Mendamba Aksi Demonstrasi Damai

Oleh :
Untung Dwiharjo
Peneliti pada LAZNAS YDSF, Alumnus Fisip Unair

Demonstrasi adalah sarana untuk menyalurkan aspirasi. Sebagaimana Demontrasi menolak UU Cipta Kerja atau Omnibus Law pada 8 Oktober 2020. Tapi demontrasi yang melibatkan mahasiswa dan para buruh itu berakhir ricuh. Massa pendemo membakar fasilitas umum seprti halte, bioskop, mobil aparat dan lain sebagainya. Benarkah yang merusak itu adalah masa asli masa pendemo atau penyusup yang memang sengaja untuk merusak citra mahasiswa?

Demonstrasi menolak UU Cipta Kerja yang merupakan wujud keprihatinan mahasiswa terhadap ketidakpekaan pemerintah dan anggota dewan terhadap nasib rakyat yang menderita karena pandemi Covid-19. Rakyat yang dipaksa mengencangkan ikat pinggang dengan adanya Pandemi Covid-19 seakan harus menerima pil pahit dengan adanya UU Cipta Kerja.

Demonstrasi sebagai Gerakan Moral

Demonstrasi galibnya muncul ketika sebuah negara mengalami situasi yang tidak menentu atau terjadi krisis, sejarah telah memberi kabar tersebut. Demonstrasi mahasiswa 1965 misalnya turun ke jalan mengutuk pembunuhan jenderal oleh apa yang dinamakan G 30 S/PKI yang selanjutnya melahirkan Tritura dimana salah satunya menuntut pembubaran Partai Komunis Indoensia (PKI). Selanjutnya Demonstrasi mahasiswa 1974 yang terkenal dengan peristiwa Malari 1974. Menurut mantan aktifitis mahasiswa 1974 Hariman Siregar bahwa Peristiwa Malari 1974 sebagai “gerakan intelektual” menggugat strategi pembangunan Orde Baru beserta ekses-eksesnya seperti kesenjangan ekonomi-sosial dan dominasi modal asing (Fatah, 1999).

Kemudian demontrasi mahasiswa 1998 sebagai kepedulian mahasiswa terhadap krisis ekonomi 1998 yang pada akhirnya berhasil menumbangkan pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Suharto. Selain itu secara sporadis gerakan mahasiswa juga melancarkan demontrasi turun ke jalan seperti pada penolakan UU KPK yang baru dan lain sebagainya.

Untuk Konteks Indonesia, Kemunculan peranan keompok ini dalam kehidupan sosial politik Indonesia adalah fenomena khas abad 20. Kemunculan gerakan mahasiswa ini disebabkan memang mahasiswa memiliki karakteristik khusus dalam kehidupan politik angkatan muda. Pertama, mahasiswa sebagai kelompok masyarakat yang memperoleh pendidikan terbaik sehingga mempunyai horison yang luas diantara keseluruhan untuk lebih mampu bergerak di antara pelapisan masyarakat. Kedua, Mahasiswa telah mengalami proses sosialiasi politik yang terpanjang. Ketiga, Kehidupan kampus membuat gaya hidup yang unik di kalangan mahasiswa. Keempat Mahasiswa sebagai kelompok yang akan memasuki lapisan atas dari susunan kekuasaan, struktur perekonomian dan prestise di masyarakat. Kelima, Meningkatnya Kepemimpinan mahasiswa dikalangan angkatan muda (Sanit, 1995).

Dari karakteristik mahasiswa yang dikemukan seperti di atas maka sejatinya setiap demonstrasi turun ke jalan mahasiswa adalah gerakan moral. Ketika ada peristiswa anarkis seperti perusakan fasilitas umum sepeti kendaraan, pembakaran fasilitas umum berdasarkan pengalaman selama ini biasanya adalah preman atau orang luar yang memang ingin demonstrasi mahasiswa dan umum menjadi chaos dan tidak terkendali yang ujung-ujungnya mahasiswa jadi tertuduh (kambing hitam) yang selanjutnya menjadi legitimasi penangakapan mahasiswa. Peristiwa Malari 1974 menunjukan fakta tersebut. Jadi peristiwa perusakan fasilitas umum yang terjadi pada demo 8 Oktober 2020 yang bertujuan menolak UU Cipta Kerja menurut hemat penulis dilakukan oleh massa liar bisa jadi preman atau massa bayaran yang bertujuan merusak nama baik mahasiswa dalam demonstrasi tersebut.
Lihat Substansi Tuntutan Demonstrasi

Sebenarnya mahasiswa terjun ke arena politik misalnya dengan melakukan aksi turun ke jalan melakukan demonstrasi jika terdapat “situasi anomi yang kuat” di dalam masyarakat (Sanit, 1995). Dalam hal ini adanya UU Omnibus Cipta Kerja yang dipandang akan membawa banyak masalah bagi masyarakat. Pandangan itu muncul karena UU ini dipercepat pengesahannya dan waktunya pada tengah malam sehingga minim partisipasi publik. Bahkan kabarnya anggota dewan yang menghadiri sidang tersebut tidak mendapatkan fotokopi draf UU tersebut. Sehingga terkesan banyak rekayasa. Berkaca pada masalah tersebut maka mahasiswa dan elemen masyarakat turun ke jalan untuk menyuarakan aspirasi untuk menolak UU Cipta Kerja kepada pemerintah dan anggota dewan (DPRD/DPR) agar mencabut UU yang dipandang bisa membuat masyarakat cilaka.

Jadi sebenarnya dalam hal ini pemerintah harusnya memperhatikan substansi tuntutan peserta demontrasi untuk dijadikan masukan untuk keputusan politik selanjutnya. Bukan mencari kambing hitam dengan menangkapi mahasiswa sebagai aktor yang dipandang melakukan perusakan fasilitas umum sehingga subsatansi tuntutan para demontrasn seolah-seolah tertutupi oleh tindakan mereka yang dipandang negatif. Padahal belum tentu mereka melakukan itu, karena mereka sebagai insan intelektual, gerakan meraka adalah dari hati nurani yang tulus ingin membela kepentingan rakyat. Tidak untuk untuk berbuat onar dan anarkis sebagaimana biasanya para preman atau orang jalanan lakukan.

Perlu Pendekatan Humanis

Sebenarnya dalam menangani para demonstran aparat harusnya mengunakan pendekatan humanis kepada para mahasiswa dan elemen masyarakat yang lain ( misalnya buruh). Dalam hal ini aparat yang bertugas sebagai dalmas (pengendali massa) paradigmanya harus berubah yaitu: dari represif ke persuasi, dari monolog ke dialog, dari defensif ke responsif.

Hal tersebut bisa dilakukan dengan ketika melakukan tugas sebisa mungkin menggunakan tidak peralatan bak perang sipil. Seperti pentungan, tameng, gas airmata, sampai barakuda, yang semuanya seperti melihat para demosntran sebagai musuh, yang harus dihalau kalau perlu dengan cara kekerasan agar bisa membuat jera.

Sebaiknya menurut penulis aparat di lapangan lebih banyak mengunakan pendekatan dialogis dan persuasif dengan peserta demonstrasi. Sehingga mengurangi resiko terjadinya anarkisme yang dilakukan oleh massa yang tidak bertanggung jawab. Sehingga kita berharap dalam setiap demontrrasi kita mendambakan demontrasi yang damai. Apalagi sekarang masa pandemi Covid-19 maka selayaknya pemerintah dan DPR membuat regulasi yang berpusat untuk bagaimana agar pandemi ini cepat berakhir, bukan malah membuat regulasi semacam UU Omnibus Law Cipta Kerja yang kontroversial dan membuat resah masyarakat. Masyarakat butuh kedamaian juga demontrasi yang damai.

——— *** ———

Rate this article!
Tags: