Menegakkan Kedaulatan Rupiah di Negeri Sendiri

Wahyu Kuncoro SNOleh :
Wahyu Kuncoro SN
Wartawan Harian Bhirawa

Ketika Mahkamah Internasional memutuskan Pulau Ligitan dan Sipadan lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), salah satu faktor penyebabnya adalah karena hilangnya kedaulatan rupiah di kedua pulau tersebut. Survei yang dilakukan  Mahkamah Internasional sebelum menjatuhkan putusan, menemukan fakta bahwa transaksi keuangan di Ligitan dan Sipadan tidak menggunakan rupiah, melainkan ringgit. Pengalaman pahit ini bila tidak segera disadari, maka tidak perlu meratap lagi kalau pada akhirnya satu per satu pulau-pulau terluar dinegeri itu akan lepas dari NKRI.
Bisa saja ada yang berdalih, kalau pulau – pulau tersebut berada jauh dari pusat kekuasaan di Jakarta, sehingga dominasi Ringgit tidak disadari dan dikontrol oleh pemerintah. Tetapi, pertanyaannya kemudian bagaimana dengan realitas dominasi mata uang dollar AS yang terus digunakan sebagai alat transaksi di pusat-pusat kota bahkan di pusat kekuasaan? Kita tentu sangat tidak mengharapkan negeri ini juga akan ikut tergadaikan kedaulatannya gara-gara kedaulatan rupiah di negeri sendiri yang terus digerus oleh kedigdayaan Dollar dalam transaksi perdagangan.
Bahwa persoalan kedaulatan rupiah sesungguhnya bukan saja karena menyangkut kedaulatan NKRI, namun rapuhnya kedaulatan Rupiah dalam setiap transaksi di tanah air sejatinya juga telah melahirkan persoalan serius bagi perekonomian nasional diantaranya telah menyebabkan kurs rupiah senantiasa berada pada bayang-bayang dollar. Rupiah tidak lagi bisa menentukan nasibnya sendiri tetapi lebih banyak ditentukan oleh transaksi dollar di tanah air, ironis bukan ?
Ajakan  Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar para pelaku usaha meningkatkan penggunaan rupiah saat bertransaksi di dalam negeri untuk mencegah pelemahan nilai rupiah tentu patut didukung. Namun kita tentu berharap agar keinginan dan semangat pemerintah untuk meningkatkan pemakaian rupiah dalam setiap transaksi ekonomi di tanah air bukan semata karena terdesaknya nilai mata uang rupiah, tetapi keharusan menggunakan rupiah dalam setiap transaksi adalah  juga untuk menegakkan regulasi yang telah dibuat. Dan lebih lagi adalah karena panggilan kecintaan akan tegaknya kedaulatan NKRI.
Indonesia sudah memiliki perangkat peraturan yang mewajibkan setiap WNI maupun WNA yang tinggal, berdomisili dan berbisnis di wilayah NKRI, menggunakan mata uang rupiah. Dalam UU No 7 Tahun 2011  tentang Mata Uang mengatur dan mewajibkan setiap transaksi keuangan menggunakan rupiah, juga diatur mengenai sanksi hukum bagi para pelanggarnya.  Dalam pasal 33 UU No. 7/2011 disebutkan bahwa barang siapa tidak menggunakan rupiah pada setiap transaksi keuangannya maka dikenakan sanksi berupa kurungan selama 1 tahun dan atau denda sebesar Rp 200 juta.
Bukan itu saja, Bank Indonesia telah menerbitkan Surat Edaran (SE) BI No.17/11/DKSP tanggal 1 Juni 2015 tentang Kewajiban Penggunaan Rupiah di Wilayah NKRI sebagai salah satu peraturan pelaksana UU No. 7 /2011.  Menurut ketentuan ini, setiap kegiatan atau transaksi keuangan di wilayah NKRI, baik tunai maupun nontunai, harus (wajib) menggunakan mata uang rupiah. Kewajiban penggunaan rupiah dalam bertransaksi juga tercantum dalam Peraturan BI No.17/3/PBI/2015 tentang Kewajiban Penggunaan Rupiah di wilayah NKRI.
Sayang, dalam realitasnya regulasi ini ternyata belum mampu diimplementasikan secara baik. Pemerintah dan BI terkesan tidak tegas, malah seolah membiarkan transaksi domestik menggunakan mata uang asing (dolar AS) di depan mata sendiri. Lihat saja di berbagai lokasi seperti  pelabuhan, perusahaan-perusahaan ekspedisi muatan kapal laut, pariwisata dan sentra-sentra perdagangan/bisnis, penggunaan dolar AS sebagai alat tukar ketika bertransaksi bisnis sudah menjadi hal lumrah dan merupakan pemandangan biasa.
Tampaknya para pedagang lebih percaya kepada dolar AS sebab produk yang mereka jual, sebagian besar merupakan produk impor. Beralasan sederhana, yakni selain efisien dan praktis, karena nilai rupiah dinilai rentan jatuh ketimbang mata uang asing terutama dolar AS. Sehingga, rupiah masih selalu dipandang sebelah mata didalam berdagang dan bertransaksi. Kondisi ini lebih parah terutama di daerah perbatasan yang ditengarai sudah lama tidak menggunakan rupiah didalam bertransaksi.
Beberapa bidang usaha perdagangan domestik yang transaksi antarpenduduknya sudah biasa menggunakan valas, yaitu hotel, sewa ruang kantor, sewa mal, perdagangan bahan pokok tekstil, perdagangan kimia, batu bara, gas dan alat berat. Sebenarnya, transaksi dengan menggunakan dolar di pelabuhan mungkin masih bisa dipahami mengingat dalam aturan sebelumnya, yakni Peraturan Menteri Perhubungan Nomor: PM 15 Tahun 2014 tentang perubahan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor: PM 6 Tahun 2013 tentang Jenis Struktur dan Golongan Tarif Jasa Kepelabuhan. Tertuang dalam aturan tersebut bahwa transaksi dolar AS diperbolehkan untuk kapal-kapal berbendera asing. Dengan demikian BI dan pemerintah harus terus berkoordinasi dan melakukan sosialisasi terkait substansi UU Mata Uang dan PBI tentang Kewajiban Penggunaan Rupiah di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Harapannya, aturan tersebut benar-benar nyampai kepada pihak-pihak yang selama ini terlibat dalam praktik transaksi dengan menggunakan mata uang asing.
Ketika sosialisasi sudah dilakukan secara memadai maka berikutnya aparat penegak hukum tidak perlu ragu lagi untuk menegakkan aturan hukum yang berlaku. Penegak hukum harus berani menjalankan perintah UU, karena di samping aspek law enforcement itu sendiri, juga aspek nasionalisme bagi kebesaran bangsa ini. Berlakukan kehormatan Rupiah di negaranya sendiri. Karena itu perusahaan di Indonesia yang menggunakan tenaga kerja asing diwajibkan untuk membayarkan upah memakai mata uang Rupiah. Apalagi hal tersebut merupakan ketentuan yang dikeluarkan Bank Indonesia (BI). Regulasi pembayaran gaji itu berdasarkan ketentuan BI mesti Rupiah.
Ketetapan pembayaran menggunakan rupiah itu berlaku bagi pekerja Indonesia ataupun tenaga kerja asing (TKA) yang bekerja di Indonesia, sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 17/3/PBI/2015 tanggal 31 Maret 2015 tentang kewajiban penggunaan uang rupiah di wilayah NKRI.
Seluruh perusahaan ataupun orang yang berada di wilayah Indonesia, harus tunduk pada aturan dari pemerintah Indonesia, termasuk masalah aturan pembayaran gaji bagi TKA yang harus menggunakan pembayaran rupiah. Secara prinsip, selama berada dan bekerja di Indonesia, semua orang itu harus tunduk pada aturan dari pemerintah Indonesia.
Sebenarnya bukan karena minimnya kecintaan terhadap rupiah hingga berakibat rupiah menjadi rentan anjlok. Tapi, masyarakat bisnis Indonesia umumnya, termasuk para pelaku bisnis/pengusaha dan para (oknum) pejabat negara lebih menginginkan praktik berbisnis secara praktis, mudah dan efisien. Terutama, bagaimana agar praktik berbisnis bisa menyenangkan dan menguntungkan bisnisnya. Bahkan beberapa  pejabat negara dan pengusaha terlacak kerap menyimpan uangnya dalam bentuk dolar AS lalu diparkir, disimpan atau ditabung di bank-bank luar negeri.
Merujuk studi yang dilakukan Mckensey Global Bangking Pools (2015) menunjukkan bahwa sebanyak 200 juta dolar AS kekayaan sejumlah miliarder Indonesia disimpan di luar negeri. Termasuk perbankan dan pejabat negara tak ketinggalan menyimpan dananya di dalam negeri dalam bentuk dolar AS dan atau mata uang negara asing kuat lainnya, serta sebagian besar lainnya diparkir di manca negara.
Di atas itu semua, untuk membenahi sistem ekonomi, keuangan dan moneter agar fundamental ekonomi nasional kedepannya semakin kuat, dan rupiah semakin dipercaya, maka salah satu elemen penting yang harus dilakukan secara sungguh-sungguh adalah sikap konsekuen dan konsisten terhadap regulasi yang telah dibuatnya. Kewajiban penggunaan Rupiah dalam bertransaksi merupakan upaya untuk menunjukkan bahwa Indonesia adalah Negara yang berdaulat.
Wallahu’alam bhis-shawwab

                                                                                                              ———– *** ————

Tags: