Mencegah Penularan ‘Penyakit’ Otonomi Daerah

Wahyu Kuncoro

Wahyu Kuncoro

(Menyambut Implementasi UU Desa)
Oleh :
Wahyu Kuncoro SN
Wartawan Harian Bhirawa
Otonomi daerah sering bernasib menjadi ‘tersangka’ utama atas berbagai persoalan kebangsaan yang hari ini masih mendera. Mulai dari persoalan kemiskinan, kesenjangan sosial, hingga praktik korupsi yang menggerogoti semua level penyelenggara Negara. Mengapa? Tidak lain karena otonomi daerah kalau merujuk pada  Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 1 ayat 5 adalah  hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Bila kita simak pernyataan Undang-Undang diatas sesungguh- nya daerah mempunyai legitimasi yang kuat dengan kekuatan hak, wewenang, dan kewajiban untuk mengurus sendiri dan mengatur daerahnya masing- masing dengan tujuan utama adalah  meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah. Namun sayangnya, ketika era reformasi bergulir dan spirit implementasi otonomi daerah demikian kuatnya, nasib masyarakat di daerah yang diserahkan kepada pemerintah setempat ternyata tidak juga membaik.
Pemerintah daerah dengan kewenangan dan hak untuk membuat kebijakan dan mengelola anggarannya secara mandiri, sejatinya memiliki kesempatan yang sangat besar untuk mengurangi berbagai persoalan di wilayahnya termasuk masalah kemiskinan, kesenjangan maupun penyakit korupsi. Artinya, berbagai persoalan yang terjadi saat ini semestinya bisa terselesaikan dengan diberlakukannya otonomi daerah. Oleh karenanya, tidak berlebihan kiranya kalau muncul gugatan terhadap pemberlakuan otonomi daerah  yang dinilai tidak mampu menjalan tugas dan harapan yang diembankan padanya.
Secara konseptual, otonomi daerah dilaksanakan untuk mengubah konsep pembangunan yang sentralistik. Sebab diyakini sistem pemerintahan sentralistik membawa dampak yang buruk bagi pengembangan kreativitas daerah. Otonomi daerah sejatinya berusaha membalikan kosmopolitanisme imperial menjadi micro-politic yang berbentuk otonomi daerah, atau transfer kekuasaan dari pusat ke daerah. Akan tetapi agenda otonomi daerah yang sudah berjalan sekian lama ini tak lebih sebagai transfer tindakan koruptif dan penyelewengan dari pusat ke daerah. Dalam ranah politik, diterapkannya pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah langsung, ternyata tidak segera menampilkan proses kehidupan demokrasi yang menggembirakan namun justru yang  jelas terlihat adalah munculnya dominasi praktik politik uang atau politik transaksional, bahkan politik kekerabatan atau dinasti politik.
Permasalahan itu menunjukkan bahwa elite, baik di pusat maupun daerah kurang serius dalam melaksanakan demokratisasi dan otonomi daerah. Bahkan yang kemudian dapat kitsa saksikan adalah bagaimana munculnya raja-raja  di berbagai daerah. Akibatnya, ‘kue-kue’ pembangunan tidak pernah sampai ke ranah terkecil di dalam pemerintahan yaitu desa  dan hanya berhenti di tataran elit-elit lokal.
Rakyat yang utamanya direpresentasikan mereka yang berada di desa-desa hanya bisa mengigit jari, karena kehidupan mereka tak sedikitpun tersentuh oleh  tema besar yang bernama otonomi daerah. Kenyataan ketidakmampuan pemerintah daerah di dalam menjalankan tugas dan fungsinya, kemudian memunculkan desakan untuk mewujudkan otonomi desa. Harapan ini serasa di depan mata dengan telah disahkannya  UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Dengan UU baru ini, pemerintah desa yang sebelumnya hanya memiliki anggaran yang sangat kecil, akan menjadi bergelimang anggaran.
Hadirnya UU Desa
Hadirnya UU Nomor 6/2014 tentang Desa merupakan momentum bersejarah bagi bangsa ini. Di dalam UU Desa ini mengatur berbagai arahan untuk dijalankannya otonomi desa, yang mencakup tentang pemberian 10% APBN untuk desa, sistem gaji tetap yang diterima oleh perangkat desa termasuk BPD (Badan Permusyawarahan Desa), amanat dibentuknya BUMDes dan jabatan 6 tahun kepada Kepala Desa serta dapat diteruskan selama 2 periode, atau maksimal selama 18 tahun kepemimpinan di Desa.
Dalam UU Desa ini, pemerintahan desa tidak hanya memiliki wilayah dan penduduk saja, namun juga memiliki anggaran. Selama ini, problem yang dialami desa adalah memiliki wilayah dan penduduk tetapi tidak memiliki dana. Ketika UU ini diimplementasikan, maka dana sebesar 10 persen dari APBN akan masuk langsung ke desa. Setiap desa bisa mengelola anggaran hingga Rp1,5 miliar setiap tahun, meski tidak sama setiap desa karena didasarkan pada jumlah penduduk, luas wilayah, kondisi desa, dan kesulitan geografis. Bukan hanya itu, dalam anggaran APBD, setiap desa juga dimungkinkan mendapat kucuran dana dari APBD provinsi dan kabupaten/kota.
Menurut UU Desa, setiap provinsi dan kabupaten/kota wajib menganggarkan pembangunan desa di APBD sesuai kemampuan masing-masing daerah. Kalau selama ini desa mengelola Alokasi Dana Desa (ADD) Rp100 juta sampai Rp200 juta bahkan ada satu desa yang hanya memiliki ADD Cuma Rp50 juta rupiah, maka nanti desa akan dapat Rp1,5 miliar, tentu ini harus ada perencanaan-perencanaan yang baik. Kehadiran UU Desa dalam implementasinya nanti harus benar-benar dikawal dengan penuh kewaspadaan. Potensi-potensi masalah yang menyentuh langsung kepentingan masyarakat perlu disikapi dengan membangun mentalitas yang baik.
Belajar dari otonomi daerah yang ada saat ini, nyatanya telah melahirkan ‘raja-raja’ kecil yang kebablasan dalam mengelola potensi daerahnya semata-mata untuk memperoleh pendapatan daerah.  Jangan sampai kepala desa masuk penjara karena ketidakmengertiannya dalam mengelola keuangan. Virus korupsi masih menjadi wabah ganas yang siap menyasar para pemegang kewenangan dan kebijakan, termasuk di tingkat desa. Bahkan banyak yang menganggap bahwa otonomi desa ini merupakan pengulangan dialektika otonomi daerah, atau lebih tepatnya merupakan transfer tindakan koruptif di tingkat terbawah dari pemerintahan. Hingga akhirnya akan menciptakan raja-raja kecil di tingkat lokal.
Bahwa munculnya kecemasan akan terulangnya kembali praktik negatif yang mengiringi pemberlakukan otonomi daerah ke dalam praktik otonomi desa, tentu bukanlah pertanda sikap anti terhadap konsep ini. Sikap kritis ini bisa jadi lebih karena dilatari oleh kerinduan yang demikian besar akan semakin berdaya dan sejahteranya kehidupan masyarakat desa. Kecemasan akan kembali terulangnya penyakit koruptif tentu harus disampaikan sejak dini agar semua pihak, baik perangkat desa berikut masyarakatnya untuk saling mengontrol agar niat mulai menyejahterakan desa dengan bingkai UU Desa ini bisa terwujud. Dengan demikian, anggaran yang diajukan serta alokasi pengeluarannya dapat terkontrol. Inilah nantinya menuntut desa mampu mengelola anggaran, sehingga dana yang disalurkan ke desa-desa bukan sebagai ajang bancakan. Inilah implikasi lain yang harus diawasi. Jangan sampai timbul masalah baru dari bocornya sistem keuangan negara yang digunakan untuk membangun desa. Atau juga jangan sampai dengan hadirnya UU Desa ini malah menimbulkan “raja-raja kecil” di pelosok-pelosok. Artinya, jangan sampai otonomi desa hanya ajang pestanya para elit dan pejabat di desa, sementara masyarakat luasnya masih saja tetap tak tersentuh dan terus terabaikan.
Meski menghadirkan kecemasan dan kekhawatiran, pada sisi lain pemberian otonomi kepada desa untuk mengelola dirinya sesungguhnya juga menjanjikan harapan bahwa keberadaan Undang-Undang tentang Desa akan mempercepat keberhasilan otonomi daerah. Desa yang berdaya, baik secara ekonomi maupun politik, akan membantu terwujudnya otonomi daerah. Logikanya, bila di desa ada dinamika atau aktivitas ekonomi, masyarakatnya juga akan relatif berdaya secara ekonomi.
Singkatnya,  kemajuan desa-desa sesungguhnya juga akan mencerminkan kemajuan daerah. Kalau itu bisa terwujud, maka bisa dikatakan bahwa pemberlakuan UU Desa ini dengan spirit otonomi desa di dalamnya akan bisa menjadi obat  pelipur lara atas kekecewaan karena  ‘kegagalan’ pemberlakukan otonomi daerah yang ternyata tidak segera menyejaterakan masyarakat di perdesaan. Harus disadari, bahwa ketika otonomi daerah diberlakukan, otonomi desa mengalami penyusutan akibat penghisapan nafsu otonomi daerah. Semakin luas hak mengatur dan mengurus yang dikembangkan pemerintah daerah atas nama hak dan kewajiban otonomi daerah, bersamaan dengan itu menyusut pula makna otonomi desa. Desa menjadi powerless, karena kehilangan kewenangan. Inilah saatnya, masyarakat di desa-desa bisa merasakan dampak langsung pembangunan yang selama ini lebih meninggalkan dan mengabaikan keberadaan mereka.
Wallahu’alam Bhis-shawwab.

Tags: