Mendiskusikan Konsep Merdeka Belajar

Oleh:
Nakok Aruan
Peneliti Lembaga Pengkajian dan Pendampingan
Pemberdayaan Desa dan Pesantren (LP3DP)
Konsep “merdeka belajar” Nadiem Makarim, sedikit-banyak mempengaruhi Presiden Joko Widodo memilihnya sebagai Mendikbud. Padahal banyak pihak memprediksi pendiri sekaligus pemilik saham Go-jek itu bakal diangkat sebagai menteri yang menangani ekonomi dan industri kreatif.
Indikasi itu semakin jelas ketika Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Menteri BUMN Erick Thohir menyatakan mendukung kebijakan merdeka belajar tersebut. Erick Thohir menyatakan akan mengalokasikan 30 persen dana CSR BUMN untuk bidang pendidikan, sementara Sri Mulyani menetapkan kenaikan dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) untuk jenjang SD hingga SMA dan SMK (https://edukasi.kompas.com).
Meski demikian, masih cukup banyak khalayak -bahkan mereka yang sehari-hari bergelut di bidang pendidikan sekalipun -yang belum memahami konsep merdeka belajar itu sendiri. Dalam berbagai diskusi di media massa termasuk media sosial, berkembang beragam persepsi. Bahkan tidak sedikit yang berpersepsi, konsep itu menjadi “liar” karena memberikan kebebasan penuh kepada siswa sambil “meminggirkan” peran guru dan institusi sekolah.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sendiri sampai saat ini belum mengeluarkan kebijakan operasional dari konsep tersebut. Di lapangan, pihak Dinas Pendidikan, para kepala sekolah, dan guru juga belum memahami regulasi dan birokrasi yang akan diimplementasikan. Tulisan ini tidak membahas kebijakan regulasi dan birokrasi, melainkan mencoba meniskusikan arah dan tujuan kebijakan tersebut.
Paradigma Pendidikan
Dunia pendidikan di Indonesia kembali diuji, paradigma pendidikan apa yang akan diterapkan ke depan. Visi Presiden Joko Widodo untuk mengembangkan SDM yang unggul melalui pendidikan, adalah kebijakan yang tidak dapat ditawar lagi. Dunia pendidikan dituntut berperan kritis dalam melakukan perubahan sosial dan transformasi untuk mewujudkan visi tersebut, terutama terkait dengan teknik proses belajar mengajar.
Henry Giroux and Aronowitz (1985), memetakan aliran paradigma pendidikan menjadi tiga aliran, yakni pendekatan konservatif, liberal, dan kritis. Paradigma konservatif melihat perubahan sosial bukan sesuatu yang harus diperjuangkan, dan ketidaksederajatan masyarakat merupakan suatu hukum keharusan alami. Bagi kaum konservatif, mereka yang menderita, yakni orang-orang miskin, buta huruf atau tidak berpendidikan, kaum terpinggirkan, menjadi demikian karena salah mereka sendiri. Alasannya, banyak orang lain yang ternyata bisa bekerja keras dan berhasil meraih sesuatu.
Paradigma liberal memandang memang ada masalah di masyarakat, tetapi bagi mereka pendidikan tidak ada kaitannya dengan persoalan sosial dan ekonomi masyarakat. Meski kaum liberal selalu berusaha menyesuaikan pendidikan dengan keadaan sosial ekonomi masyarakat, dengan jalan memecahkan berbagai masalah yang ada dalam pendidikan, namun hal itu dilakukan dengan usaha reformasi “kosmetik”.
Umumnya yang dilakukan adalah seperti membangun kelas dan fasilitas baru, memodernkan peralatan sekolah dengan pengadaan IT yang lebih canggih, laboratorium, serta berbagai usaha menyehatkan rasio murid-guru. Selain itu berbagai investasi untuk meningkatkan metodologi pengajaran dan pelatihan yang lebih efisien dan partisipatif, seperti kelompok dinamik, ataupun Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA), dan sebagainya.
Pengaruh paradigma liberal kelihatan dalam pendidikan kita saat ini yang mengutamakan prestasi melalui proses persaingan antarmurid. Perangkingan untuk menentukan murid terbaik adalah implikasi dari paham pendidikan ini. Pengaruh pendidikan liberal juga dapat dilihat dalam berbagai pendekatan “andragogy” seperti dalam training management, kewiraswastaan, dan manajemen lainnya. Achievement Motivation Training (AMT) karya David McClelland (1961) adalah contoh terbaik pendekatan liberal.
Bagi McClelland akar masalah sosial dan ekonomi masyarakat karena tidak memiliki apa yang disebutnya dengan virus “N Ach”, sehingga mereka mengalami keterbelakangan dan kemiskinan. Dengan menyuntikkan virus “N Ach” tersebut, akan membuat individu-individu dalam masyarakat menjadi agresif dan rasional. Berbagai pelatihan pengembangan masyarakat (Community Developmnet) seperti kelompok usaha bersama, pertanian, dan sebagainya, umumnya berpijak pada paradigma liberal ini.
Paradigma liberal lebih melihat bahwa “aspek manusia” menjadi akar penyebab masalah sosial ekonomi dalam masyarakat. Dalam perspektif ini N Ach (need for achievement) dianggap sebagai penentu perubahan sosial ekonomi masyarakat. Jadi dalam menganalisis mengapa suatu masyarakat miskin, bagi mereka disebabkan karena “salah” masyarakat sendiri, yakni mereka malas, tidak memiliki jiwa kewiraswastaan, atau tidak memiliki budaya membangun, dan seterusnya.
Paradigma pendidikan liberal -yang sekarang tampaknya berlaku di Indonesia, memandang bahwa “man power development” adalah sesuatu yang diharapkan menjadi pemicu perubahan. Pendidikan dalam konteks ini tidak pernah mempertanyakan sistem dan struktur, bahkan menganggap sistem dan struktur yang ada adalah sudah baik dan benar, dan oleh sebab itu tidak perlu dipertanyakan. Tugas pendidikan adalah bagaimana membuat dan mengarahkan agar murid bisa masuk dan beradaptasi dengan sistem yang sudah baik dan benar tersebut.
Paradigma Kritis
Dalam perspektif kritis, urusan pendidikan adalah melakukan refleksi kritis ke arah transformasi sosial ekonomi. Implikasi terpenting dari paradigma pendidikan kritis ini adalah pada pendekatan dan metodologi pendidikan dan pengajaran. Memanut Knowles (1970) yang mengklasifikasikan menjadi dua bentuk pendekatan yang kontradiktif, yakni antara pedagogi dan andragogi, paradigma kritis memilih pendekatan andragogi yang menempatkan murid sebagai subyek pendidikan dan bukan sebaliknya.
Disadari atau tidak, pendidikan kita selama ini sangat pedagogis. Dalam pendekatan belajar menghajar ini, peserta didik sebagai murid yang “pasif”. Guru menggurui, murid digurui, guru -dan sekolah -memilihkan apa yang harus dipelajari, murid tunduk pada pilihan tersebut, guru mengevaluasi, murid dievaluasi dan seterusnya. Pendekatan belajar mengajar seperti ini menempatkan guru sebagai inti terpenting, sementara murid menjadi bagian pinggiran.
Melalui kebijakan merdeka belajar, Nadiem Makarim tampaknya ingin menerapkan pendekatan andragogi, yang dalam perspektif Knowles, murid atau peserta belajar diasumsikan memiliki kemampuan aktif untuk merencanakan arah, memilih bahan dan materi yang dianggap bermanfaat, memikirkan cara terbaik untuk belajar, menganalisis dan menyimpulkan serta mampu mengambil manfaat pendidikan. Dengan kata lain, merdeka belajar. Fungsi guru di sini adalah fasilitator, dan bukan menggurui.
Dalam konstruksi ini, relasi antara guru-murid bersifat “multicommunication”. Dengan paradigma merdeka belajar ini, peserta didik dimotivasi, diarahkan, dan dilatih (melalui dialog) bukan untuk menjadi “pintar” dalam perspektif nilai ujian (evaluasi) yang tinggi dengan soal-soal hapalan atau pilihan ganda, melainkan mampu mengidentifikasi dan mendeskripsikan (apa dan mengapa) hal-hal yang kecil dalam praktek kehidupan sosial ekonomi sehari-hari.
Baru lah pada tingkat selanjutnya, mereka dilatih untuk dapat menjawab pertanyaan bagaimana atau yang bersifat solutif. Mereka bukan dididik untuk menghapal atau belajar menjawab soal-soal ujian, melainkan untuk berfikir. Ini lah yang dimaksud oleh Paulo Freire (1986) sebagai pendidikan “hadap masalah”. Pendekatan proses belajar mengajar seperti ini pula yang digagas oleh seorang penganut aliran kritis Jurgen Habermas (Bottomore, 1984), “critical knowledge” atau “emancipatory knowledge”, yakni pendidikan yang membebaskan potensi manusia.
———– *** ————-

Rate this article!
Tags: