Mendorong Implementasi Proactive Control BPOM

Wahyu KuncoroOleh :
Wahyu Kuncoro SN
Wartawan Harian Bhirawa3

Merujuk  data Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) menunjukkan hasil operasi terhadap obat-obatan dan makanan ilegal yang dilakukan BPOM sepanjang 2015 sungguh  mencengangkan. Jika dihitung secara nominal, nilai barang sitaan tersebut mencapai Rp 222 miliar, angka yang tidak sedikit.
Bahwa yang lebih penting untuk dicermati, bukan sekadar angka Rp222 miliar, tetapi kondisi riil penyelundupan makanan dan obat-obatan ilegal. Artinya, angka tersebut tidaklah mencerminkan kondisi riil perdagangan obat-obatan dan makanan ilegal di Indonesia. Barang yang berhasil disita itu hanyalah puncak dari fenomena gunung es bisnis ilegal tersebut. Obat-obatan maupun makanan ilegal yang beredar di pasar dan tidak tersita, jumlahnya diyakini jauh lebih banyak.
Bayang-bayang ancaman masuknya obat dan makanan ilegal ke Indonesia kian mencemaskan seiring dengan berlakunya entitas ekonomi bernama Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) tahun 2016 ini. Perdagangan bebas berimbas pada menipisnya entry barrier, hilangnya hambatan non tarif di negera tujuan ekspor, dan tentu saja meningkatkan kompetensi produk obat dan makanan di pasaran ASEAN. Kondisi ini  membuka peluang beredarnya obat ilegal (tanpa izin edar, palsu, dan substandar) dan makanan mengandung bahan berbahaya. Hilangnya sekat ekonomi antarnegara anggota ASEAN telah melahirkan modus-modus baru penyelundupan barang ilegal tersebut
Masuknya produk-produk ilegal tersebut bukan semata-mata merugikan negara dari sisi pendapatan. Barang-barang ilegal yang masuk itu juga sulit dijamin keamanannya untuk dikonsumsi masyarakat. Kalau saja makanan dan obat-obatan ilegal itu ternyata berbahaya, masyarakat yang menjadi konsumennya bakal menjadi korban. Asing tertarik dengan Indonesia karena pasar farmasi di dalam negeri sangat menjanjikan. Data BPOM 2014 menunjukkan, jumlah perusahaan farmasi di Indonesia mencapai 217 perusahaan. Dari jumlah itu, 34 di antaranya perusahaan multinasional. Pada September 2015, pasar farmasi di Indonesia bernilai sekitar 60 triliun rupiah. Rata-rata penjualan obat di tingkat nasional selalu tumbuh 14 persen setiap tahun dan sekitar 75 persen total pasar obat di Indonesia didominasi perusahaan nasional. Untuk itu,  Badan POM harus mampu mengelola dan mengadaptasi perubahan dan tantangan guna memperkuat dan mengefektifkan sistem pengawasan obat dan makanan di Indonesia.
Pengawasan yang ketat ini sangat diperlukan sebagai penyeimbang dari dilepaskannya sekat-sekat ekonomi di antara negara anggota ASEAN. Kerja sama  BPOM dengan aparat penegak hukum seperti Bea Cukai, Kepolisian dan TNI untuk memonitor terus masuknya produk-produk tak resmi itu menjadi salah satu langkah yang perlu terus dilakukan. Kerja sama ini harus bisa benar-benar diaplikasikan di lapangan. Lewat kerja sama itu, proses pengawasan terhadap setiap produk makanan dan obat-obatan harus berjalan semakin ketat.
Paradigma Baru Pengawasan
Sejak 2015, Badan Pengawas Obat dan Makanan (POM) telah menerapkan perubahan paradigm sistem pengawasan barang (obat, makanan, dan kosmetik) dari watchdog control menjadi proactive control. Perubahan paradigma tersebut penting untuk meningkatkan kinerja pengawasan terhadap peredaran barang secara nasional, maupun dalam hubungan regional dan internasional, terutama di era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang mulai berlaku pada 31 Desember 2015 .
Paradigma baru pengawasan yakni  proactive control  ini  setidaknya bisa diterjemahkan dalam tiga langkah yaitu :
Pertama, mendorong peningkatan pemahaman atas risiko terkait dengan konsumsi, produksi dan distribusi obat dan makanan. Artinya, kesadaran akan risiko ketika memproduksi, mendistribusi dan mengonsumsi barang yang ilegal harus terus dibanguan di dalam masyarakat.  Bila kesadaran akan risiko itu terbangun di tengah masyarakat, maka akan ada sikap resistensi di dalam masyarakat terhdapa produk yang ilegal.
Kedua, BPOM sesungguhnya bukan sekadar mengawasi produk yang beredar di masyarakat, tetapi BPOM juga harus melakukan langkah preventif dengan  meningkatkan pembinaan dan bimbingan dalam rangka mendorong kemandirian pelaku usaha agar bisa  memberikan jaminan keamanan dan daya saing produk Obat dan Makanan.
Ketiga, meningkatkan kemitraan dengan lintas sektor dan pelaku usaha, serta peningkatan partisipasi publik. Apabila ditinjau dari fungsi utama Badan POM dalam mengawasi Obat dan Makanan, maka secara proaktif Badan POM harus berkoordinasi dengan Kementerian/Lembaga dan Lintas sektor terkait pada operasi gabungan daerah dan operasi gabungan nasional.
Perubahan paradigma pengawasan BPOM semakin menemukan relevansinya dengan melihat bahwa Indonesia juga memiliki industri obat tradisional dengan pangsa pasar yang cukup besar. Saat ini terdapat sekitar 87 Industri Obat Tradisional (IOT) dan 1148 industri kecil obat tradisional, termasuk di dalamnya Usaha Menengah Obat Tradisional (UMOT) dan Usaha Kecil Obat Tradisional (UKOT). Namun, ironisnya baru 61 IOT yang mendapat sertifikat Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB) yang terdiri dari 34 industri berdasarkan CPOTB 2005 dan 27 industri berdasarkan CPOTB 2011. Artinya, kalau peran BPOM lebih diarahkan bagaimana memberdayakan potensi pelaku usaha dalam negeri agar lebih mandiri dan berdaya saing, maka berlakunya era MEA jelas akan menjadi potensi besara agar pelaku usaha obat dan makanan di tanah air bisa berkibar.
Singkatnya, bahwa meski memiliki efek samping berupa kerawanan akan beredarnya obat dan makanan ilegal, MEA sebenarnya juga memberikan peluang yang besar bagi Indonesia untuk menggarap pasar ASEAN. Karena itu, industri makanan dan obat-obatan lokal juga harus dikuatkan supaya pasar dalam negeri maupun pasar ASEAN bisa digarap lebih baik. Kuatnya produk lokal dalam menggarap pasar akan menjadi senjata penangkal bagi masuknya produk-produk ilegal.
Memperkuat Regulasi Pengawasan
Keberhasilan pengawasan obat dan makanan sesungguhnya juga ditentukan oleh dukungan dan sinergi dengan instansi atau pemangku kepentingan lain. Lantaran itu, Badan Pengawas Obat dan Makanan harus memperjelas dan mempertegas format kerja sama dengan lembaga seperti Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kementerian Perdagangan, dan kampus. Kerjasama dengan kepolisian, diharapkan pengawasan dan penyidikan tindak pidana di bidang obat dan makanan bisa lebih optimal. Kerja sama dengan Kemendag dilakukan untuk meningkatkan daya saing produk, pengawasan, pembinaan, serta perlindungan konsumen. Sementara pelibatan kampus dalam hal pendidikan, pelatihan, dan pengabdian masyarakat. Di tingkat daerah, 16 Balai Besar POM dan Balai POM juga harus didorong untuk menjalin kerja sama dengan pemerintahan daerah setempat sebagai upaya mengoptimalkan pengawasan obat dan makanan untuk mewujudkan obat dan makanan yang aman dan bermutu bagi masyarakat di daerah.
Indonesia sesungguhnya sudah memiliki Undang-Undang (UU) tentang Perlindungan Konsumen, UU tentang Pangan, dan sejumlah peraturan lain. Namun, itu saja tidak cukup. Pemerintah harus menjamin semua produk yang beredar di pasar dapat dikonsumsi masyarakat dengan aman dan bebas dari bahan berbahaya. Harus disadari, sampai hari ini BPOM belum dapat mengoptimalkan fungsi pengawasan karena kewenangan bersifat delegatif.
Oleh karena itu,  RUU Pengawasan Makanan dan Obat yang sedang dipersiapkan di legislatif harapannya secepat mungkin bisa menjadi Undang Undang, agar BPOM lebih memiliki keleluasan gerak dan kewenangan dalam menjamin produk obat dan makanan yang beredar di tanah air tidak membahayakan masyarakat.

                                                                                                                 ————- *** ————–

Tags: