Mendorong Gerakan Literasi Keuangan

wahyu kuncoro snOleh :
Wahyu Kuncoro SN
Wartawan Harian Bhirawa

Mulai tahun 2014 ini, kewenangan pengaturan dan pengawasan perbankan Indonesia tidak lagi di bawah Bank Indonesia (BI), tetapi berada di bawah Otoritas Jasa Keuangan (OJK).  Sesuai amanat Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, terhitung sejak 31 Desember 2013, maka tugas pengaturan dan pengawasan perbankan dialihkan dari BI kepada OJK.
Menurut UU ini, pengawasan terhadap individual bank (mikroprudensial) dilakukan oleh OJK. Namun, pengawasan terhadap makroprudential tetap dilakukan oleh BI, berkoordinasi dengan OJK. BI memindahkan fungsi pengawasan bank kepada OJK dalam kondisi perbankan yang sehat dengan aturan yang tepat. BI dan OJK akan senantiasa bekerja sama dan berkoordinasi sehingga akan diperoleh keseimbangan yang tepat, terkait bauran kebijakan antara makroprudensial dan mikroprudensial untuk menjaga stabilitas sistem keuangan.
Berkaitan dengan itu,  nasabah tidak perlu khawatir dengan proses pengalihan fungsi pengaturan dan pengawasan kepada OJK, karena proses bisnis di bank tetap berjalan sebagaimana mestinya. Melalui pengalihan fungsi pengaturan dan pengawasan bank kepada OJK maka fungsi pengawasan terhadap lembaga keuangan akan dilakukan secara lebih terintegrasi, agar mendukung kestabilan dan kekokohan sistem keuangan.
Mendorong Literasi Keuangan
Kekurangpahaman konsumen atau nasabah lembaga keuangan akan hak-haknya, kerap memunculkan kerugian bagi diri sendiri. Konsumen juga tidak tahu pasti kemana harus mengadukan permasalahan yang dihadapi. Kondisi seperti itu sesungguhnya harus menjadi perhatian khusus dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Caranya dengan jalan mengawasi perilaku lembaga-lembaga keuangan kepada nasabahnya serta melakukan edukasi kepada para nasabah itu sendiri.
Dalam UU tentang OJK diatur mengenai edukasi meningkatkan pengetahuan keuangan konsumen. Sesuai dengan yang diamanatkan dalam aturan tersebut, edukasi ini merupakan bagian pengembangan pengawasan. Jadi ketika berhadapan dengan lembaga-lembaga keuangan, apakah itu bank ataupun asuransi dan lain sebagainya, nasabah sudah mengetahui hak dan kewajiban. Dengan begitu, paling tidak bisa dikurangi kemungkinan kerugian yang diderita masyarakat di masa yang akan datang. Artinya, fungsi pengawasan yang dilakukan OJK pada satu sisi perlu didukung oleh sikap kritis masyarakat terhadap kinerja lembaga keuangan. Dalam konteks inilah, edukasi literasi keuangan kepada masyarakat menemukan relevansinya.
Langkah untuk melakukan program edukasi atau literasi keuangan kepada masyarakat tersebut tentu tidak bijaksana kalau hanya diembankan kepada OJK, tetapi juga harus didukung oleh semua Lembaga Jaminan Keuangan (LJK).
Dalam Peraturan OJK nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan  yang diberlakukan pada Agustus 2014 kemarin memerintahkan bahwa setiap lembaga keuangan harus membuat rencana bisnis tiap tahunnya dengan memasukkan rencana edukasi dan literasi keuangan.
Saat ini ada sekitar 2.600 lembaga keuangan sehingga kalau masing-masing memiliki satu program edukasi dan literasi keuangan, tentu akan sangat signifikan dampaknya bagi masyarakat. Apalagi bisa edukasi itu dilakukan pada kelompok masyarakat yang tepat seperti ibu rumah tangga dan kalangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Ibu rumah tangga merupakan pilar utama keluarga dalam pengelolaan keuangan. Sementara, kalangan UMKM perlu diedukasi karena jumlahnya sekitar 40-50 juta sehingga perlu diajari mengenai bagaimana mencari pinjaman yang murah dan agar tidak meminjam di lembaga ilegal.
Perbankan sebagai salah satu institusi keuangan yang paling populer di masyarakat, berperan penting dalam meningkatkan pemahaman terkait literasi keuangan. Saat ini perbankan dituntut untuk terus meningkatkan kapabilitas dan kompetensinya dengan meningkatnya pemahaman masyarakat terhadap literasi keuangan. Untuk menghadapi tantangan itu, bank perlu pandangan dari seluruh nasabahnya secara terpadu, meminimalisasi risiko, meningkatkan perencanaan dan kinerja bisnis. Masyarakat harus bersikap kritis terhadap lembaga keuangan guna mencegah penipuan yang merugikan konsumen.
Masyarakat utamanya konsumen diharapkan  jeli dan teliti untuk memeriksa lembaga keuangan di OJK sebelum melakukan transaksi. Selain itu, konsumen juga harus membaca dengan teliti isi kontrak sebelum menandatangani kontrak dengan lembaga keuangan. Jangan mudah percaya sama orang, apalagi ini kaitannya sama uang. Perhatikan isi kontrak mengenai bunga kredit dan adakah asuransinya dan sebagainya.
Dan yang penting lagi, pendidikan mengenai keuangan atau “literasi finansial” perlu dilakukan sejak dini untuk meningkatkan kesehatan ekonomi negara. Pendidikan sejak dini diperlukan, karena peningkatan literasi dan inklusi keuangan dapat mendorong perkembangan ekonomi, inklusi sosial, serta berkontribusi terhadap kesehatan ekonomi suatu Negara.  Oleh sebab itu, perlu kiranya diperkuat jalinan kerja sama dengan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan untuk memasukkan unsur pembelajaran keuangan di sekolah-sekolah.  Ingat, merujuk pada hasil survey yang dilakkukan oleh OJK, ternyata  lebih dari 75% masyarakat Indonesia belum memenuhi standar literasi finansial, oleh karena itu program ini secara jangka panjang akan dapat meningkatkan persentase masyarakat yang memahami sistem keuangan.
Mengawasi Kinerja OJK
Keberadaan OJK yang kini memegang fungsi pengawasan terhadap semua perusahaan jasa keuangan mulai dari perbankan, pasar modal, dana pensiun, asuransi, leasing, pegadaian, hingga layanan jasa keuangan nonperbankan ini tentu harus terus diawasi agar  benar-benar memberi manfaat bagi industri keuangan yang diawasinya. Publik pun ingin memastikan bahwa kehadiran OJK memberi manfaat bagi masyarakat luas dan berdampak positif terhadap perekonomian nasional.
Pertanyaan publik seputar manfaat OJK itu wajar, mengingat lembaga ini diberi kewenangan yang luas untuk mengatur dan mengawasi industri jasa keuangan. Selain mendapatkan pendanaan dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dan mulai tahun ini diberi kewenangan menarik iuran dari industri keuangan. OJK mengawasi total pengelolaan aset keuangan yang mencapai di atas Rp 11.000 triliun atau enam kali APBNP 2014 yang mencapai Rp 1.876 triliun.
Nilai aset yang diawasi OJK itu meliputi kapitalisasi saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) sebesar Rp 4.806 triliun atau sebesar 53 persen dari produk domestik bruto (PDB) per akhir 23 Juni 2014, dan kapitalisasi obligasi mencapai Rp 1.137 triliun atau 13 persen dari PDB per akhir November 2013. Tidak hanya itu, OJK juga mengawasi aset industri keuangan non-bank (IKNB) yang hingga semester I-2013 mencapai Rp 1.107 triliun, terdiri atas aset perusahaan asuransi Rp 610 triliun, aset perusahaan pembiayaan Rp 334 triliun, dan aset dana pensiun Rp 163 triliun. Sedangkan total aset industri perbankan yang diawasi mencapai Rp 5.500 triliun atau 67 persen dari PDB.
Mulai  tahun ini, OJK menarik pungutan dari industri yang diawasinya. Soal pungutan ini, muncul pertanyaan, apakah OJK mampu menjaga independensi terhadap lembaga yang diawasinya. OJK juga dituntut transparan mengingat lembaga ini menggunakan dana yang dipungut dari industri jasa keuangan. Alasannya, tidak semua emiten bergerak di industri keuangan, sehingga pungutan tersebut semestinya tidak dibebankan kepada emiten nonkeuangan.
Singkatnya, OJK memiliki kekuasaan sangat besar (superbody) seperti diatur dalam UU 21/2011. Kekuasaan yang amat besar itu memunculkan pertanyaan pentingnya lembaga independen yang dibentuk oleh Undang – Undang  untuk mengawasi penggunaan anggaran dan menilai kinerja OJK, selain pengawasan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Sebagai lembaga baru, OJK harus menunjukkan kemampuan menjalankan kewajibannya sesuai aturan yang berlaku dan bergerak secara independen dan transparan. Seiring berjalannya waktu, OJK harus membuktikan apakah bisa memberikan dampak positif bagi masyarakat dan ekonomi atau tidak. Di sisi lain, masyarakat dan pelaku usaha harus mau memberi kesempatan kepada OJK untuk bisa menunjukkan peranannya, meski ada beban iuran kepada pelaku industri jasa keuangan. Hanya dengan kesempatan itulah OJK bisa membuktikan diri dan sekaligus menepis keraguan masyarakat dan pelaku industri jasa keuangan.

                                                                                                 ————— *** —————–

Rate this article!
Tags: