Oleh :
Heny Agung Wibowo
Mahasiswa S2 Program Jurusan Sosiologi FISIP-Universitas Muhammadiyah Malang
Aksi terorisme telah lama bermunculan dari mulai Bom Bali I dan II kemudian disusul aksi Bom JW Marririot, BOM WTC, dan beberapa kasus Bom-Bom yang lainya.
Ancaman terhadap kesatuan negara Indonesia hari ini dan dulu tidak bisa dianggap sebagai sesuatu yang sederhana, bahkan menjadi permasalahan yang hilang timbul karena kepentingan-kepentingan elit politik, banyak yang dikorbankan mulai dari korban jiwa, mental, infrastruktur, dan smapai pada kepercayaan terhadapa agama juga menjadi korban dari stigma aksi radikal yang dilakukan oleh kebanyakn oknum atau para teroris dari kalangan orang-orang Islam.
Berkaca dari aksi-aksi radikal seperti terorisme yang telah terjadi dari dulu hingga sekarang, kita memahami harus ada pembelajaran dan revitalisasi nilai-nilai agama dan ilmu pengetahuan yang lebih lagi terhadap masyarakat yang masih buta terhadap keyakinan beragama. Hari ini seiring berkembangnya dunia global dan menjalarnya arus informasi dan teknologi yang tidak terbatas, maka melahirkan pemahaman-pemahaman baru, ilmu-ilmu baru, dan bahkan keyakinan-keyakinan baru akan informasi yang ditangkap dan didapatkan secara speihak tanpa mengvalidasi kebenaranya. Buta terhadap pengetahuan dan informasi hari ini melahirkan satu ideologi yang ekstrim dan membuat rusak generasi muda hari ini, arus globalisasi berupa media sosial telah menjadi wabah lahirnya kehidupan baru yang tidak terbatas oleh apapun. Akses dari luar negeri yang dahulu sangat susah didapatkan hari ini dnegan sekejap saja langsung bisa diakses dan disebar luaskan tanpa melihat kebenaranya secara empiris.
Terorisme lahir dari pemahaman yang terlalu konservatif terhadap agama dan tidak melihat sejarah secara detail, akhirnya memberikan stigma terhadap negara yang dari dulu lahir oleh keberagaman dengan label sebagai negara yang harus diperangi karena tidak sesuai dengan ajaran agama Islam yang diajarkan dalam Al-Qur’an dan Hadits Rasul. Selain itu ada yang menarik dari faktor yang melatar belakangi banyak orang-orang Indonesia menjadi teroris terutama menjadi teroris ISIS, salah satunya adalah ketidakharmonisan keluarga seperti tidak dianggap dalam keluarganya, dibandingkan dengan orang lain, terjadi broken home, tidak dihargai sebagai anak yang memiliki kemampuan berbeda dari saudara-saudaranya adalah bagian dari faktor yang jarang sekali di publikasi oleh media sosial.
Salah satu mantan teroris dari ISIS yang sudah kembali ke Indonesia bernama Wildan Bahriza atau Wildan Bin Fauzi Bahriza Pria kelahiran Pasuruan 17 Juni 1991 seorang alumni dari kampus swasta terbaik di Malang jurusan Informatika telah kembali ke Indonesia yang sekarang sudah brtaubat dan menjadi pebisnis jamu herbal dan menjadi pemateri di seminar-seminar dalam penanganan anti teroris. Wildan tidak berasal dari keluarga yang berada di ekonomi menengah kebawah melainkan dia berasal dari keluarga yang berada atau bahasanya adalah bukan dari keluarga yang miskin yang itu menjadikan motivasinya menjadi seorang teroris yang mengatasnamakan agama dengan istilah jihad.
Faktor yang melatarbelakangi Wildan untuk pergi ke Suriah dan bergabung menjadi anggota ISIS diantaranya adalah dia ingin membuktikan eksistensi dirinya dalam keluarga, dia menganggap ISIS adalah tempat yang sesuai dari pencarian jati dirinya selama ini, dia menganggap tidak ada yang bisa dicari lagi di keluarganya. Sehingga jalan yang sesuai dengan apa yang dia cari adalah ISIS ini dan akhirnya dia berangkat, kenyataan lain ketika Wldan sampai di Suriah ternyata tidak sesuai dengan ekspektasinya yaitu dia disana ditempatkan dalam ruangan 1,2×2,2 meter atau dalam ruang tanah seukuran kuburan dengan orientasi hidup dan matinya adalah disana. Jadi, siap atau tidak siap dia harus mengikuti perang disetiap jam, detik, dan menitnya serta harus siap untuk sewaktu-waktu mati karena peperangan dan itu sudah termasuk jihad.
Kembalinya Wildan ke Indonesia karena dia merasa jalan yang ditempuhnya tidak sesuai dengan harapanya selama ini, akan tetapi dengan kembalinya dia ke Indonesia pasti banyak pro dan kontra karena masa lalunya sebagai seorang mantan teroris, salah satunya adalah sanksi sosial yang didapatkan dilingkungan keluarga dan masyarakat sekitar. Stigma terhadap dirinya sebagai mantan teroris akan terus melekat dan menjadi label tersendiri dan ketika di kota besar seperti di Indramayu Jawa Barat dan Kota Malang menurutnya jauh bisa lebih berkembang dan masyarakatnya lebih bersifat terbuka, karena kota besar cenderung bersifat toleran dan tidak begitu mencampuri urusan orang lain secara pribadi, kenyataan yang terlihat hari ini adalah dia bisa hidup dan mengembangkan usaha dan menjadi pemateri masalah-masalah pencegahan teroris adalah manifestasi dari masyarakat modern yang ada di kota-kota besar. Kebanyakan masyarakat daerah asal yang memberikan stigma pada Wildan adalah masyarakat Arab sendiri dari lingkup keluarganya dan beberapa masyarakat daerah asalnya di Pasuruan.
Kehidupan sosial Wildan sebagai mantan teroris tidak begitu menyenangan karena label yang sudah di cap pada dirinya, faktanya memang mantan teroris tidak mendapatkan tempat yang semestinya di hati masyarakat setelah tindakan yang dilakukanya. Penyimpangan yang dilakukan oleh mantan teroris sudah termasuk dalam penyimpangan yang bersifat sekunder yang sudah tidak bisa dimaafkan karena tidak hanya sekedar tindakan biasa melainkan tindakan kekerasan yang sudah pada level kriminalitas yang terorganisisr dan mengorbankan banyak pihak. Salah satu tindakan Wildan dan beberapa mantan teroris ini merupakan jaringan kriminal yang terus bergembang dimanapun dengan motiv dan bentuk strategi apapun untuk mewujudkan keinginanya dalam mencapai ideologi yang tidak sesuai dengan negara ini.
Wildan setelah keluar dari penjara dan mendapatkan masa hukuman selama ini harus mengikuti kegiatan-kegiatan seperti program-program deradikalisasi, kemudian mengisi seminar dan sekarang masih mencari pekerjaan, Wildan juga pernah masuk dinas Koperasi kata Wildan dia adalah satu-satunya napiter yang bisa masuk dinas koperasi atau tepatnya di Diskoperindag (Dinas Koperasi dan UMKM, Perindustrian dan Perdagangan), Wildan mengatakan dia bekerja ditempat tersebut juga sebenarnya karena titipan sehingga orang-orang itu semena-mena terhadap para pekerja terutama mantan teroris atas masa lalunya, menurutnya orang Indonesia melihat seorang itu bukan dari kinerjanya dia, melainkan dari lulusan dia atau siapa dibelakangnya, akhirnya ada perlakuan yang tiak sesuai terhadap Wildan sebagai mantan teroris ini.
Tindakan Wildan bisa dianalisis dengan paradigma sosiologi dalam lingkup definisi sosial dengan teorinya Max Weber Pada kasus ini tindakan rasional yang dilakukan oleh Wildan termasuk dalam level realitas mikro subjektif karena menurut teori Weber termasuk dalam realitas subjektif yang berada dalam subjek individu atau dari subjek ke subjek. Kebermanfaatan dalam tindakan Wildan tidak bisa diukur secara objektif dan bukan termasuk dalam realitas makro, karena Wildan merasa lingkungan tidak mendukung menurut dia dari stigma yang muncul dari lingkungannya sendiri yaitu orang-orang Arab dan beberapa masyarakat sekitarnya sehingga menurutnya tidak bisa untuk tetap dilingkungan aslinya, akhirnya dia harus melakukan mobilitas dari Pasuruan ke Malang.
Salah satu tindakan yang menurut Wildan menjadi pilihan dengan segala pertimbangan dan pilihan sadar adalah keputusan untuk pindah dari Pasuruan ke tempat lain seperti ke Indramayu Jawa Barat dan akhirnya pindah ke Malang dengan aktifitas yang lebih bermanfaat seperti bisnis jualan Jamu herbal, pengisi materi tentang deradikalisasi dan materi-materi mengenai bahaya tindakan radikalisme seperti teroris dan lain-lainnya. Keinginan lainnya yang lebih besar lagi adalah ke luar negeri untuk mengembangkan bisnisnya dan mendapatkan pengalaman yang lebih banyak lagi, Wildan merasa tidak ada tempat lagi di daerah asalnya karena label sebagai mantan teroris tersebut sehingga dia mengambil keputusan secara realitas mikro subjektif untuk berkembang diluar akar tidak selalu mendapatkan stigma dari masyarakat, sedangkan disisi lain secara kualitas dan kinerja masih bisa diperhitungkan. Karena menurutnya orang-orang di Indonesia ini kebanyak melihat seseorang dari masa lalunya dan siapa yang berada di belakangnya tanpa melihat kualitasnya dan kinerjanya selama ini, akhirnya seseorang terlebih dahulu sudah mendapatkan label buruk sebelum melihat kualitas kemampuan aslinya.
Konsep Eks Napiter dalam pemahaman yang luas adalah mereka yang mendapatkan status mantan teroris dan telah selesai mendapatkan hukuman, setelah mereka keluar dari jeruji penjara maka mereka akan kembali lagi pada kehidupanya dan masyarakat tempat mereka tinggal. Akan tetapi, kehidupan eks napiter ini tidak seperti dulu karena mereka telah melakukan tindakan pidana kriminalitas berupa terorisme. Bagi masyarakat eks napiter ini tidak ubahnya seperti sebuah kotoran yang sudah tidak diterima lagi ditengah kehidupan masyarakat, karena Label terhadap eks napiter ini telah melekat pada diri mereka, meskipun mereka sudah berjanji dan bertaubat untuk tidak lagi mengulangi aksi terorismenya tersebut.
Kita sebagai orang Indonesia tidak dipungkiri selalu memiliki stigma terhadap orang lain yang belum kita kenal secara mendalam, stigam kita terhadap orang lain dikarenakan perspesi orang lain yang masuk dalam paradigma kita yang akhirnya kita tida pernah membuktikan secara empiris dan memakan mentah-mentahan apa yang sudah tertanam dalam diri kita sebagai manusia dan mahluk sosial.
———– *** ———-