Mendiskusikan Kemunduran Kepemimpinan Nasional

Oleh :
Nur Itsnaini Setianingrum Setiartiarno
Mahasiswa Jurusan PAI Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Walisongo Semarang

Mengatur sebuah negara dibutuhkan seorang pemimpin. Maju, mundur, atau stagnasi sebuah negara sangat ditentukan oleh para pemimpinnya termasuk Indonesia. Faktanya, negara ini merupakan negara berkembang salah satunya yaitu, karena teknologi yang semakin canggih. Baik yang diciptakan oleh anak negeri maupun diimpor dari luar negeri. Semua itu, dikarenakan pemimpin yang saling bekerja sama dan adanya implementasi.
Dalam mewujudkan kerja sama dibutuhkannya sifat altruisme (memperhatikan dan mementingkan orang lain). Akan tetapi, menjadi seorang pemimpin harus memenuhi beberapa kriteria diantaranya adil, amanah, dan mampu menjunjung tinggi derajat rakyatnya, terutama golongan proletar. Pasalnya, selama ini Indonesia masih banyak golongan proletar yang selalu dikucilkan, tertindas, dan bahkan tidak diperhatikan. Seperti hal ini dibuktikan dengan kebijakan yang tidak adil, misalnya mereka lebih banyak digusur dan dirampas hak hidupnya oleh kaum borjuis.
Oleh karena realita yang demikian itu, perlu adanya pemimpin yang memiliki kepedulian tinggi pada rakyat kecil, atau yang biasa disebut pemimpin profetik. Pasalnya, pemimpin ambisius tidak menjamin terwujudnya negara adil, makmur, dan sejahtera. Faktanya, Indonesia masih banyak terjadi kemiskinan, penyimpangan, masalah sosial, dan lain sebagainya. Dalam hal realita sosial, seharusnya pemimpin tanggap mengenai kemaslahatan, tidak hanya mencalonkan diri sebagai pemimpin saja. Akan tetapi, juga memiliki rasa empati terhadap rakyatnya.
Mencalonkan diri sebagai pemimpin merupakan sebuah tantangan. Akan tetapi, calon pemimpin yang baik adalah tidak meminta dan tidak ambisius terhadap kepemimpinannya. Dalam sebuah hadist bahwa, Rasulullah Saw berkata kepada Abdurrahman bin Samurah, “Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau menuntut suatu jabatan. Sesungguhnya, jika diberi karena ambisimu, maka kamu akan menanggung seluruh bebannya. Tetapi, jika ditugaskan tanpa ambisimu, maka kamu akan ditolong mengatasinya”. (H.R. Bukhari dan Muslim)
Dalam hadist tersebut, sudah jelas bahwa  menuntut suatu jabatan karena ambisi itu kurang diperkenankan. Sebab, kelak akan berpengaruh pada proses kepemimpinannya. Ambisi bagi calon pemimpin memang harus ada, tetapi jika terlalu ambisius tidak dibenarkan dan tidak baik. Pada umumnya, orang yang ambisius terhadap jabatan kepemimpinannya akan menghalalkan segala cara dan niatnya menyimpang dari yang seharusnya.
Ambisi dengan menghalalkan segala cara merupakan suatu hal yang tidak tepat dalam kepemimpinan, dengan uang (menyuap). Misalnya, memberikan uang kepada rakyat, agar dapat memenangkan jabatan yang akan didudukinya. “Menyuap dalam urusan hukum adalah kufur”. (H.R. Ath-Thabrani dan Ar Rabii’)
Hadist tersebut menjelaskan, bahwa menyuap tidaklah baik dalam kepemimpinan, nantinya akan membuat suatu permasalahan dan tidak lancarnya suatu kepengurusan.  Memang, uang sangatlah penting bagi kehidupan masyarakat, akan tetapi tidak menutup kemungkinan uang dapat menjerumuskan ke lobang kemaksiatan. Terlebih dalam konteks kenegaraan dan kepemimpinan. Begitu sebaliknya, dengan uang juga dapat meningkatkan titik kualitas sebuah negara.
Menjadikan negara berkualitas, adil, makmur, dan sejahtera itu memang tidak mudah, harus didasari dengan sikap bijaksana dari seorang pemimpin. Tidak hanya itu, untuk menjalankan dan mewujudkan negara adil, makmur, dan sejahtera juga memerlukan komunikasi antara masyarakat dengan pemimpin. Hal ini ditujukan agar kerjasama berlangsung dengan baik, cepat, dan efisien. Bahkan, sisi lain dari itu rakyat juga butuh empati dari pemimpin, khususnya rakyat kecil yang selama ini sudah lazim terabaikan.
Individu Menjadi Prioritas
Adanya pro dan kontra antara pemimpin dan rakyat, karena ketidaksesuaian kinerja yang kurang memproritaskan rakyatnya, sehingga belum terwujud cita-cita bangsa. Kepentingan individu menjadi prioritas utama mereka. Hanya perekonomian yang mereka fikirkan dibanding rakyatnya. Hal tersebut tidak mencerminkan kepemimpinan melainkan keegoisannya.
Mayoritas pemimpin memanfaatkan kedudukannya, mereka memakan hak rakyat,  padahal masih banyak rakyat yang terlantar, sedangkan mereka hanya duduk manis berada di ruangan penuh dengan fasilitan negara. Ambisi pemimpin yang minus membuat kesejahteraan rakyat menjadi menurun. Pemimpin yang berambisi itu baik, dalam arti mampu membawa rakyatnya ke dalam kesejahteraan dan kemakmuran.
Menjadi seorang pemimpin adalah tugas yang mulia. Pemimpin yang bijaksana, harus mampu menjalankan kepemimpinannya dan memprioritaskan rakyatnya. Apabila baik dalam kepemimpinannya, maka akan dipermudah suatu urusannya dan begitu sebaliknya. Realitanya, pemimpin selalu mementingkan individu dan golongan saja yang hanya terfokus pada kedudukan yang setara. Sehingga, rakyat cenderung menuntut keadilan pemimpin, karena mereka tidak menjalankan sesuai dengan kinerjanya.
Indonesia membutuhkan sosok pemimpin yang memiliki kriteria adil, amanah, dan bijaksana dalam melaksanakan kepemimpinannya. Sebab, untuk mewujudkan cita-cita bangsa, perlunya pemimpin yang sesuai dengan kriteria tersebut. Tidak sekedar kedudukan yang mereka banggakan, akan tetapi kemakmuran rakyat yang harus mereka utamakan. Sesungguhnya, “Pemimpin suatu kaum adalah pengabdi (pelayan) mereka (rakyat)”. (H.R. Abu Na’im).  Maka dari itu, pemerintah perlu melakukan riset disetiap daerah untuk mengukur tingkat perkembangan dan kesejahteraan rakyatnya. Wallahu ‘alam Bisshawab.

                                                  ——— *** ———

Tags: