Mendialogkan Gagasan Moderasi Beragama

Oleh :
Baiturrahman
Mahasiswa Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Diskursus moderasi beragama memang masih menjadi isu yang hangat untuk diperbincangkan. Berbagai kajian dan penelitian telah banyak dilakukan dengan mengambil tema moderasi. Pemerintah sendiri melalui Kementerian Agama memiliki program khusus tentang moderasi beragama.

Sosialisasi mengenai moderasi beragama telah banyak dilakukan, baik dalam bentuk seminar, pelatihan bagi pendidik, penyuluh, pegawai, atau melalui kegiatan-kegiatan lainnya. Namun demikian, sejauh mana diskursus ini menyentuh kalangan masyarakat kelas bawah? Apakah ajaran-ajaran agama itu sendiri tidak cukup untuk menjawab berbagai permasalahan sekarang, sehingga memerlukan pemahaman yang moderat?

Ada beberapa alasan mengapa diskursus moderasi beragama menjadi penting untuk tetap disuarakan. Pertama, posisi umat beragama yang problematis. Arus globalisasi yang tidak bisa dibendung, memaksa agama harus bisa survive di tengah tantangan global. Berbagai permasalahan timbul ke permukaan menghendaki jawaban dari umat beragama, di satu sisi orang-orang yang mencoba melakukan pembaharuan (melalui ijtihad) dianggap sebagai penyimpangan dan pengikisan nilai-nilai fundamental agama.

Kedua, berhubungan dengan munculnya kelompok-kelompok radikal, teroris, dan intoleran yang mengatasnamakan agama tertentu terutama pasca Reformasi. Kemunculan kelompok beragama garis keras ini, memberikan warna sekaligus riuh terhadap sikap dan pola beragama di dalam masyarakat. Pemahaman keberagamaan yang terakhir ini banyak diminati oleh orang-orang awam yang umumnya tidak punya latar belakang pendidikan agama sebelumnya.

Ketiga, sikap keberagamaan yang legal-formalistik. Sikap keberagamaan ini sering kali memperlihatkan ‘bentuk’ agama ketimbang ‘substansi’ agama itu sendiri. Implikasinya adalah pola beragama yang sempit yang lebih mementingkan ‘kesalehan individu’ ketimbang ‘kesalehan sosial.’Sikap ini juga pada akhirnya mudah terjebak pada dikotomi istilah-istilah yang ada di dalam agama; Islam versus Kristen, halal versus haram, muslim versus kafir, dan lain sebagainya.

Oleh sebab itu, gagasan moderasi beragama dirasa dapat memberikan solusi atas keringnya nilai-nilai agama di masyarakat. Gagasan ini pada intinya mencoba memberikan sikap beragama yang tengahan di antara dua kutub pemahaman beragama yang ekstrem (kiri dan kanan), sehingga moderasi mengindikasikan seseorang untuk beragama yang tidak liberal, konservatif, fanatik, dan juga radikal.

Fakta di Lapangan

Meskipun sosialisasi mengenai pemahaman moderasi beragama kerap disuarakan pemerintah, kenyataannya di lapangan sering kali terjadi benturan kekerasan atas nama agama. Laporan SETARA Institute tentang kebebasan beragama dan berkeyakinan tahun 2020 mencatat ada 180 pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan dengan 424 bentuk tindakan. Meskipun ‘peristiwa’ pelanggaran mengalami penurunan dari tahun sebelumnya, tetapi pelanggaran dalam bentuk ‘tindakan’ mengalami lonjakkan dari 327 tindakan. Terdapat 10 provinsi utama penyebaran pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia; Jawa Barat (39), Jawa Timur (23), Aceh (18), DKI Jakarta (13), Jawa Tengah (12), Sumatera Utara (9), Sulawesi Selatan (8), DI Yogyakarta (7), Banten (6), dan Sumatera Barat (5). Dan yang paling menyedihkan adalah aktor pelanggaran kebebasan beragama selama masa pandemi ini justru dari negara (239 tindakan) sendiri, sisanya datang dari masyarakat (185 tindakan) (SETARA Institute, 2021). Fakta ini sekaligus menjawab pertanyaan pertama dalam tulisan ini, bahwa memang diskursus moderasi beragama belum sampai ke masyarakat akar rumput (grassroot). Atau bisa dikatakan implementasinya masih sangat jauh dari tujuannya.

Kita bersepakat bahwa tidak ada ajaran atau doktrin agama manapun yang mengajarkan umatnya untuk melakukan kekerasan. Kasus Islam misalnya, menurut Guru Besar Sejarah Islam UIN Jakarta Azyumardi Azra, tidak ada literatur Islam Indonesia yang mengandung ajaran ‘radikal’ atau ‘radikalisme.’ Menurutnya dalam kajian ‘Turats Islam Indonesia’ pada abad ke-16 sampai sekarang atau sekitar 20 tahun ke belakang ini tidak ada doktrin yang mengandung kemunculan pemahaman ektrem-radikal di masa kontemporer ini (Republika: Azra, 2022). Hal ini membuktikan bahwa, meskipun terjadi penetrasi agama tertentu ke dalam masyarakat Indonesia, pada umumnya dakwah yang dilakukan berjalan secara damai dan nir-kekerasan.

Lantas mengapa terjadi banyak konflik keagamaan di Indonesia pada dewasa ini terutama 20 tahun ke belakang? Pada dasarnya semua umat beragama meyakini bahwa ajaran agamanya adalah sempurna. Namun demikian, pemahaman atas ajaran agama yang sempurna ini sering kali disalahpahami karena pembacaan ‘teks’ tanpa mempertimbangkan ‘konteks,’ sehingga terjadi gap (benturan) antara normativitas dan historisitas agama, antara teori dan praksis di lapangan. Oleh sebab itu, dibutuhkan penafsiran baru terhadap ‘teks’ ajaran agama, sehingga upaya penafsiran ini akan melahirkan makna-makna baru dalam ajaran-ajaran agama yang sarat dengan kehidupan manusia sekarang (reproduction of meanings). Pernyataan ini sekaligus menjawab pertanyaan kedua dari tulisan ini.

Penghayatan

Perlu diakui memang, gagasan moderasi beragama yang dicanangkan Kementerian Agama banyak menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Di salah satu Whatsapp grup (WAG) yang penulis ikuti misalnya, banyak orang yang menganggap ‘moderasi beragama’ sama dengan ‘moderasi agama.’ Dua istilah ini tentu saja berbeda. Yang pertama mengindikasikan sikap keberagamaan dengan pemahaman tengahan di antara dua kutub ekstrem beragama (kiri dan kanan), sedangkan yang kedua ini dipahami oleh sebagian orang sebagai penyamaan antara agama-agama (pluralisme agama). Sehingga orang yang menganut pemahaman kedua ini menganggap moderasi beragama ialah moderasi agama. Hal ini tentu saja salah, karena moderasi beragama tidak menghendaki penyamaan antar agama. Bahkan sejatinya sikap moderat justru diajarkan oleh agama-agama yang ada di Indonesia; Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Konghucu (Baca: Moderasi Kemenag RI, 2019).

Namun, perdebatan demikian sangat kontra produktif. Alih-alih memberikan solusi, kontroversi ini justru hanya akan menghabiskan pikiran dan tenaga umat beragama. Moderasi seharusnya ditempatkan bukan pada tatanan teoritik sepenuhnya. Tetapi, perlu melibatkan penghayatan atau perasaan umat beragama yang kemudian dipraksiskan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya ketika melihat pengusiran sekelompok muslim Syiah di Sampang, tindakan ini tentu saja masuk dalam ketegori pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan. Maka, kita perlu tahu bagaimana perasaan kita jika berada di posisi mereka yang terdiskriminasikan dan termarginalkan dari masyarakat. Moderasi beragama juga menuntut kita untuk banyak mempertimbangkan sikap dan tindakan kita terhadap setiap perasaan umat beragama.

Di era globalisasi ini kita tidak akan mungkin mengasingkan diri dari beragam suku, budaya, ras, dan agama. Ketika di suatu tempat ada umat muslim, maka di sekitar itu akan ada sekelompok umat Kristiani, begitupula sebaliknya. Itulah konsekuensi hidup di era modern sekarang ini. Orang akan lebih dekat dengan suatu perbedaan. Maka, perbedaan ini perlu dijadikan kesempatan untuk saling menganal sekaligus dikelola menjadi modal sosial yang baik untuk pembangunan bangsa Indonesia di masa mendatang.

———– *** ———–

Tags: