Mendongkrak Nilai Rapor

PendidikanLengkap sudah ke-tidak percaya-an terhadap proses pendidikan tingkat dasar dan menengah. Selain UN (Ujian Nasional) yang selalu bocor, walau sudah menggunakan sistem CBT (Computer Based Test, CBT). Kejujuran UN yang diharapkan belum terwujud. Selain itu, nilai rapor murid, khususnya tingkat SLTA,  juga “dikatrol.” Konon, nilai rapor mulai semester pertama (kelas X) sampai semester kelima, diduga digelembungkan.
Dugaan peng-gelembungan nilai rapor disinyalir oleh jajaran rektor PTN (perguruan tinggi negeri). Dalam forum rektor, ditemukan analisis hasil perbandingan antara mahasiswa. Yakni, mahasiswa eks jalur undangan (Sistem Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri, SNMPTN) dengan mahasiswa dari jalur tes umum (SBMPTN). Ternyata, mahasiswa jalur tes umum memiliki nilai Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) lebih tinggi.
Jalur undangan, menjadi tanggungjawab sekolah, agar muridnya dapat diterima di PTN, tanpa tes. Syaratnya, nilai rapor semester pertama sampai semester kelima memenuhi (di atas) persyaratan minimal masing-masing program studi pada PTN. Nilai rapor SLTA itulah yang konon, diduga digelembungkan secara sistemik dan terstruktur. Padahal, tidak mudah menggelembungkan nilai rapor sejak semester pertama. Guru (wali kelas) di SLTA, memiliki beban tanggungjawab berat dan kompleks.
Dugaan penggelembungan nilai rapor SLTA, bagai “aib” baru persis pada peringatan hari guru. Sebelumnya, “aib” yang masif telah ditudingkan kepada guru, berkaitan dengan nilai UN. Konon, terdapat guru (yang ditugasi oleh sekolah tingkat SMP dan MTs) untuk berburu bocoran UN. Guru dan sekolah berkepentingan meluluskan peserta didiknya sebagai simbol gengsi (keberhasilan). Kelulusan (100%) akan dijadikan alat propaganda untuk menjaring siswa baru pada tahun ajaran baru berikutnya.
Hasilnya, cespleng. Murid dengan kebiasaan indeks akademik rendah, bisa memperoleh nilai cukup tinggi dalam UN. Bisa memperoleh rata-rata 8,5 atau lebih. Sedangkan murid dengan indeks (kebiasaan) nilai akademik tinggi, memilih percaya diri dan tidak berburu boboran UN. Akibatnya, murid cerdas (dan bermoral baik) memperoleh nilai rata-rata dibawah 8,5. Dus, kalah bersaing dengan murid yang biasanya tidak pintar dan sableng pula.
Murid (alumni SMP dan MTs) dengan kategori tidak pintar dan sableng, memiliki kesempatan lebih besar berebut kursi di sekolah favorit. SMAN, MAN dan SMKN, kini sudah dipenuhi pula oleh murid dengan standar akademik (dan moralitas) rendah. Hal yang sama juga terjadi pada proses UN tingkat SD, yang selau bocor. Sehingga berburu boboran UN, bagai lingkaran setan yang meracuni altar kependidikan. Menyebabkan ke-tidak adil-an dan ke-tidak jujur-an (yang dikehendaki bersama).
Ke-tidak adil-an yang lain, lebih dirasakan oleh murid dan siswa dari golongan keluarga ekonomi bawah. Golongan ini (keluarga miskin) tidak mampu memberikan tambahan bimbel (bimbingan belajar). Ironis (dan anehnya), materi soal UN dirasa akrab oleh murid dengan tambahan bimbel. Terutama bimbel bertarif mahal. Sedangkan yang tidak turut bimbel, soal UN bagai ulasan kalimat dari “planet lain.” Lebih lagi sehari menjelang UN, tutor bimbel secara individual meng-utak-atik bocoran soal UN.
Namun pada sisi orangtua, terdapat pula pemahaman ketidak jujuran pada seleksi masuk PTN. Misalnya, ada pembedaan antara sekolah negeri favorit (eks standar internasional), dengan sekolah pinggiran. Dalam hal ini, sekolah favorit lebih diunggulkan, walau nilai rapor berselisih beberapa digit.
Ke-tidak adil-an lain masuk PTN, adalah jalur mandiri. Nominal sumbangan menjadi penentu. Ini, nyata-nyata menyimpangi UU Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003. Terutama pada pasal 4 ayat (1) “Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural … .”

                                                                                                                    ———   000   ———

Rate this article!
Mendongkrak Nilai Rapor,5 / 5 ( 1votes )
Tags: