Mencetak Solusi Pengangguran Difable

Bachtiar AminuddinOleh :
Bachtiar Aminuddin
Peneliti bidang sosial dan kewirausahaan, Delegasi Indonesia dalam International Research Conference on Business, Management and Social Sciences (IRCBMSS) Conference di Bangkok, Thailand
Hiruk pikuk tahun ajaran baru di dunia pendidikan ditengah gegap gempita pemilihan calon pemimpin bangsa dalam kacamata penulis menyisakan suatu benang merah kusut yang layak diberikan perhatian dan solusi permasalahan.
Dalam UU No 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat jelas tertuang di pasal 6 UU menyatakan bahwa setiap penyandang cacat berhak memperoleh pendidikan pada semua satuan, pekerjaan dan penghidupan yang layak, perlakuan yang sama untuk berperan dalam pembangunan, aksesibilitas dalam rangka kemandiriannya dan lain lain. Namun, ironi lapangan mendulang fakta bahwa para difable yang menginjak usia produktif dan ditambah para anak anak berkebutuhan khusus yang lulus dari pendidikan tiap tahunnya ternyata belum tersiapkan dan hanya seolah menambah jumlah angka pengangguran diberbagai sudut dan kota. Besarnya angka pengangguran dari kelompok penyandang disabilitas, merupakan pekerjaan rumah bersama yang harus diselesaikan secara sinergis sejalan dengan program-program pemerintah yang bergulir.
Dalam agenda pemlihan presiden yang sebentar lagi bergulir, hal ini merupakan salah satu permasalahan yang layak untuk diberikan perhatian presiden terpilih mendatang. Menurut estimasi International  Labour Organization (ILO), 10% dari jumlah penduduk Indonesia atau sekitar 24  juta orang merupakan penyandang disabilitas. Sementara, data tahun 2010 menunjukkan jumlah tenaga kerja penyandang disabilitas hanya sekitar 11 juta orang. (Shofi Annisa dkk, 2013). Sebagian besar hanya pekerja serabutan dan lainnya menjadi kaum pengangguran. Hanya sekian  persen dari mereka yang berpenghasilan tetap.
Kurangnya perhatian dari pemerintah daerah terhadap difabel menjadikan mereka kesulitan mendapat pekerjaan dan menjadi kurang percaya diri. Padahal bukan berarti difabel adalah orang-orang yang tidak memiliki ketrampilan. Bisa jadi ada diantara mereka yang memiliki potensi ketrampilan dan kecerdasan lebih meski dalam keterbatasan. Oleh sebab itu dalam mewujudkan kesetaraan, masyarakat difabel juga berhak dan layak untuk mendapatkan pembekalan dalam mengembangkan potensi kecerdasan dan ketrampilan. Sehingga dalam persaingan yang ketat di era globalisasi ini meski kesulitan mendapatkan pekerjaan, mereka dapat menciptakan pekerjaan sendiri dengan potensi mereka.
Oleh karena itu, dalam upaya memberikan pembekalan kepada kaum difabel agar tak turut menjadi daftar panjang pengangguran di negeri ini, perlu adanya langkah konkret dari pemerintah daerah bersama lembaga rehabilitasi difabel setempat. Salah satunya dengan memberikan pelatihan wirausaha bahkan sejak dini atau ketika masih di bangku pendidikan. Penulis menggagas sebuah gagasan tentang pembentukan pendidikan inklusi berbasis wirausaha dengan nama difabel incubator. Gagasan ini selain dapat menampung para difable usia produktif juga dapat digunakan sebagai program magang usaha yang diterapkan sebagai fasilitas praktik penunjang di SMA luar biasa atau inklusi berbasis vokasi dimana usia mereka setara dengan anak anak kelas sekolah menengah atas. Para siswa berkubutuhan khusus atau para penyandang difable yang menganjak dewasa tersebut  sudah selayaknya dipersiapkan didunia kerja untuk menggapai kemandirian.
Penulis menggagas Difabel incubator sebagai program inkubator untuk calon wirausaha  pada komunitas difabel. Inkubator adalah bentukan lembaga yang diharapkan dapat diakomodasi oleh pemerintah bekerjasama dengan pihak pihak terkait dilingkup dunia pendidikan dan pelatihan kewirausahaan dengan menyediakan infrastruktur dan pelayanan yang menaikkan nilai tambah suatu usaha. Inkubator bisnis akan membawa ide dan konsep menjadi rencana dan implementasi usaha. Secara operasional dalam rangka pengembangan wirausaha baru yang tangguh dan unggul, inkubator bisnis memberikan bantuan pendidikan, pelatihan dan magang yang didukung oleh fasilitas atau akses teknologi, manajemen, pasar, modal, serta informasi secara umum maupun spesifik. Tentu  semua fasilitas baik SDM pengelola maupun sarana prasarana tersebut juga akan disesuaikan dengan kapabilitas kerja para difable. Sehingga tetap mengakomodasi masing masing kebutuhan khusus yang mereka miliki.
Dalam proses pembinaan bagi wirausaha dan atau pengembangan produk baru yang dilakukan, inkubator Bisnis ini memfasilitasi dalam hal penyediaan sarana dan prasarana usaha, pengembangan usaha dan dukungan manajemen serta teknologi. Melalui inkubator bisnis diharapkan mampu mencetak serta mengembangkan kelompok difabel yang handal dalam pemanfaatan teknologi dan berwirausaha, sehingga diharapkan dapat meningkatkan perekonomian masyarakat difabel.
Kehadiran inkubator ini sangatlah penting bagi para pengusaha baru untuk menghindari dari kebangkrutan usahanya, karena ketidakmampuan dalam pengelola bisnis, keterbatasan modal, teknologi, dan kekurangmampuan akses pada pasar. Dalam kaitan ini peranan inkubator menjadi penting karena melalui inkubator, para difable akan didampingi melalui tahapan-tahapan inkubasi sehingga nantinya dapat berkembang menjadi difable preneurs yang mandiri dan berdaya saing.
Semoga gagasan yang telah ditoreh oleh penulis dengan difable inkubator  sebagai support pendidikan inklusi berbasis wirausaha dapat menjadi salah satu referensi pemerintah dibawah komando capres mendatang dalam upaya memberikan akses kesempatan kemandirian bagi penyandang disabilitas.

————- *** ————–

Rate this article!
Tags: