi prinsip pemberdayaan.
Beberapa kasus yang terjadi, droping pinjaman permodalan untuk UMKM tidak terdistribusi tepat sasaran. Artinya, perusahaan memberikan bantuan modal dengan melihat kepentingan meningkatkan usaha, bukan mengukur dan menganalisis kapasitas usaha dan dukungan bantuan modal yang dibutuhkan pelaku usaha. Ini pada gilirannya membuat banyak pelaku usaha yang sudah kadung menerima pinjaman modal tidak bisa memenuhi kewajiban lantaran aktivitas bisnisnya sudah layu.
Ketiga, sebagian besar pelaku usaha perempuan belum memiliki fundamental bisnis yang kuat. Parameternya bisa dilihat dari seberapa kuat produk mereka diterima konsumen, memiliki Standard Operating Procedure (SOP), segmentasi pasar, punya diferensiasi dengan kompetitor, memiliki tim yang kompetitif, memiliki brand yang kuat, dan sebagainya.
Makanya, pertambahan jumlah pelaku usaha perempuan seyogianya tidak bisa dijadikan indikator keberhasilan. Karena kita harus dapat melihat seberapa besar ketahanan mereka dalam menjalankan aktivitas bisnis. Mampu membuat produk inovatif yang laku dijual.
Begitu pun dengan jangkauan usaha, sampai sekarang diyakini masih sangat terbatas. Meski sekarang penggunaan instrumen digital, seperti marketplace dan media sosial, gencar diterapkan.
Keempat, faktor mentalitas berusaha. Problem berat bangsa ini salah satunya menyangkut kemandirian. Pengalaman membuktikan, banyak perempuan gampang goyah dan kurang percaya diri menjalankan aktivitas bisnis. Mereka takut bersaing dan mudah patah arang jika menemui kegagalan.
Sementara bagi perempuan yang menapaki bisnis, sering kali tak bisa memenuhi aspek-aspek penting, seperti ketepatan waktu, detil, dan perfeksionis sebagai syarat untuk memertahankan kualitas usaha. Sehingga, jangan heran bila mereka sulit bertarung di level yang lebih tinggi.
Begitu pun sekarang, publik masih mempertanyakan, mampukah pelaku usaha perempuan memproduksi item barang secara massif? Juga dengan upaya untuk menghasilkan sesuatu baru yang memberi nilai tambah dengan menggunakan parameter pasar.
Ide mencari role model pemberdayaan perempuan sekarang memang harus cepat dilakukan. Langkah kolaboratif yang melibatkan unsur pemerintah, pihak ketiga, dan lembaga ekonomi menjadi condition sine qua non (syarat mutlak) yang harus dijalankan.
———— *** —————

Tags: