Mendidik Karakter Anak Melalui Kearifan Lokal

Oleh:
Rio F Rachman
Dosen Institut Agama Islam Syarifuddin Lumajang

Belajar bisa di mana saja, kapan saja, dan dari siapa pun jua. Pasalnya, ada banyak nilai positif yang bisa ditangguk dari kehidupan bermasyarakat. Pendidikan yang bisa dijadikan modal anak-anak di masa depan, juga bisa dilakukan di tengah medan sosial keseharian.

Sebagai contoh, pendidikan karakter dan pengenalan ekstrak moral pancasila. Pendidikan tersebut dapat diimplementasikan saat anak-anak berinteraksi dengan lingkungan atau melihat fenomena di masyarakat. Terdapat banyak momentum yang bersinggungan dengan kearifan lokal, yang bisa dijadikan materi pendidikan. Masalahnya, apakah guru dan orangtua mau memanfaatkan itu guna memberi pengetahuan bermutu pada anak?

Misalnya, saat Wali Kota Surabaya Tri Rusmaharini berkeliling kawasan setempat untuk mengampanyekan kewajiban memakai masker di luar rumah saat pandemi Covid-19, Minggu 2 Agustus 2020 (Harian Bhirawa, 3/8). Hal itu bisa dijadikan acuan pendidikan nilai moral tentang saling menjaga kesehatan antar anggota masyarakat. Orang Surabaya memang terkenal dengan budaya guyup dan rukun. Namun bukan berarti meniadakan protokol kesehatan. Di satu sisi, kultur kebersamaan dipertahankan. Di sisi lain, saling menjaga antar warga diaplikasikan.

Di tempat terpisah, pada Sabtu 1 Agustus 2020, Pemerintah Kota Kediri melakukan kurasi pada 200 Usaha Mikro Kecil dan Menengah yang semua produknya mengangkat kearifan lokal atau kekhasan daerah (Harian Bhirawa, 3/8). Kegiatan ini bisa disampaikan pada anak-anak dengan menyisipkan nilai-nilai urgensi keadilan sosial di bidang ekonomi. Usaha-usaha rakyat, harus diberi ruang berkembang. Anak-anak juga bisa mulai diajarkan tentang kegemaran menggunakan produk lokal dan mencintai karya komunitas di daerahnya sendiri. Tentu saja, esensi penyampaian pesan moral ini mesti proporsional dan dikemas secara apik.

Tak hanya kabar-kabar sejenis itu yang bisa dijadikan materi pembelajaran. Hal-hal yang cenderung biasa dikerjakan anak-anak, atau bisa disaksikan secara langsung oleh mereka, juga dapat disesuaikan dengan nilai-nilai luhur. Sebagai contoh, soal bagaimana cara membuang sampah.

Topik membuang sampah pada tempatnya bisa dikorelasikan dengan pentingnya menjaga kebersihan dan lingkungan demi kehidupan yang asri di masa depan. Misal lainnya, tentang bagaimana berkomunikasi dengan etika yang baik pada orang lain. Tema berkomunikasi itu dapat dihubungkan dengan urgensi sikap menghormati yang lebih tua dan menghargai yang lebih muda.

Sejumlah pemikir di bidang pendidikan meyakini, karakter baik anak-anak bisa dibentuk tidak hanya melalui buku diktat sekolah. Fenomena budaya bangsa, di tingkat lokal, regional, bahkan nasional, yang sumbernya adalah falsafah bineka tunggal ika, bisa dijadikan sentral menumbuhkan karakter berwawasan kebangsaan (Imam Suyitno, Pengembangan Pendidikan Karakter dan Budaya Bangsa Berwawasan Kearifan Lokal, 2012). Sementara pemahaman tentang kebangsaan itu, selalu memiliki poin-poin positif yang bagus untuk pertumbuhan pola pikir anak-anak.

Pembelajaran kearifan lokal yang disuguhkan dengan brilian akan membekas pada otak anak-anak. Kecintaan anak-anak terhadap kebudayaan juga bisa berkembang dan terimplementasikan secara optimal. Ini merupakan modal penting dalam menjawab tantangan zaman di era globalisasi (Ulfah Fajarini, Peranan Kearifan Lokal dalam Pendidikan Karakter, 2014).

Pada bagian lain, guru perlu ikut mengenalkan kearifan lokal dengan cara membawa topik-topik mengenai budaya bangsa ke depan kelas. Kalau perlu, saat ada festival seni dan budaya di satu tempat, para siswa diarahkan untuk ikut menonton. Guru pun dapat pula ikut mendampingi. Tentu saja, orangtua dilibatkan dengan mekanisme yang disepakati bersama.

Model pembelajaran dengan menonton festival seni budaya ini punya dampak sistemik yang bagus. Selain memeroleh pemahaman, siswa juga punya pengalaman yang bersentuhan dengan seni budaya Indonesia. Mereka juga berbahagia karena dapat menyaksikan gelaran yang menghibur bersama kawan-kawan. Memori yang indah sekaligus berkualitas pasti menjadi momen berharga di kemudian hari.

Kesenian di Indonesia banyak mengandalkan komposisi antara elemen yang berbeda. Umpamanya, kesenian Reog Ponorogo, yang tidak hanya memertunjukkan atraksi reog. Di dalam satu pertunjukkan, biasanya ada pula aktor untuk fragmen komedi singkat, para musisi tradisional yang mengiringi, berikut penari-penari lincah nan eksentrik.

Kebudayaan atau adat istiadat di bumi pertiwi ini juga beragam, dan kerap mengajarkan masyarakat tentang arti penting kebersamaan. Salah satu bentuk budaya itu adalah permainan tradisional. Permainan tradisional seperti bakiak raksasa, ular naga panjang, tarik tambang, gobak sodor, panjat pinang, dan lain sebagainya, jelas memberi pemahaman tentang kerja tim.

Kebersamaan lekat dengan nilai-nilai Pancasila. Tidak hanya soal persatuan, namun juga keadilan. Kesejahteraan mesti dirasakan bersama atau dalam lingkup azas keadilan bagi seluruh rakyat. Anak-anak sebagai calon pemimpin bangsa di masa datang mesti menancapkan prinsip tersebut di dalam sanubari.

Kesimpulannya, kearifan lokal tidak boleh diabaikan. Pasalnya, ada banyak manfaat dari sana, yang bila dikelola secara seksama, bisa menjadi pangkal fundamental tumbuhnya generasi terbaik di negeri ini. Terlebih, dalam waktu dekat atau beberapa tahun ke depan, Indonesia akan mendapatkan bonus demografis berupa limpahan jumlah penduduk usia produktif.

Generasi muda harus punya pondasi kecintaan terhadap tanah air yang kuat. Sehingga, karakter luhur Pancasila yang ada dalam diri pemuda-pemudi Indonesia, bisa menjadikan mereka pejuang yang rela berkorban bagi kemajuan negara, tidak egois, serta tidak tamak. Bukankah ketamakan adalah titik awal dari merebaknya Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme?

———— *** —————

Tags: