Menebalkan Karakter Perlu Pembiasaan

Ichwan Sumadi

Ichwan Sumadi
Penguatan karakter sesungguhnya bukan barang baru di dunia pendidikan. Berpuluh-puluh tahun yang lalu, sekolah dituntut mampu membangun karakter anak melalui budi pakerti. Namun, penguatan karakter justru menjadi ramai ketika pemerintah ingin menegaskannya dalam aturan formal yang baku.
Seorang Ichwan Sumadi adalah guru yang telah menghadapi proses belajar mengajar di sekolah sejak 1967. Waktu itu dia adalah guru sekolah dasar di Kabupaten Trenggalek. Setiap kali ada kenaikan kelas, di situ ada kesempatan bagi guru mengevaluasi sikap anak.
“Dalam rapor itu ada penilaian budi pakerti yang sebenarnya juga penilaian karakter. Ada baik, sedang dan kurang. Kalau nilainya bagus tapi budi pakertinya kurang, ya tidak naik kelas,” tutur Ichwan yang kini menjabat sebagai Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Jatim.
Dalam menebalkan karakter anak, guru adalah sosok paling penting. Butuh pembiasaan yang dilakukan berulang selama di sekolah. Misalnya tentang ketaatan beribadah. Anak jangan hanya diperintah salat dengan dasar dalil-dalil. Tetapi lebih tepat jika anak diajak salat di sekolah. Sehingga guru menjadi contoh bagi anak.
“Pagi hari anak diajak salat duha itu butuh cuma berapa menit sih. Kalau yang Nasrani juga begitu, diajak mereka membaca kitab sucinya,” tutur Ichwan.
Selain pembiasaan, mantan Anggota DPRD Surabaya itu menjelaskan, penanaman karakter juga perlu cara yang tepat bagi guru dalam proses belajar mengajar. Salah satunya mengajak siswa berpikir kritis untuk memecahkan masalah atau menemukan jawabannya sendiri terhadap soal. Hal itu dibutuhkan simulai untuk pembuktian realitas. Dengan kata lain, guru harus punya alat bantu.
“Alat bantu bisa beli, bisa juga buat sendiri. Hal-hal sederhana bisa dilakukan,” kata dia. Misalnya dalam pembuktian berat udara. Bagaimana siswa akan membayangkan soal itu tanpa simulasi. “Jadi waktu saya mengajar gunakan balon udara yang kosong dan sudah ditiup udara. Setelah dibuktikan, hasilnya biar disimpulkan sendiri oleh siswa. Itu justru akan menancap pada ingatan siswa,” tutur Ichwan.
Hanya saja, perhatian dunia pendidikan terhadap karakter anak seiring waktu agaknya mulai berkurang. Sekolah menjadi tempat hanya untuk menempa kognisi anak. Sementara tantangan nasionalisme semakin kuat. Karena itu usaha untuk menebalkan karakter dan rasa cinta tanah air kini mulai dikuatkan lagi. “Tapi akhirnya usaha itu justru ramai oleh perbedaan pandangan antar organisasi masyarakat,” tutur Ichwan.
Ichwan menuturkan, penguatan pendidikan karakter yang semula diatur dalam Permendikbud 23 tahun 2017 tentang hari sekolah dan kini disempurnakan dalam Perpres  87 tahun 2017 itu bertujuan baik. Yaitu memberi tambahan waktu bagi anak untuk menebalkan karakternya pada saat jeda waktu antara anak pulang sekolah dan orang tua pulang kerja. “Kalau sekolah itu lima hari, Sabtu pada saat orangtua libur anak juga libur dan bisa berkumpul dengan orangtuanya,” tutur dosen di Universitas PGRI Adibuana itu. [tam]

Rate this article!
Tags: