Mencari Solusi Skandal Asuransi

Oleh :
Novi Puji Lestari
Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Malang
Maraknya kasus korupsi di negeri ini bener-bener mengundang perhatian kita bersama. Seperti kita ketahui akhir-akhir ini, belum habis kasus gagal bayar polis PT Asuransi Jiwasraya (Persero) yang tak lama disusul oleh Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912. Kenyataan ini bener-bener jika dibiarkan akan membuat publik semakin tidak percaya dengan adanya lembaga pengelola asuransi.
Seperti kita ketahui melalui Skandal Jiwasraya memang tidak main-main. Amat banyak nasabah pemegang polis yang jatuh tempo belum mendapatkan hak mereka. Jumlah totalnya terbilang fantastis, mencapai Rp12,4 triliun. Akibat sikap ugal-ugalan beberapa bekas direksi dalam mengelola, perusahaan asuransi pelat merah itu menyisakan kerugian negara lebih dari Rp 3 triliun. Sedangkan, asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912 dihadapkan pada kewajiban pembayaran klaim nasabah. Manajemen mengungkapkan potensi klaim di 2019 dan 2020 nilainya mencapai Rp 9,6 triliun, (cnbcindonesia.com, 21/1)
Lemahnya Tata Kelola Asuransi
Semakin kompleksnya perkembangan resiko asuransi, maka asuransi juga memiliki peran yang cukup besar di dalam pertumbuhan ekonomi dan pembangunan. Perkembangan tersebut juga menunjukan pengaruh yang signifikan, bahwa tingkat kepercayaan masyarakat terhadap produk asuransi sangat baik. Karena semakin banyak masyarakat yang sadar akan pentingnya asuransi dan menginginkan jaminan/perlindungan terhadap berbagai macam resiko yang akan mereka hadapi kelak di masa yang akan datang.
Ekspektasi tidak bisa terelakkan, ketika kepercayaan masyarakat terhadap produk produk asuransi mulai terbangun dan tercipta, tetapi disatu sisi masyarakat harus dihadapkan realita dugaan skandal korupsi di perusahaan asuransi yang di kelola oleh negara. Seperti terhadap polis asuransi para nasabahnya, bahkan PT. Asabari yang mengelola aset dana para prajurit/PNS TNI diduga turut terseret dalam skandal kasus korupsi.
Fakta itu tentu saja membutuhkan penanganan yang serius, karena perlu tersadari bahwa mengembalikan kepercayaan publik tak semudah membalikan telapak tangan. Mutlak memerlukan tekad dan kemauan superbesar pula untuk menuntaskannya. Setidaknya ada dua penyelesaian yang mesti disegerakan agar megaskandal itu menjadi terang benderang, yaitu penyelesaian hukum dan penyelesaian hak-hak nasabah.
Sebelum industri asuransi ini bisa terselesaikan, setidaknya ibarat penyakit setidaknya perlu tahu tata kelola industri asuransi di Indonesia. Intinya, setelah ada kejadian dari kegagalan pembayara polis dari beberapa industri asuransi di negeri ini, seidaknya membuktikan kalau manajemen asuransi di negeri ini tidaklah kuat, tercermin dari salah satu kasus yang muncul ke publik yakni gagal bayar PT Asuransi Jiwasraya (Persero). Selain itu, adanya penempatan investasi yang kacau dalam beberapa tahun terakhir yang membuat gagal bayar dana nasabah.
Permintaan Presiden memang harus dituntaskan sesegera mungkin. Karena kalau tidak, masalah yang muncul akan terus beranak-pinak dan malah akan melenceng kemana-mana. Juga akan “merusak” industri asuransi di tanah air. Publik berharap penyelesaian segera, agar semua pemegang polis dibayarkan hak-haknya tanpa kekurangan satu rupiah sekalipun.
Bisa diartikan bahwa mereka yang bertanggungjawab harus dituntut setimpal dengan kesalahannya. Selain itu, perusahaan asuransi pelat merah ini harus segera dibersihkan dan dipulihkan dengan normal dan melayani kembali masyarakat. Target ini akan sangat penting bagi masa depan industri keuangan, khususnya industri asuransi sebagai sebagai area bisnis yang dijalankan dengan prinsip kepercayaan.
Langkah Penyelamatan
Langkah penyelamatan Jiwasraya oleh pemerintah, dibutuhkan kefokusan dari Ombudsman pada road map dan strategi rasional agar mampu menjawab hak dan kebutuhan nasabah. Seperti yang ungkapkan oleh Anggota Ombudsman RI, Ahmad Alasyah Saragih (sindonews.com, 20/1), menyebutkan saat ini Ombudsman menerima 74 laporan terkait asuransi yang berasal dari individu dan serikat terutama terkait kasus bayar gagal Jiwasraya, Bumi Putera, laporan menyangkut OJK yang tidak menindaklanjuti kasus asuransi sehingga ke depan Ombudsman mengharapkan persoalan ini dapat ditangani secara sistemik.
Seperti halnya, sebelumnya Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) mengusulkan beberapa poin agar reformasi asuransi yang dilakukan OJK dapat berjalan dengan baik dan tepat sasaran, diantaranya adanya program Insurance Technology (Insurtech), melakukan kampanye nasional untuk meningkatkan kesadaran berasuransi, melakukan pembentukan Lembaga Penjamin Pemegang Polis (LPPP), melakukan penundaan Implementasi International Financial Reporting Standard (IFRS) 17 dan melakukan perlindungan konsumen asuransi agar mengacu ke Peraturan OJK (POJK) Perlindungan Konsumen, agar UU Perlindungan Konsumen mengecualikan industri jasa keuangan.
OJK juga harus mengatur porsi kepemilikan asing dengan maksimal 100 persen, melakukan Coordination of Benefit BPJS Kesehatan, melakukan penundaan Spin Off Asuransi Syariah, merevisi UU Dana Pensiun dan mengatur perpajakan industri asuransi. Setidaknya, berikut beberapa solusi yang bisa penulis tawarkan untuk mengurai masalah asuransi.
Pertama, tahap awal reformasi yang harus dilakukan dengan menegakan tata kelola dan kehati-hatian pelaku industri serta integritas regulator maupun pelaku pasar terutama menghilangkan konflik kepentingan pada tubuh OJK.
Kedua, saatnya memperhatikan tata kelola, risk management, kepatuhan dan bebas dari konflik kepentingan regulator dan pelaku industri, kasus gagal bayar Jiwasraya cukup berdampak sistemik pada industri keuangan nonbank. Artinya back door systemic risk yaitu risiko sistemik yang berasal dari industri keuangan nonbank. Karena ada asimetris information antara nasabah dengan bank dalam hal produk asuransi yang berbalut investasi,
Ketiga, membentuk lembaga penjamin polis. Pembentukan lembaga penjamin polis ini penting adanya. Setidaknya, kasus yang akhir-akhir ini terjadi pemegang polis tidak terprotektif. Sebab, gagalnya penarikan dana asuransi atau pemegang polis kerap mengalami kegagalan, maka persepsi dan kepercayaan para pemegang polis, masyarakat pada umumnya akan semakin hancur, dan bisa menjadi trauma terhadap produk asuransi. Baik pemerintah apalagi asuransi swasta.
Melalui tiga solusi tersebut setidaknya tidak bisa ditawar lagi. Pemerintah harus segera menyelesaikan dengan baik. Ini menjadi momentum untuk membersikan semua ketidak-beresan dalam tubuh BUMN semacam Jiwasraya dan Asdabri maupun lainnya. Pemerintah harus menerapkan semua aturan perundang-undangan yang berlaku. Semoga semua persoalan terkait Jiwasraya dapat terselesaikan, tidak berdampak luas bagi kepercayaan masyarakat tentang asuransi, dan Jiwasraya dapat bangkit kembali dan kembali dipercaya oleh nasabahnya.
———– *** ———–

Rate this article!
Tags: