Mendamba Kebangkitan Pendidikan

Oleh :
Abu Amar, S.Pd
Guru SMAN 1 Cerme, Gresik

Generasi Emas. Dua kata yang merupakan kebulatan tekad yang pertama kali dicanangkan mantan Mendiknas M. Nuh, 12 tahun lalu. Tekad ini mengemuka karena kondisi demografi Indonesia, di mana jumlah penduduk produktif yang saat ini kita miliki menjadi modal untuk mengantarkan Indonesia menjadi bangsa yang berkualitas dan bermartabat.

Dunia pendidikan, kembali didapuk untuk menjadi garda depan guna menyukseskan tekad tersebut. Berbenah dan melakukan segala upaya untuk meraih yang terbaik bagi kemajuan bangsa, menjadi agenda jangka pendek yang harus segera diwujudkan. Tidak ada waktu untuk berpangku tangan dan menunggu. Tantangan pun tak ringan. Ancaman learning loss akibat Pandemi yang melanda secara global dalam kurun 2 tahun, telah menghantui pendidikan di Indonesia.

Sejauh ini, wajah buram pendidikan kita terasa semakin membuat kita sedih. Carut-marutnya performa pendidikan kita juga ditandai dengan masih kurang berhasilnya insan pendidik kita dalam menampilkan karakter anak bangsa yang kokoh. Karakter yang bersumber pada nilai luhur abadi bangsa kita. Yang pada akhirnya akan terepresentasi dengan perwujudan profil pelajar pancasila, seperti yang jelas termaktub seiring dengan lahirnya Kurikulum Merdeka yang telah dilauncing Mas Menteri Nadiem Makarim.

Belum lagi, Pencapaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI) Indonesia belum menggembirakan. Indonesia bertengger di urutan 117 dari 177 negara pada Desember 2021 lalu. IPM adalah pengukuran perbandingan dari harapan hidup dan angka kecukupan gizi (bidang kesehatan), melek huruf dan kualitas pendidikan (bidang pendidikan) dan standar hidup dan ekonomi (bidang ekonomi).

Capaian tersebut berbeda dengan negara tetangga seperti Singapura (25), Brunei (34) dan Malaysia (61), yang masuk pada kategori negara dengan IPM level tinggi. Sudah bisa dipastikan negara-negara yang mempunyai capaian IPM tinggi mempunyai tingkat kesejahteraan hidup masyarakat yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan yang sedang maupun rendah.

Saatnya semboyan melahirkan Generasi Emas bukan hanya dianggap sebagai pepesan kosong tanpa makna. Ini merupakan tekad menuju satu era kejayaan. Dunia pendidikan bersinergi dan menyatukan tekad untuk segera bangkit. Insan pendidikan perlu mengkampanyekan kebangkitan guna terbentuknya Generasi Emas untuk menuju kejayaan Indonesia.

Tentu saja kebangkitan yang kita inginkan, bukanlah bangkit yang harus memanggul senjata seperti pejuang kemerdekaan dulu. Kalau kita pelajar, mari bangkit untuk belajar lebih tekun. Kalau kita pegawai, mari bangkit meningkatkan performa kerja. Demikian halnya guru, perlu meningkatkan kemampuan dan profesionalitasnya. Demikian halnya perlunya dibangun budaya berprestasi di kalangan kaum “Oemar Bakri”. Setelahnya, menularkan prestasi yang diraihnya kepada semua anak didik, yang notabene adalah generasi penerus bangsa. Intinya, perlu mawas diri.

Jepang yang saat ini menjadi “macan” Asia bahkan dunia, tak lepas dari keberadaan guru. Kepedihan yang mendalam menyeringai di benak seluruh rakyat kala Jepang porakporanda oleh kedahsyatan bom atom sekutu pimpinan AS -6 Agustus 1945 di kota Hiroshima dan 3 hari selanjutnya meluluhlantakkan Nagasaki. Rasa remuk redam yang teramat sangat juga bersemayam di hati Kaisar Hirohito. Kalimat tanya pertama yang diucapkannya adalah “Berapa banyak guru yang masih hidup?”

Pasca tragedi bom itu, masyarakat Jepang seakan sudah tak lagi menoleh ke belakang. Jepang tak lagi larut dalam ratap kesedihan hidup. Tekadnya adalah maju, maju dan terus maju. Guru menjadi garda depan untuk mengembalikan kejayaan bangsa. Tekad dan keinginan kuat terpatri di hati para guru Jepang saat itu. Menjadikan keinginan Kaisar Hirohito bersambut. Nasionalisme segenap lapisan masyarakat Jepang -termasuk guru, menjadi modal menuju arah kemajuan dan kejayaan bangsa dan negara era ini.

Kalau di Jepang berhasil kenapa di Indonesia tidak? Banyak sekali yang dapat dilakukan guru untuk menunjukkan totalitas dan dedikasi untuk bangsa dan negara. Yang jelas, guru harus maju dan profesional. Atau lebih tepatnya guru harus memajukan dan memprofesionalkan diri (secara aktif-inklusif), tidak menunggu dorongan dari pihak lain. Jadi yang utama adalah munculnya satu impulse dalam diri sendiri.

Totalitas interaksi antara guru dan murid itulah yang akan menjadi pengejewantahan cita-cita untuk mewujudkan Pendidikan Berdiferensiasi. Sebuah cita-cita untuk bisa membantu menemukan minat dan bakat siswa, mendampingi dan melesatkannya dalam koridor praktik pendidikan. Tanpa mengurangi wibawa, guru seharusnya berusaha menjadi satu kesatuan tak terpisahkan dengan murid. Ini memang bukan hal yang mudah. Namun tekad dan kesungguhan akan mengarah pada tergapainya keinginan ini. Proses belajar mengajar di dalam atau di luar kelas bukan sebagai mekanisme semu yang beresensi pengumpulan nilai yang secara reguler dipertanggungjawabkan pada orang tua atau wali murid. Tapi interaksi antar manusia yang menjamah ranah hati dan perasaan.

Ada kalanya guru seharusnya memosisikan diri sebagai pengajar, contoh, pemandu, akselerator dan motivator dalam proses belajar-mengajar. Namun suatu ketika guru harus bisa menjadi teman, di mana guru harus bisa memahami dan mendalami gejolak dan potensi positif siswanya. Kalau menghadapi siswa bermasalah misalnya, ia tak semena-mena memosisikan diri sebagai “polisi” yang dengan seenaknya langsung menilang. Aturan diadakan untuk ditegakkan. Ketika aturan diberlakukan dengan empati yang tinggi, di situlah sebenarnya makna hakiki dari eksistensinya.

Kalau sudah memahami kondisi fisik dan psikis siswanya dengan pasti, apapun upaya doktrinisasi dan pentransferan ilmu serta pembentukan sikap, ahlak dan karakter (Character building) akan berjalan bukan sebagai suatu yang dipaksakan karena rasa takut. Tapi satu proses alamiah yang berjalan dengan sendirinya. Proses yang didasari pada kebutuhan dan dilaksanakan dengan hati yang terbuka.

Harus terpatri di benak guru dan siswa, bahwa sekolah adalah media pertemuan yang sangat diidamkan. Yang banyak terperaga saat ini adalah fragmen hidup penuh kontradiksi. Sekolah dianggap suatu tempat yang memuakkan, kering tuladha hidup serta sarat dengan aturan yang seakan memasung siswa.

Begitulah. Kalau kiprah guru di dalam sekolah sudah mantap, fase selanjutnya yang juga harus segera digarap adalah berkiprah di luar. Berbagai macam event ilmiah intelektual, keterampilan yang diperuntukkan guru dan siswa, harus menjadi ajang pembuktian. Kita semua harus bisa memacu diri sendiri untuk berprestasi di dalam dan luar lingkungan sekolah.

Jangan tunda lagi, sekaranglah momentum bangkitnya Bangsa Indonesia dari keterpurukan kualitas pendidikan. Nilai dan sikap positif yang ada pada setiap kita harus terus dibangkitkan dan tetap menyala-nyala dalam memperjuangkan “Kebangkitan Nasional ke-dua Indonesia”. Perlu kesungguhan dan kerja keras semua elemen bangsa menjadi lebih bermartabat dan berkualitas. Pendidikan tentu sebagai pioner utamanya.

———- *** ———–

Rate this article!
Tags: