Mendesain Generasi Antidisrupsi

Oleh :
Hamidulloh Ibda
Dosen dan Kaprodi Pendidikan Guru MI (PGMI) Jurusan Tarbiyah STAINU Temanggung

Isu disruption (disrupsi) menjadi kajian terbaru dan hangat bagi akademisi dewasa ini. Setelah isu global Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) mengguncang pendidikan kita sejak 2015, kini bergeser atas fenomena disrupsi. Sebab, dari berbagai aspek kehidupan, kita saat ini mengalami ketercerabutan dalam berbagai aspek.
Disrupsi atau tercerabut dari akar, bukan fenomena baru. Jika dianalisis, negara ini memang terdisrupsi dari berbagai aspek, mulai dari agama, budaya, gaya hidup bahkan sampai tatanan sosial politik. Dalam agama, misalnya, orang tidak mampu membedakan Islam dengan Arab, Hindu dengan India dan lainnya. Sehingga, karena mereka latah memahami agama dan tidak mampu membedakan budaya Arab dan Islam, pola hidup mereka gebyah uyah alias mana suka.
Orang yang tidak memakai cadar, jubah, jenggot, dianggap tidak islami. Padahal, cadar itu budaya Arab yang sebelum Islam sudah ada. Bahkan, Nabi Muhammad sendiri hanya menyuruh istri dan putrinya untuk menutup aurat, bukan bercadar. Lantaran mereka “gagal paham” dan terdisrupsi dari ajaran Islam dan Indonesia, mereka mengimpor “wadah Islam”, bukan substansi Islam.
Dalam bidang lain, misalnya, fenomena bahasa kita juga tercerabut. Ada “perselingkuhan bahasa” di kalangan pemuda kita. Untuk menyatakan cinta kepada bangsa ini saja, “pemuda naman now” lebih percaya diri mengatakan I Love Indonesia, We Love Indonesia, daripada Aku Cinta Indonesia, Kami Cinta Indonesia. Masalahnya, mengapa untuk menyatakan cinta pada bangsa sendiri harus memakai bahasa orang lain? Kita ini Indonesia atau Inggris?
Isu disrupsi yang paling mendominasi pola hidup manusia sekarang adalah pergeseran dari konvensional menuju digital. Jika dulu untuk memenuhi kebutuhan pangan, sandang dan papan, kita harus bekerja nyata, namun saat ini hampir semuanya tercerabut di dunia siber. Generasi muda saat ini hidupnya bergantung dari internet. Internet tidak hanya menjadi sekunder melainkan menjadi basic need (kebutuhan dasar).
Jika diolah dengan baik, disrupsi teknologi ini bisa menjadi peluang, bukan ancaman. Namun, banyak akademisi kita ketakutan dengan disrupsi di era milenial ini. Padahal, disrupsi adalah keniscayaan yang harusnya tidak perlu ditakuti. Namun harus disikapi dengan menyeimbangkan yang asli dan impor.
Menyikapi
Orang yang paling selamat dan mampu menjawab tantangan zaman adalah mereka yang tahu kehendak zaman. Untuk menjawab itu, tidak mungkin kita tidak tercerabut dari akar. Bahkan, disrupsi yang paling besar di dunia Islam terjadi pertama kali adalah pembukuan Alquran.
Dalam sejarah Islam, Nabi Muhammad tidak pernah menyuruh sahabat membukukan Alquran dalam mushaf. Akan tetapi, setelah nabi wafat dan karena banyak penghafal Alquran meninggal, maka sejak era khalifah Usman bin Affan, Alquran resmi dibukukan menjadi mushaf. Di situlah, awal sejarah disrupsi agama pertama kali dimulai.
Apakah pembukan itu buruk? Tentu tidak. Justru jika dulu tidak dibukukan, kemungkinan besar Alquran lenyap jika penghafal Alquran makin defisit. Artinya, dalam agama saja, disrupsi menjadi keniscayaan, dan itu terjadi karena perubahan zaman yang tidak stagnan. Sikap kita sebagai orang yang hidup di era milenial sangat irasional jika menolak disrupsi. Oleh karena itu, bukan disrupsinya yang kita tolak, melainkan cara berpikir dan bersikap pada disrupsi itu sendiri.
Selain masalah agama, dalam bernegara juga sama, ada disrupsi yang tak bisa dibendung. Dalam bernegara, ada disrupsi akbar yang membuat kita “lupa Indonesia” dan menjadikan kita butuh “pahlawan antidisrupsi” untuk menjaga ketulenan spirit bernegara kita. Banyaknya pengasong sistem khilafah menjadikan ruwetnya bangsa ini. Meski HTI sudah bubar, namun banyak kadernya berkeliaran di mana-mana.
Mereka ingin membenturkan spirit bernegara dan beragama yang hakikatnya bisa senada. Artinya, menjadi nasionalis tidak perlu melepas baju Islam, Kristen, Budha, Hindu dan lainnya. Sebab, menjadi religius dan nasionalis bisa berjalan dalam rel yang sama.
Generasi Antidisrupsi
Di tengah banjir disrupsi seperti ini, kita membutuhkan karakter-karakter kebangsaan, keindonesiaan dan religius untuk bisa hidup harmoni. Untuk mencetak orang berkarakter nasionalis, religius dan plural, tentu tidak bisa seperti menggorang pisang yang hanya beberapa menit. Semua itu harus ditempuh melalui pendidikan dalam jangka panjang.
Dalam hal ini guru berperan strategis menjadi pengubah cara berpikir generasi muda untuk mampu menghadapi zaman. Di zaman yang “banjir disrupsi” seperti ini, kita memang tidak bisa menolak ketercerabutan. Menolak disrupsi, sama saja menolak perubahan dan akhirnya kita akan tertinggal.
Maka guru harus melakukan penanaman nilai-nilai karakter yang sudah tertuang dalam Perpres Nomor 87 tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK). Dalam karakter-karakter itu, pemerintah merumuskan 17 nilai yang mewakili semua aspek kehidupan. Mulai dari religius, jujur, toleran, disiplin, bekerja keras, kreatif mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan bertanggungjawab.
Spirit dari semua nilai-nilai di atas sebenarnya sudah mewakili Pancasila dan nasionalisme. Artinya, jika kita hidup di Indonesia, secara ideologi tidak boleh tercerabut. Barang siapa ingin mencerabut, maka siap-siap dibubarkan seperti HTI yang ingin mengganti dasar negara. Di sinilah tugas berat pahlawan antidisrupsi yang harus bisa memaknai, mana wilayah yang harus tetap di akar, dan mana yang boleh tercerabut.
Jika kita melihat profil empat pahlawan yang tahun 2017 kemarin dikukuhkan menjadi pahlawan nasional tentu mereka orang yang antidisrupsi. Keputusan Presiden Nomor 115 TK Tahun 2017 tanggal 6 November 2017 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional, Presiden Jokowi memberi gelar Pahlawan Nasional pada empat tokoh. Mulai dari TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid, Laksamana Malahayati, Sultan Mahmud Riayat Syah dan Lafran Pane. Keempatnya, dijadikan pahlawan nasional karena memiliki kelebihan dan perjuangan sesuai bidangnya.
Makna pahlawan tidak sekadar secara fisik, namun yang penting justru jiwanya. Dalam hal ini, jiwa antidisrupsi sebenarnya bukan menolak disrupsi yang hakikatnya menjadi peranti perubahan, melainkan lebih pada mengubah cara berpikir dan bersikap. Jika wilayahnya cara berpikir, maka pahlawan itu tidak lain adalah pendidik, baik itu guru maupun dosen, kiai, ustaz dan lainnya yang bertugas menjadi penyeimbang badai disrupsi.
Disrupsi bukan tujuan utama hidup. Namun hanya sekadar proses perubahan dan menjadi alat, bukan tujuan. Artinya, orang boleh saja naik haji dengan pesawat, karena di sini pesawat hanya alat mempercepat perjalanan. Namun dalam hal syarat dan rukun haji tidak boleh tercerabut karena itu sudah baku.
Jadi, pemetaan wilayah disrupsi harus sesuai teks, konteks, interteks yang mana bisa wajib, sunah, makruh bahkan haram. Jika disrupsi itu bersinggungan dan mengubah hal pokok, maka disrupsi menjadi haram. Akan tetapi jika hanya menjadi alat, maka hukumnya boleh dan halal. Saat ini, Indonesia tidak hanya butuh pahlawan yang sekaligus generasi antikorupsi, namun juga antidisrupsi. Masalahnya, siapa yang siap menjadi generasi antidisrupsi?

——— *** ———-

 

Rate this article!
Tags: