Mendamba Guru Insan Profetik

Ali  DamsukiOleh :
Ali Damsuki
Mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Walisongo Semarang

Penggalan kisah menyedihkan sering kita dengar dari curahan hati seorang guru dalam dunia pendidikan. Betapa dilematisnya dunia pendidikan yang kian mencuat, paradigma yang cenderung kapitalis dan hedonis telah menodai citra seorang guru dalam dunia pendidikan. Pelabelan guru profesi dan honorer seringkali menjastifikasi para guru, sehingga ini berimplikasi terhadap mental guru dalam proses pembelajaran.
Proses pembelajaran menjadi media untuk mentransformasikan keilmuan dari guru kepada para murid. Ketika terjadi konflik batin pada guru, maka para peserta didiklah yang menuai hasilnya, entah positif atau negatif. Inilah peran sentral para guru dalam dinamika pendidikan.
Dalam konteks memahami peran guru seringkali menjadi hal yang dilematis. Guru tidak terlalu mendapatkan perhatian penuh, baik dari kalangan pemerintah, peserta didik, maupun pemerintah. Terutama guru agama di madrasah yang berada suatu daerah terpencil atau desa. Peran sentral agama sangatlah menentukan pola prilaku dan karakter anak kedepannya.
Inilah yang menjadi problematika kita saat ini. Padahal jasa guru tidak dapat diukur dengan materi yang dianggap sebagai bentuk apresiasi oleh masyarakat Indonesia. Akan tetapi, butuh sebuah refleksi diri atau sebuah penyadaran dalam dari diri kita untuk tetap mengahargai guru dalam konteks apapun dan di manapun berada. Tapi realitasnya banyak kejadian, kenakalan, dan kekrasan yang dialami oleh guru baik secara mental maupun fisik.
Kiprah para guru dalam dunia pendidikan menjadi hal yang paling utama. Suatu bentuk interaksi dalam proses pembelajaran, dibutuhkan peran guru dan peserta didik sebagai pelengkap yang sempurna. Guru merupakan mediator yang akan melukis masa depan Republik Indonesia, cara kita menghargai guru adalah cara kita menghargai masa depan.
Di era-Globalisasi, kemajuan teknologi semakin mencuat. Masyarakat kini dihadapkan dengan dunia Cyber atau Era digitalisasi. Berbagai bentuk informasi dapat diakses melalui internet. Sehingga, dalam konteks ini penghormatan guru seringkali terabaikan dan terkucilkan oleh masyarakat. Gemerlap dunia digitalisasi telah menggelapkan mata. Inilah wajah asli dunia pendidikan yang selama ini menjadi krusial bagi para guru dan peserta didik.
Tantangan Pendidikan
Di Indonesia memang prestise terhadap guru sangatlah minim. Baik dari kalangan pemerintah, maupun masyarakat setempat. Banyak sekali pelanggaran yang dilakukukan terhadap guru, baik secara materi maupun non-materi. Diantaranya hal yang menyangkut moral guru. Terjadinya pelecehan terhadap guru seringkali terjadi. Tindakan asusila ini menjadi bukti bahwa tantangan pendidikan tak hanya terjadi dalam konteks sebuah sistem pendidikan yang diterapkan oleh mentri pendidikan Indonesia. Akan tetapi moral bangsa Indonesia dalam menghargai seorang guru.
Selain itu, kualitas mutu pendidikan Indonesia sangat di tentukan oleh kualitas pengajar. Dalam kontes ini, permasalahan kualitas guru juga seringkali menjadi perbincangan yang hangat oleh masyarakat. Sebab, kualitas guru akan menentukan sikap, prestasi, moral para peserta didik kedepannya. Banyak para guru yang mengajarkan tanpa didasari oleh keilmuan yang ditekuni. Sehingga seringkali terjadi ketidakseimbangan antara kompetensi yang dimilii dengan keilmuan yang ditransformasikan kepada para peserta didik.
Kemudian dari aspek bangunan dan fasilitas, minimnya kuantitas bangunan sekolah di daerah- daerah terpencil terkadang menjadi permasalahan yang sangat pelik. fasilitas yang diberikan oleh pemerintah, kurang memadai. Banyak sekolah-sekolah yang tidak layak, sehingga perlu sebuah upaya untuk membangun kembali inilah wajah pendidikan di Indonesia yang perlu di renovasi lebih mendalam.
Jiwa Profetik
Menjadi guru merupakan panggilan jiwa, bukan karena materi ataupun kemewahan semata. Pembentuk karakter anak sebagai investasi negara ialah guru. Tanpa guru, seolah belajar dalam keadaa buta. Inilah gambaran bahwa sangatlah urgen. Menjadi guru adalah berbagi hidup, bukan sekadar transfer pengetahuan belaka. Tantangan jaman sudah berubah. Siswa sekarang akan dihadapkan pada pasar kerja global. Artinya untuk bisa bersaing di pasar kerja global mereka perlu pendidikan global. Peserta didik sekarang adalah pemilik jaman digital. Mereka adalah digitally native, sedangkan para guru adalah digitally immigrant. Kesadaran ini akan berimplikasi besar jika dipahami, dihayati, dan diamalkan oleh para pendidik kita. Sehingga jargon “ARSITEK JIWA” seperti judul diatas dapat menghantar siswa menghadapi tantangan jamannya masing-masing.
Guru meruapakan “Arsitek Jiwa”. Segala bentuk rancangan bangunan karakter para peserta didik dibangun oleh para guru. Mulai dari sikap, moral, daln lain sebagainya menjadi tanggungjawab guru semata dalam lingkup sekolah. terkadang diluar sekolah guru juga memberikan pengawasan anak. Inilah jasa yang diberikan guru terhadap para peserta didik. Segala bentuk pengorbanan telah tercurahkan seluruhnya kepada seluruh peserta didik.
Selain itu, dalam konteks menciptakan guru yang sadar dalam membangun umat, butuh sikap profetik dalam membangun karakter dan pola prilaku peserta didik. Sebab itu semua merupakan cerminan dari Rasullulah yang selalu bersifat profetik dalam kehidupannya. Itu semua menjadi fondasi untuk membangun guru yang berjiwa profetik. Segala bentuk keilmuan ditransformasikan kepada para peserta didik dengan ikhlas. Wallahu a’lam bi al-shawaf.

                                                                                                         ———- *** ———–

Rate this article!
Tags: