Mendayagunakan Satpol PP Sebagai Negosiator Trantibum

Oleh :
Setijo Mahargono
Staf pada Satpol PP Prov. Jawa Timur

Pemerintah Propinsi Jawa Timur sedang memperkuat jalinan kerjasama bidang Keamanan dan Ketertiban Umum (Kamtibum). Jalinan ini melibatkan TNI (Kodam V/Brawijaya), Polri (Polda Jatim), dan Satpol PP Propinsi Jatim. Diharapkan, sejak tahun anggaran 2020, pelaksanaan Kamtibum akan memiliki tingkat keberhasilan lebih besar. Terutama penegakan hukum seluruh Perda (Peraturan Daerah).
Berdasar UU Nomor 23 tahun 2014, tugas pokok dan fungsi (tupoksi) Satpol PP masuk dalam rumpun penegakan Perda dan Perkada (Peraturan Kepala Daerah). Tugasnya tidak enteng, dan kewenangannya sangat keren. Pada pasal 255 ayat (2) huruf b, dinyatakan kewenangan Satpol PP, yakni “menindak warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang mengganggu ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat.”
Tupoksi yang tidak enteng, sekaligus sebagai garda terdepan dalam hal kasus-kasus hubungan antara pemerintah daerah dengan masyarakat. Sebagai penegak Perda (Peraturan Daerah), potret Satpol PP identik dengan “negosiator.” Sekaligus sebagai eksekutor ke-tidak tertib-an. Tetapi yang kondang, Satpol PP hanya identik dengan operasi yustisi, dan ketertiban fasilitas umum (oleh Pemerintah Kabupaten dan Kota). Terasa metodanya masih kental dengan nuansa bongkar angkut.
Konon, hal itu disebabkan keterbatasan yang melingkupi tupoksi Satpol PP. Termasuk keterbatasan dalam kompetensi personel, dan anggaran. Padahal sesungguhnya, Satpol PP memiliki kewenangan lebih besar. UU Pemerintahan Daerah pasal 255 ayat (2) huruf c, menyatakan kewenangan “melakukan tindakan penyelidikan terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang diduga melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau Perkada.”
Jadi, Satpol PP dapat berlaku bagai jaksa untuk menyelidiki aparatur yang melanggar peraturan. Fungsi ini (penyelidikan) niscaya memerlukan kompetensi memadai. UU juga meng-amanat-kan peningkatan kompetensi personel Satpol PP, tercantum dalam pasal 256 ayat (3) menyatakan, “Polisi pamong praja harus mengikuti pendidikan dan pelatihan teknis dan fungsional.” Kewajiban ini, berdasar pasal 256 ayat (4), diselenggarakan oleh pemerintah pusat (Kementerian Dalam Negeri).
Namun mayoritas personel Satpol PP, belum memperoleh pendidikan dan pelatihan. Juga belum terdapat personel yang memenuhi persyaratan (kompetensi), dapat diangkat menjadi penyidik PNS. Sehingga harus diakui, masih dipandang sebelah mata. Dianggap tidak cerdas, dan hanya berdasar peraturan tanpa kompromi. Padahal seharusnya, personel Satpol berhak memperoleh kesempatan untuk meningkatkan kompetensi (dengan tugas belajar), terutama problem komunikasi sosial dan hukum.
Kompetensi Satpol PP
Diperlukan “pen-cerdas-an” petugas lapangan, terutama nego dengan warga. Walau warga dalam posisi lemah (melanggar). Visi dan misi Kepala Daerah, dapat mengubah paradigma kinerja Satpol PP. Beberapa daerah (termasuk propinsi Jawa Timur dan Kota Surabaya), terasa lebih “menghargai” warga yang tertinggal secara ke-ekonomi-an. Warga miskin yang menggunakan fasilitas umum (secara melanggar), bukan dihardik. Melainkan dibina, difasilitasi menempati rumah susun sewa yang murah.
Begitu pula perlakuan terhadap pedagang asongan, serta pasar dadakan dan “pasar tumpah.” Dalam hal ini Jawa Timur memiliki Perda yang wajib ditegakkan oleh Satpol PP. Yakni Perda Nomor 3 tahun 2008 tentang Perlindungan, Pemberdayaan Pasar Tradisonal dan Penataan Pasar Moderen. Begitu juga di beberapa kabupaten dan kota memiliki Perda senafas. Namun kenyataannya, pasar moderen terus berkembang, sedangkan pasar tradisional makin terdesak.
Penegakan hukum Peraturan Daerah, bertujuan menjamin ketertiban umum, sekaligus melancarkan roda perekonomian daerah. Yang ditegakkan bukan sekadar Perda Ketertiban Kota, melainkan juga Perda Lingkungan Hidup, dan Perda tentang Rancangan Tata Ruang Wilayah. Serta Perda yang menyokong peningkatan PAD (Pendapatan Asli Daerah), misalnya Perda Pengelolaan Sungai, Perda Pertambangan, serta Perda Aset dan Kekayaan Daerah.
“Banyak jiwa, banyak rezeki,” begitu bunyi pepatah lama keluarga Jawa. Tetapi pepatah ini terasa kurang tepat pada zaman moderen. Bisa berpotensi menimbulkan ke-rumitan secara ekonomi maupun politik. Problem ini (kebanyakan jumlah penduduk), dialami berbagai kota di Indonesia. Terutama kota-kota besar. Seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan dan Makassar, kebanjiran penduduk pendatang. Masyarakat warga daerah merasa rugi, karena alokasi anggaran tercurah untuk pendatang.
Metode razia ketertiban umum oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), kini semakin mengedepankan “duduk bersama.” Yakni, pertemuan negosiasi antara masyarakat pengguna lahan pemerintah, dengan Pemerintah Daerah. Tidak ada lagi cara bongkar angkut, bagai cerita “Tom and Jerry.” Hanya uber-uberan, antara petugas pemerintah daerah dengan masyarakat.
Di berbagai kota metropolitan (se-dunia) ketertiban menjadi kinerja utama pemerintah daerah. Karena itu diperlukan personel Satpol PP yang kompeten. Terutama lulusan STPDN yang terbiasa dengan metode disiplin, dan barkarakter. Juga perlu jaminan promosi karir personel Satpol PP, sebagai garda terdepan negosiator, dan eksekutor problem sosial.
Trantibum Metropolitan
London (Inggris) juga menghadapi problem sosial metropolitan. Sampai menjadi alasan utama pemerintah Inggris untuk keluar dari Uni Eropa (UE). Dalam referendum (diselenggarakan 24 Juni 2016), rakyat Inggris, baru saja memilih opsi leave. Opsi tersebut tersebut meraih 52% dibanding remain (tetap di UE) meraih 48%). Artinya, rakyat Inggris lebih suka “men-sapih” (lepas susu) organisasi negara-negara Eropa itu.
Inggris sudah dijejali kelompok urban sampai sebanyak 3 juta orang. Pada sisi lain, warga Inggris yang keluar (menuju ke negara tetangga) hanya sekitar 1,2 juta orang. Peraturan bebas visa (exit-permit) berkonsekuensi banyaknya imigran, menimbulkan kampung kamuh, serta kemacetan lalulintas. Juga persaingan memperoleh lapangan kerja. Imigran dihargai lebih murah, sehingga lebih sukses bersaing memperoleh pekerjaan.
Konsekuensi lainnya, harus dialokasikan anggaran lebih besar untuk sektor pendidikan dan kesehatan. Seluruhnya untuk meng-akomodir warga asing! Inilah yang menyebabkan rakyat Inggris merasa rugi. London sebagai mega-politan dunia, bermasalah dengan ketenteraman dan ketertiban umum (trantibum). Seperti juga Jakarta, Surabaya, dan pertumbuhan metroplitan lain, menghadapi problem kawasan kumuh, lalulintas macet, dan ke-tidak tertib-an kawasan. Juga peningkatan kriminalitas secara kuantitatif maupun kualitatif (adanya modus baru).
Hal yang sama juga terjadi di kota-kota besar di Amerika Serikat (AS). Pembangunan tembok pembatas negara (dengan Meksiko), merupakan “puncak” kekesalan Trump terhadap program Deferred Action for Child-hood Arrivals (DACA). Imigran semakin banyak, kampung kumuh semakin banyak. Juga kriminalitas. Imigran juga membawa masalah sosial, termasuk menjadi agen narkoba. Problem yang sama di alami beberapa kota di Amerika Selatan dan Afrika (yang gagal mengelola ketertiban umum), telah menjadi sarang peredaran narkoba.
Pada kawasan urban metropolitan, tupoksi Satpol PP Pemerintah Propinsi, memiliki tugas lebih berat, dan menuntut kompetensi memadai. Karena biasanya, pelaku pelanggaran tergolong intelektual. Juga melibatkan kelompok masyarakat. Maka sinergitas “langsung” (otomatis) dengan TNI, dan Polri, bisa menjamin penegakan hukum lebih berhasil. Maka peningkatan peran Satpol PP menjadi sangat urgen dan strategis terhadap kinerja Pemeritnah Daerah mewujudkan tertib sosial.

——— ***  ———

Tags: