Mendorong UKM Jatim Tembus Pasar Ekspor (2 – habis)

Produk unggulan UKM Jatim kini mulai mendapat tempat di pasar global salah satunya batik. Itu menunjukkan upaya pemerintah berhasil kembangan produk UKM.

(Communal Branding, Strategi Melepas UKM dari Jeratan Keterpurukan)

Salah satu kabupaten di pesisir selatan Jawa Timur ini dianggap daerah yang tertinggal. Tetapi itu dulu. Kini, pelan namun pasti, Kabupaten Trenggalek di bawah kepemimpinan Bupati Emil Elistianto Dardak, menggeliat menyusul bahkan menyalip daerah lainnya. Lantas bagaimana ceritanya, Emil Elistianto Dardak  menciptakan peluang ekspor bagi usaha kecil menengah (UKM)?

Zainal Ibad, Harian Bhirawa

Pasca dilantik menjadi bupati pada 17 Februari 2016 oleh Gubernur Jatim Dr H Soekarwo, Emil bersama wakilnya Muhammmad Nur Arifin menyusun langkah-langkah strategis. Utamanya memperbaiki performance UKM yang dapat diibaratkan hidup segan mati pun tak mau. Dengan bahasa lain, kondisi UKM di Trenggalek ala kadarnya, jikapun berkembang hanya untuk kebutuhan lokal. Sementara UKM yang mampu ekspor bisa dihitung jari.
Contoh UKM yang kembang kempis kala itu adalah batik. Sejak ditetapkan UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization) sebagai warisan budaya dunia pada 2009, batik menjadi begitu populer. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun menetapkan 2 Oktober sebagai Hari Batik. Bak gayung bersambut, masyarakat berbondong-bondong mengapresiasi dengan memakai batik di segala kesempatan.
Begitupun dengan Jatim. Perkembangan batik melesat menandingi Jogjakarta ataupun Jawa Tengah yang lebih dulu terkenal dengan batiknya. Kabupaten/kota pun berlomba-lomba menciptakan desain khas daerahnya masing-masing. Namun seolah menjadi penonton, batik Trenggalek pun tenggelam dalam geliat perkembangan batik di Jatim.
Mengandalkan pameran sebagai pemasaran dan tidak adanya merek khas, menambah keterpurukan batik Trenggalek. “Jangankan bersaing dengan batik yang mereknya sudah terkenal seperti Danar Hadi, Parang Kencana, Batik Keris atau Batik Semar, bersaing dengan batik lokal Jatim Trenggalek sudah kalah,” kata Emil, saat ditemui Bhirawa di Pendopo Kabupaten Trenggalek, Sabtu (9/92017).
Tak ingin batik Trenggalek mati suri, Emil pun membuat gebrakan dengan menciptakan communal branding atau merek bersama. Dengan merek bersama inilah semua perajin batik di Trenggalek bisa menggunakan satu merek yang telah dipilih, tanpa harus membayar royalti.
“Awalnya, batik Trenggalek bernama Batik Arumi. Istri saya (Arumi Bachsin, red) sempat tidak setuju, takutnya kalau tidak laku. Tapi ternyata teman-teman DPRD Kabupaten Trenggalek memprotes pemkab, karena tidak bisa memenuhi permintaan. Itu artinya Batik Arumi laku keras,” ujar Bupati 33 tahun tersebut.
Tak puas hanya dengan merek Batik Arumi, Emil lantas menciptakan merek bersama lagi dengan brand Batik Terang Galih. Merek ini diambil dari nama Trenggalek yang berarti Terang Ing Galih atau dalam bahasa Indonesia artinya ‘Terang di Hati’.
Ingin Batik Terang Galih tak hanya besar di rumah sendiri, Emil lantas menjalin kerjasama dengan Sarinah Department Store Jakarta. Di sini Batik Terang Galih khas Trenggalek bisa berdiri sejajar dengan merek batik ternama di Indonensia. “Communal branding ini sangat bermanfaat bagi perajin batik Trenggalek. Sekarang batik Trenggalek sudah mendapat tempat di hati masyarakat. Corak dan modelnya juga tak kalah dengan Batik Danar Hadi, Batik Keris dan Parang Kencana,” katanya.
Bagi Emil, communal branding adalah langkah cepat dan jitu keluar dari jeratan keterpurukan pengembangan produk unggulan daerah. Sebab jika suatu brand berjalan sendiri-sendiri akan terasa berat dalam membangun dan mempertahankan brand tersebut. Bagi perusahaan besar dengan sumber daya besar, mungkin jalan sendirian tidak jadi masalah. Namun bagi produk-produk UKM, perlu ada dukungan dari pemerintah dengan menjadikannya komunitas untuk bersatu, membangun ikatan emosi dan saling membantu.
“Banyak manfaat menggunakan konsep communal branding. Dengan konsep ini bisa menghindari klaim sepihak atas produk-produk yang dihasilkan. Apalagi sekarang Indonesia sudah memasuki pasar bebas ASEAN,” katanya.
Tak hanya membuat communal branding bagi batik, Emil juga menciptakan communal branding produk unggulan lainnya. Produk yang dilirik adalah kakao dan kopi. Dengan memasarkan cokelat dan kopi, Emil ingin menciptakan citra Trenggalek bukan lagi daerah miskin dan pinggiran.
“Selama ini Trenggalek terkenal dengan makanan gapleknya. Gaplek baik, tapi sudah terlanjur terstigma makanan rakyat kelas bawah. Kami ingin mengubah itu. Kami ingin menciptakan citra baru. Produk yang kami pilih adalah cokelat dan kopi. Kenapa ?, karena sebenarnya Trenggalek mempunyai produk yang melimpah di dua komiditas itu,” ungkapnya.
Di Trenggalek, pengembangan kebun kakao telah dilakukan sejak 25 tahun yang lalu. Saat ini luas kebun kakao telah mencapai 4.300 hektare. Sementara produksi biji kakao kering sebanyak 820 ton, dimana rata-rata 2,5 ton per hari.
“Trenggalek kini telah mempunyai Rumah Cokelat. Ketika ada orang bertanya kenapa harus ke Trenggalek, jawabannya adalah ingin minum cokelat panas dan kopi khas Trenggalek di atas pegunungan. Kami ingin memadukan produk unggulan kami dengan potensi wisata yang ada. Trenggalek punya obyek wisata banyak dan eksotis. Citra itu yang ingin kami bangun,” tandasnya.
Banyak Kendala Eskpor
Selain Trenggalek, Jatim mempunyai UKM unggulan lainnya yang tersebar di 38 kabupaten/kota. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jatim, pada 2013 jumlah usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) mencapai 6,8 juta. Dengan rincian 85,09 persen usaha mikro, 14,19 persen usaha kecil dan 0,57 persen usaha menengah. Sementara komposisi di sektor pertanian 60,25 persen, dengan jumlah unit usahanya 4.112.443. Sedangkan sektor non pertanian 39,75 persen dengan unit usaha 2.713.488.
Sektor UMKM ini memiliki pola usaha yang bersifat unik. Yakni lebih banyak dikerjakan dalam lingkup sektor informal. Pada umumnya menggunakan pendanaan dari kemampuan sendiri dan tidak menggunakan dana dari bank, walaupun sebetulnya memenuhi kriteria layak (feasible) dan bankable. Selain faktor kemandirian pendanaan tersebut, UMKM juga memiliki ketahanan terhadap guncangan ekonomi atau krisis.
Kepala Dinas Koperasi dan UKM Provinsi Jatim, Dr Mas Purnomo Hadi MM menuturkan, kontribusi UMKM terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Jatim mencapai Rp1.020 triliun atau 54,98 persen dan mampu menyerap 98 persen tenaga kerja. Oleh karena itu, UMKM memiliki peran strategis dalam meningkatkan perekonomian Jatim dan nasional. Sebab perekonomian Jatim menopang lebih dari 15 perekonomian nasional, terbesar kedua setelah DKI Jakarta.
Namun, meski jumlah UMKM mencapai 6,8 juta, baru 3.476 UMKM yang mampu menembus pasar ekspor. Jumlah tersebut cenderung melambat dalam pertumbuhannya akibat belum mampu lepas dari jeratan sejumlah kendala. Sedangkan yang dalam masa merintis ekspor ada sekitar 70.000 UMKM.
“Masalah kemasan dan merek menjadi hal yang sangat penting dalam ekspor. Sebut saja makanan rempeyek kalau dibungkus plastik tanpa merek dan keterangan komposisi tetap laku di pasar dalam negeri. Tapi kalau sudah ekspor tidak akan laku, karena konsumen butuh jaminan dan kualitas,” katanya.
Selain masalah kemasan dan merek, lanjut Purnomo, kendala yang selama ini dialami UMKM adalah masalah permodalan dan pemasaran. Namun masalah itu sedikit terurai setelah Pemprov Jatim menyiapkan skema pembiayaan dengan menyiapkan dana Rp400 miliar, melalui skema loan agreement dengan Bank Jatim.
“Skema yang disiapkan pemerintah ini akan membantu para UMKM dalam hal pembiayaan atau modal dengan bunga rendah maksimal 9 persen. Kami di Dinkop dan UKM sebagai penyambung dan penjamin agar bank mau menyalurkan kreditnya kepada UMKM yang berpotensi,” tandasnya.
Berikan Kemudahan
Untuk mendorong UMKM mampu menempus pasar ekspor, pemerintah juga memberikan banyak kemudahan. Diantaranya membebaskan dokumen bea dan cukai bagi barang di bawah 100 kilogram. Diharapkan dengan kemudahaan ini UMKM antusias menjual barangnya ke luar negeri.
“Sebenarnya ekspor ini kegiatan yang sangat simpel dan sederhana, kecuali barang yang dilarang. Tapi para pelaku UMKM masih buta dengan prosedur sehingga perlu dijemput,” kata Kepala Seksi Informasi Kepabeanan dan Cukai Kantor Wilayah Jatim I, Firman Akbar.
Setiap Kantor Bea Cukai, kata Firman, ada unit yang menjelaskan mengenai barang yang dilarang. Seperti mineral logam yang belum diolah, kayu bulat, kayu log atau mentahan, rotan asalan, barang purbakala, binatang khusus, hasil laut kemudian benih ikan sidat dan arwana. Sementara untuk lainnya, sangat mudah dan tidak perlu dokumen.
Kepala Subdirektorat Produk Tekstil dan Aneka, Ekspor Produk Industri dan Pertambangan, Dirjen Kementerian Perdagangan Luar Nageri, Albertus Simbolon mengakui, barang yang dihasilkan UMKM memiliki kualitas produk yang bagus. Namun, perlu dijemput karena sebagian belum menguasai teknologi yang mempermudah untuk ekspor ke luar negeri.
Albertus mengatakan, potensi UMKM sangat besar dan sebagian sudah diterima pembeli luar negeri. Sehingga perlu ditingkatkan, khususnya di bagian pengemasan dan proses perizinan. “Secara umum, jumlah ekspor tahun ini miningkat karena pengetahuan pelaku UMKM sudah cukup baik,” ungkapnya.
Berdasarkan data terbaru, nilai Ekspor Jatim pada Agustus 2017 mencapai USD 1.947,49 juta, atau naik 23,59 persen dibanding ekspor Juli 2017 yang mencapai USD 1.575,73 juta. Secara kumulatif, nilai ekspor Januari sampai Agustus 2017 mencapai USD 12.880,32 juta atau turun 0,04 persen dibanding ekspor periode yang sama pada 2016 yang mencapai USD 12.885,78 juta.
Ekspor non migas Jatim didominasi perhiasan/permata dengan nilai USD 419,43 juta atau naik 119,66 persen dibandingkan Juli yang hanya USD 190,95 juta. Kenaikan ekspor perhiasan/permata Jatim cukup besar dibandingkan ekspor komoditi lainnya.
Kepala BPS Jatim, Teguh Pramono mengatakan, ekspor perhiasan permata masih menjadi andalan Jatim, karena kualitas cukup bagus, modelnya terbaru dan harganya cukup murah. “Ekspor perhiasan Jatim terbesar adalah kenegara-negara Eropa seperti Swiss dan sekitarnya, Jepang, Amerika Serikat dan Singapura,” katanya.
Ketua Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Provinsi Jatim, Dra Hj Nina Soekarwo MSi berkomitmen untuk meningkatkan inovasi perajin UMKM. Caranya dengan mengasah keterampilan sumber daya manusia, kapasitas teknologi dan proses produksi, ketersediaan bahan baku dan bahan pendukung.
Langkah lain untuk mendukung pengembangan UMKM adalah dengan mengajukan, dan mendaftarkan hak paten produk-produk kerajinan asli buatan Jatim secara gratis. “Salah satu kelemahan pelaku UMKM adalah tidak peduli dengan hak paten. Makanya kita bantu daftarkan secara gratis. Ini merupakan bentuk perhatian kami agar UMKM Jatim tetap eksis dan terus berkembang,” pungkasnya.

                                                                                                            ———– *** ————

Tags: