Menebar Kerusakan, Memanen Bencana

Wahyu Kuncoro SNHidup di Negeri Rawan Bencana (2 – Habis)

Oleh :
Wahyu Kuncoro SN
Alumnus Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) ; Peneliti senior Public Sphere Center (Puspec), Surabaya

Iklim tropis basah yang seharusnya adalah anugerah bagi Indonesia berubah menjadi ancaman bencana karena kita abai terhadap alam. Bulan September ini, adalah bulan pertama di musim Hujan yang normalnya berlangsung September – April, namun toh banjir sudah terlebih dahulu melanda di beberapa wilayah termasuk di Ibukota Jakarta beberapa waktu lalu. Bencana banjir tak lagi menganut musim lagi.
Sebelumnya, saat musim kemarau, negeri ini juga dipermalukan dengan bencana asap. Hutan yang lebat yang awalnya menjadi sumber penghidupan tiba-tiba menjadi sumber penderitaan dengan gugusan asap yang membuat sesak warga sekitarnya.  Kebakaran hutan yang menyebarkan asap ke berbagai arah angin, bukan saja kita dibuat gagap saat menangani bencana berikut korban asap, kita juga dibuat kalang kabut karena bencana asap juga mengganggu warga Negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia.
Terus terjadinya bencana banjir dan kebakaran hutan, menjadi ironi bagi bangsa Indonesia yang mendapat anugerah iklim tropis basah. Iklim tropis basah tersebut memberi Indonesia hutan hujan tropis yang paling kaya dan beragam jenis fauna dan floranya di dunia. Alam telah membayar tunai sikap sebagian masyarakat dan pemimpin yang terus abai terhadap lingkungan dan tidak pandai menghargai apa yang kita miliki.
Kerusakan hutan yang sudah lama terjadi, akhirnya kini saatnya memanen bencana. Bila kerusakan tidak bisa dihentikan atau setidaknya dikurangi intensitasnya, maka bukan lagi cerita indah tentang kekayaan hutan tropis yang bisa dinikmati anak cucu kita, tetapi warisan bencanalah yang akan diterima generasi penerus kita.
Hidup Harmoni Bersama Alam
Sejak tahun 2000-an, para aktivis dan pecinta lingkungan hidup sesungguhnya telah mewanti-wanti kemungkinan bencana yang terjadi karena perusakan lingkungan hidup oleh manusia. Ketika itu, mulai terlihat kecenderungan perusakan lingkungan, khususnya pembabatan hutan secara masif, terutama untuk lahan perkebunan dan pencurian kayu. Memang, gerakan untuk penanaman kembali atau reboisasi sesungguhnya juga sudah lama dikampanyekan. Sayangnya, laju kerusakan hutan akibat ulah manusia ternyata jauh lebih cepat ketimbang pemulihannya. Artinya, peringatan demi peringatan tentang acaman perusakan lingkungan tersebut tak sepenuhnya digubris.
Kita, sebagai makhluk yang dikaruniai akal dan pikiran untuk dapat membedakan mana yang salah dan mana yang benar, ternyata telah dibutakan keserakahan dan keegoisan yang telah menutup mata hati kita. Seakan terlupa bahwa bumi ini adalah warisan yang kelak akan dimiliki oleh anak cucu kita. Seakan terlupa bahwa setelah kita tiada, masih akan ada generasi penerus yang kelak akan menempati bumi ini juga, berbagai macam cara dilakukan untuk mengeruk dan menguras habis segala isi di bumi ini. Betapa alam telah semakin gersang sebagai akibat pembabatan hutan yang tak mengenal batasan, dengan berbagai macam alasan yang cukup klise untuk kita dengarkan.
Perusakan alam semakin tak terkendali. Akibatnya, ketika musim hujan tiba, air hujan yang jatuh di daerah hulu tak bisa lagi ditahan oleh akar-akar pohon agar meresap ke tanah dan langsung meluncur ke dataran rendah. Banjir pun kerap terjadi dan semakin parah. Sementara ketika musim kemarau, kebakaran lahan dan hutan begitu mudah terjadi, terus  berlanjut dan meluas tiada henti. Kabut asap kemana – mana, sesuai hembusan angin.
Setiap tahun persoalan kebakaran hutan dengan kabut asapnya ini terus melanda kawasan Indonesia. Penanganannya pun tiada henti. Namun ironisnya, persoalan asap seolah semakin sulit sekali dihentikan. Sulitnya menghentikan bencana asap ini lantas memantik munculnya  pertanyaan, apakah karena musim kemarau atau pengaruh badai El Nino, atau penanganan yang tak serius?, ataukah  ada faktor – faktor kepentingan yang bersifat politis.
Muncul dugaan ada aktor dibalik bencana asap tersebut karena kebakaran lahan dan hutan seolah bersifat masif dan sistematis. Masif karena terjadi di mana – mana dan sistematis karena  peristiwanya beruntun dari Sumatera hingga Papua. Apalagi, lahan yang terbakar sebagian besar adalah perkebunan kelapa sawit dan hutan produksi. Namun kita tentu tidak boleh hanya sibuk mencari kambing hitam atas persoalan tersebut. Langkah-langkah jelas dan tegas harus dilakukan untuk mengusut kasus tersebut. Di atas itu semua, bencana asap yang terbukti berdampak luas itu sangat membahayakan kesehatan masyarakat. Bukan itu saja, akibat asap  aktivitas penerbangan lumpuh, perputaran perekonomian pun menjadi terganggu.
Lantaran itu, wajar dan sudah menjadi kewajiban pemerintah mengambil tindakan tegas tanpa pandang bulu terhadap stakeholder pemilik perusahaan terkait kawasan hutan. Jika perlu orang – orang yang melindungi atau yang memback up perusahaan tersebut dibawa ke ranah hokum. Selain penegakan hukum (law enforcement), pemerintah juga hendaknya memberikan kompensasi kepada masyarakat yang terkena langsung dampak kebakaran hutan. Kompensasi bisa berupa pelayanan kesehatan,  penyantunan terhadap korban asap yang meninggal dunia, hingga mengalokasikan anggaran kepada setiap instansi terkait termasuk pemerintah kabupaten/kota.
Sinkronisasi Kebijakan
Pemahaman tentang pentingnya hidup harmonis bersama alam tidak dapat diselesaikan hanya oleh satu instansi pemerintah, lembaga, atau organisasi masyarakat. Pemahaman ini harus ditanamkan sejak dini melalui pendidikan di sekolah dan rumah. Pemahaman juga harus terus konsisten diberikan kepada masyarakat luas. Pencegahan bencana alam tidak bisa dilepaskan dari kondisi ekonomi masyarakat, terutama masyarakat sekitar hutan. Pun tak dapat dilepaskan dari penegakan hukum karena pelanggaran terhadap rencana tata ruang dan wilayah (RTRW) dilakukan juga oleh pejabat pemerintah.
Kita bersama tidak dapat bersikap acuh tak acuh terhadap bencana alam hanya karena bukan kita atau keluarga kita menjadi korban. Lingkungan adalah sistem yang saling berhubungan.
Bencana alam, terjadi dimana-mana. Kegagalan dalam menjaga lingkungan terletak di dua tatanan. Pertama di tatanan kebijakan, yang melibatkan peran pemerintah dan penegak hukum, Kedua, di tatatan masyarakat. Pada tatanan kebijakan, Kementerian Lingkungan Hidup mengakui banyaknya izin pertambangan yang tumpang tindih di daerah. Sinkronisasi lintas sektor tak berjalan sebagaimana mestinya. Penerbitan kebijakan pengelolaan sumber daya alam di tingkat lokal seringkali sarat korupsi, dan saling berbenturan dengan kebijakan pemerintah pusat.
Sementara di tatanan masyarakat; warga masih kurang memberikan tekanan terhadap pemangku kebijakan. Pihak swasta  kebanyakan hanya mengutamakan keuntungan, tanpa peduli pentinganya proses keberlanjutan. Jika tak ingin bumi semakin hancur, sudah saatnya kita berbenah.
Pembangunan harus dibarengi dengan upaya keberlanjutan. Misalnya, lewat penanaman pohon. Penanganan sampah harus menjadi perhatian. Jangan lagi membuat pesisir dan sungai menjadi tempat pembuangan sampah. Pemerintah harus melibatkan partisipasi masyarakat dalam pembuatan kebijakan. Kebijakan pusat dan daerah tak boleh tumpang tindih. Sinkronisasi lintas sektor, harus dicermati. Sementara, penegak hukum yang lalai dan korup, harus diberi sanksi.
Bagi Indonesia dan negara berkembang lainnya, dampak perubahan iklim sungguh semakin berat karena kemampuan adaptasi belum sepenuhnya disiapkan dengan baik. Pada hal yang paling mendasar, seperti data dan informasi saja, masih belum mampu terdistribusikan ke masyarakat.
Berbagai upaya antisipasi penanggulangan bencana; baik tindakan preventif, mitigasi maupun kesiapsiagaan masih belum menjadi prioritas utama. Paling tidak, kita dapat melihatnya dari ketersediaan anggaran negara, baik di nasional maupun daerah masih jauh di bawah terget ideal yang didorong oleh PBB, sebesar 30 % total dana APBN/APBD. Terlepas dari masih minimnya anggaran yang disiapkan untuk mengantisipasi bencana, membangun kesiapsiagaan terhadap bencana  tidak boleh surut. Semua pihak, mulai dari pemerintah berikut jajarannya, kalangan swasta hingga masyarakat luas harus menyadari bahwa semua bisa berkontribusi untuk mencegah bencana atau justru menjadikan bencana semakin parah. (habis)
Wallahu’alam Bhis-shawwab

                                                                                                                 ———- *** ———–

Rate this article!
Tags: