Mencegah Korupsi Dana Desa Mengalir Sampai Jauh

Dr Ana Sopanah

(Memperkuat Demokrasi dan Tata Kelola Keuangan Desa)

Satu per satu, pihak yang terlibat pengelolaan dana desa  menjadi tersangka korupsi. Bahkan dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Kabupaten Pamekasan, mulai dari kepala desa hingga bupati ikut terlibat. Apabila tidak ada upaya serius mengantisipasi, bukan peningkatan kesejahteraan yang terwujud, melainkan pemerataan korupsi hingga ke desa-desa.

Wahyu Kuncoro, Harian Bhirawa

Melalui kebijakan dana desa, perekonomian dan kesejahteraan masyarakat diharapkan meningkat. Alokasi anggaran yang disediakan pemerintah terus bertambah. Pada 2017, total dana desa dari APBN sebesar Rp 60 triliun, bertambah Rp 13,1 triliun daripada tahun sebelumnya. Berdasarkan Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi No. 22/2016 tentang Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2017, uang yang diterima pemerintah desa harus digunakan untuk membiayai pelaksanaan program dan kegiatan di bidang pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Jika dana desa digunakan sesuai aturan, cita-cita meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa semestinya bisa segera terwujud. Namun, sayangnya, peningkatan alokasi dana desa ternyata malah diiringi peningkatan dan penyebaran korupsi.
Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Ade Irawan mengungkapkan tren penanganan kasus korupsi 2017, kasus penyimpangan dana desa mengalami peningkatan.
“Sebagian besar merupakan perangkat desa, terutama kepala desa. Dari sisi modus, korupsi dana desa umumnya sangat sederhana. Para pelaku masih menggunakan cara-cara lama, seperti markup proyek, penggelapan, kegiatan atau program fiktif, dan pemotongan anggaran,” jelasnya. Modus-modus tersebut jelas Ade tidak memerlukan teknik yang canggih. Cara lain, mengurangi volume pekerjaan dan membeli barang yang spesifikasinya lebih rendah dibandingkan yang ditetapkan dalam rencana anggaran.  Lebih lanjut menurut Ade, dalam program-program pemberdayaan, modus yang sering digunakan adalah membuat kegiatan-kegiatan fiktif.
“Ada dalam pertanggungjawaban keuangan, tetapi tidak ada kegiatan atau barangnya,” jelas Ade lagi. Temuan lain lanjut Ade, adalah pemotongan honorarium.
Dosen Sosiologi Hukum Universitas Muhammadiyah Surabaya Umar Sholahudin menambahkan ada beberapa faktor yang membuat para pelaku bisa begitu mudah menyelewengkan dana desa, misalnya monopoli anggaran. Sementara pada sisi lain, jelas Umar kemauan dan kemampuan masyarakat berpartisipasi dalam perencanaan dan pengawasan masih lemah.
“Banyak yang tidak tahu ada dana desa dan tujuan penggunaannya. Ada pula yang menganggap penyusunan dan pengawasan bukan urusan mereka,” tutur mahasiswa doktoral Unversitas Airlangga ini. Kalaupun ada yang memiliki kemauan, jelas Umar hal itu tidak ditunjang oleh kemampuan untuk berpartisipasi dalam proses perencanaan ataupun pengawasan, seperti cara-cara menyusun anggaran dan mengawasi pelaksaan proyek. Faktor berikutnya adalah tekanan struktur.
“Pelaku korupsi dana desa bukan hanya perangkat desa. Dalam beberapa kasus, perangkat kecamatan pun turut terlibat. Bahkan Bupati pun ada yang terlibat,” kata Umar lagi.
Memperketat Pengawasan
Kasubag Penyusunan Program dan Anggaran pada Inspektorat Provinsi Jawa Timur Syamsul Huda mengakui besarnya alokasi anggaran di desa kurang diimbangi dengan pembekalan terkait pengelolaan anggaran di tingkat desa. Lebih lanjut menurut Syamsul, permasalahan pengelolaan dana desa terjadi diantaranya karena tidak pahamnya administrasi pertanggungjawaban Kepala Desa/Perangkat Desa dalam mengelola dana desa serta lemahnya pembinaan dan pengawasan yang dilakukan oleh aparat pengawasan internal pemerintah.
Dari hasil monitoring dan evaluasi dana desa Tahun 2016 di 4.536 desa dalam 18 Pemerintah Kabupaten di Jawa Timur  ternyata Pemerintah Kabupaten hanya melakukan monitoring dan evaluasi pengelolaan dana desa sebesar 5,28 % atau sekitar 236 desa, artinya sebesar 94,72% 4.298 desa tidak dilakukan monitoring dan evaluasi oleh Inspektorat Kabupaten.
“Bisa dibayangkan, dari 5,21% yang dilakukan monitoring dan evaluasi saja masih berpotensi terjadi penyimpangan bagaimana dengan desa yang tidak dilakukan monitoring dan evaluasi ?” tegas Syamsul.
Pakar akuntansi sektor publik Dr Ana Sopanah mengungkapkan korupsi dana desa menyebabkan hilang atau berkurangnya modal untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Program yang semestinya bisa menjawab berbagai masalah seperti infrastruktur yang buruk dan sulitnya akses masyarakat terhadap modal ekonomi, bisa terancam gagal.
Menurut Ana, langkah strategis mencegah agar korupsi tak makin menyebar sangat sederhana, yaitu memperkuat demokrasi dan tata kelola keuangan desa.
“Apabila demokrasi dan tata kelola keuangan desa berjalan baik, korupsi dengan sendirinya akan berkurang,” kata Ana. Menurut Ana, proses penyusunan rencana kegiatan dan anggaran harus dilakukan secara partisipatif sehingga mengakomodasi masalah dan kebutuhan semua pemangku kepentingan desa. Implementasi dan pertanggungjawabannya pun harus terbuka sehingga semua orang bisa mengawal.
“Syarat agar kondisi tersebut terwujud adalah perangkat desa dan masyarakat sama-sama punya pengetahuan dan keterampilan dalam penyusunan rencana program dan anggaran,” jelas Kaprodi Akuntansi Universitas Widya Gama (UWG) Malang ini.

Tags: