Mencegah Penyusupan Moral Koruptif dan Radikalime

(Jaga Perilaku Ber-standar Ramadhan)

Oleh :
Yunus Supanto
Wartawan Senior, Penggiat Dakwah Sosial Politik

Hari paling berbahagia, Idul Fitri, baru saja berlalu. Bersyukur, karena dalam empat tahun terakhir, perayaan Idul Fitri bisa dilakukan tanpa perbedaan waktu (hari). Bersama lebih indah, perbedaan (dengan sistem ru’yat hilal maupun hisab) bisa menjadi rahmat. Namun beberapa situasi sosial politik tak bersahabat masih  menyusup ke dalam bulan Ramadhan. Nafsu berburu kekayaan, dan teror radikalisme, masih menjadi ancaman serius. Maka hakikat Idul Fitri mampu mengembalikan “ke-berkah-an.”
Pada penghujung bulan (mulia) Ramadhan, di dalam negeri, dikejutkan dengan tragedi tiga OTT (Operasi Tangkap Tangan) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Petinggi pemerintahan, sekaligus petinggi kader parpol (partai politik), digelandang ke tahanan. Ketiganya dari parpol terbesar di Indonesia. Yakni, Ketua Komisi B DPRD Jawa Timur (asal Partai Gerindra), dan Ketua DPRD Kota Mojokerto (asal PDIP). Serta Ketua DPD Golkar sekaligus Gubernur Bengkulu.
Keluarga yang diterjang “musibah,” dikunjungi kerabat untuk menglipur lara. Bisa menjadi muhasabah (pencerahan), bahwa sesungguhnya, harta dan jabatan tinggi,  (setiap saat) dapat berubah menjadi bencana. Kepedihan akibat tagedi politik, terasa lebih pedih dibanding bencana alam. Tak jarang, korban bencana bernilai “syahid,” karena sedang mencari nafkah keluarga, atau tengah beribadah. Namun tragedi politik, terjaring OTT KPK, selalu bernilai kenistaan.
Kenistaan korupsi, juga menjadi musuh umat manusia sedunia. Sampai PBB menerbitkan konvensi (UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST CORRUPTION), tahun 2003. Pada mukadimah konvensi dinyatakan: “Prihatin atas keseriusan masalah dan ancaman yang ditimbulkan oleh korupsi terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat yang merusak lembaga-lembaga dan nilai-nilai demokrasi, nilai-nilai etika dan keadilan serta mengacaukan pembangunan yang berkelanjutan dan penegakan hukum.”
Tetapi ironisnya, banyak yang tidak kapok. Bahkan malah antre (menunggu waktu), akan ditangkap KPK. Berdasar catatan Ditjen Otonomi Daerah, sudah sebanyak 320 Kepala Daerah (gubernur serta walikota dan bupati) yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK maupun Kejaksaan. Rinciannya, gubernur sebanyak 25 orang, wakil gubernur (7), bupati 160 orang, wakil bupati 46 orang, wali kota 45 orang, dan wakil wali kota 20 orang.
Teror Radikalisme
Sangat miris, karena jumlah itu (tersebar) meliputi 73% jumlah propinsi. Artinya, kemungkinan “selamat” dari status tersangka korupsi bagi gubernur hanya 27%. Sedangkan kemungkinan “selamat” untuk bupati dan walikota, persentasenya  tinggal 48%. Maka sesungguhnya, sangat diperlukan sistem pencegahan tindak pidana korupsi, khususnya pada kalangan Kepala Daerah. Jika tidak, pensiun sebagai Kepala Daerah bisa langsung pindah dari rumah dinas ke rumah tahanan.
Namun terdapat tragedi kemanusiaan yang tak kalah miris dengan aksi  korupsi, sedang mengguncang dunia. Yakni, teror radikalisme, yang sesungguhnya ber-altar politik dan keadilan HAM (Hak Asasi Manusia). Penjajahan (penghisapan ekonomi) pemerintah terhadap rakyatnya, dan penghisapan terhadap bangsa lain, wajib dihapuskan. Lebih lagi pada awal tahun 2018 sudah dimulai gerakan wajib transparansi di seluruh dunia.
Korupsi oleh rezim pemerintahan semakin diminimalisir. Gerakan transparansi, diharapkan bisa memperbaiki indeks gini, untuk menjembatani jurang kaya-miskin, khususnya di timur tengah. Indeks gini di timur tengah sudah mencapai angka 0,45. Menyebabkan ketidakpuasan rakyat. Masih ditambah dengan perilaku “kezaliman” terhadap bangsa Palestina, yang memicu terorisme trans-nasional. Dunia belum sungguh-sungguh memberantas “akar” teror radikalisme.
Persis setahun lalu, Arab Saudi, dirambahi teror radikalisme. Sama-sama terjadi pada tanggal 29 Ramadhan. Kali ini, seorang teroris meledakkan diri di apartemen dekat masjidil Haram, Makkah, ketika shalat tarawih berlangsung (Jumat, 23 Juni 2017). Enam orang jamaah umroh (warga asing) terluka. Sebagian bangunan apartemen hancur. Konon, bom yang diarahkan ke masjidil Haram, dilakukan oleh 3 kelompok. Yakni, satu di Jeddah, dan dua di Makkah.
Setahun lalu, dua kali terjadi ledakan bom dilakukan dekat dengan al-haramain (dua tempat suci) pada hari-hari akhir Ramadhan. Ledakan pertama pagi hari terjadi di kota Jedah, dekat Makkah. Yang kedua di parkiran kompleks masjid Nabawi di Madinah, jelang buka puasa. Salahsatu kelompok teroris, ISIS, meng-klaim sebagai pelaku. Ini warning untuk negara Arab Saudi, agar memaksimalkan sistem keamanan.
Nyata-nyata teroris mengincar al-haramain. Seperti dinyatakan oleh anggota senior ISIS, Abu Turab al-Muqaddasi, dalam akun twitter-nya. “… kami akan membunuh mereka yang menyembah batu di Mekah dan menghancurkan Kabah. Orang-orang pergi ke Mekah untuk menyentuh batu, bukan untuk Allah,” Kicauan Abu Turab itu disebarkan oleh laman siar Khaama Press. Umat Islam seluruh dunia, niscaya mengutuk ancaman terhadap Ka’bah.
Mengancam Umat Islam
Patut dikhawatirkan, lokasi-lokasi ter-aman dan terindah di dunia akan menjadi sasaran terorisme. Seperti luluh-lantaknya kota “seribu satu malam” (Baghdad, Irak). Begitu pula kota Lebanon, yang dulu sebagai kota pendidikan, kini telah berubah menjadi kawasan perang. Kota-kota damai dengan mayoritas penduduk beragama Islam, menjadi incaran utama terorisme brutal. Terutama di kawasan timur tengah, dan Asia Timur (Pakistan dan Afghanistan).
Raja Arab Saudi (sekaligus sebagai Kepala Negara), secara resmi memiliki gelar fungsional sebagai khadamul haramain (pelayan dua tempat suci). Dengan gelar itu, Raja Arab Saudi memiliki kewajiban utama melindungi Ka’bah di kompleks masjid al-Haram, di Makkah. Juga melindungi masjid al-Nabawi di kota Madinah. Dua tempat yang paling disucikan itu wajib diamankan melebihi istana negara di ibukota (Riyadh).
Tahun lalu, teroris berlanjut menyasar tempat damai lainnya. Area pejalan kaki yang eksotik di kota Nice Perancis, disatroni teroris lokal. Seketika membunuh lebih dari 84 jiwa (termasuk 10 anak-anak). Teroris juga “membalas” serangan rudal (di Suriah) olrh negara barat yang ditambah grafiti (pesan). Itu bagai provokasi. Kini saatnya seluruh dunia meng-akhiri terorisme. Sudah terbukti, terorisme, merupakan sindikat internasional. Dengan visi dan aliansi yang beragam pula, termasuk produk intelijen internasional.
Diperlukan paduan gerak bangsa-bangsa seluruh dunia memerangi terorisme. Tidak sekadar mem-bumi hanguskan sarang teroris. Karena biasanya teroris memilih bergerilya, membaur di tengah masyarakat. Maka memberantas terorisme, mestilah memahami “sumbu ledak-nya.” Diperlukan penelitian dan pemetaan dengan melibatkan pensiunan perwira militer yang pernah terlibat perang terhadap terorisme. Serta “pensiunan” teroris yang telah menyadari kekhilafannya.
Dengan mentalitas Ramadhan, Indonesia dapat menjadi contoh penghentian terorisme dengan cara lebih “damai.” Yakni, mengampuni, sepanjang bersedia menyerahkan diri (dan senjata) serta bekerjasama dengan pemerintah. Hal itu sudah dilakukan untuk kelompok sempalan GAM, Din Wimimi, di Aceh. Din Wimimi (beserta 70 pasukan) telah turun gunung, dan meletakkan senjata. Hal yang sama diharapkan terhadap kelompok radikal lain (jika menyerahkan diri dan bekerjasama dengan pemerintah).
Meski berhasil “menjinakkan” teroris dan gerakan makar, pemerintah seyogianya tetap waspada. Terutama terhadap gerakan radikal non-combatan (tidak bersenjata). Gerakan ini tergolong ekstrem (kiri maupun kanan), memanfaatkan isu demokrasi, dan menebar provokasi. Sangat berpotensi menyulut kegaduhan sosial. Diperlukan partisipasi masyarakat (terutama tokoh agama) untuk memupus gerakan radikalisme (ekstrem kanan).
Ekstrem kiri, agaknya perlu lebih diwaspadai bersama. Sebab biasanya di-propagandakan melalui berbagai cara, terutama dengan intimidasi psikologis politis. Memanfaatkan isu demokrasi dan HAM. Syukur, masyarakat selalu melawan dengan gerakan serupa. Tidak memberi ruang gerak pada ekstrem kiri. Pemerintah sebagai wakil negara, seyogianya kukuh menegakkan hukum, dan mencegah kegaduhan sosial.
Perilaku selama Ramadhan sampai Idul Fitri, terbukti mewujudkan kesejukan sosial, termasuk penindakan hukum tanpa pandang bulu. Terasa plong secara hukum dan sosial-politik. Juga plong secara spiritual, mencerahkan pemikiran. Maka “standar” (perilaku) Ramadhan patut dilanjutkan selepas lebaran!

                                                                                                                ———   000   ———  

Tags: