Menegakkan Perkada Pelaksanaan PSBB

Peran Satpol PP dalam Physical Distancing CoViD-19

Oleh :
Setijo Mahargono, SH, MSi
Staf pada Satpol PP Prov Jawa Timur

Suasana PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), tidak mudah, dan tidak enak. Diam di rumah dengan pembatasan seluruh kegiatan sosial dan ekonomi selama (minimal) 14 hari bisa mengubah psikologis setiap orang. Terutama kalangan pekerja harian sektor informal dan pelaku usaha mikro dan kecil. Bukan sekedar hajat kebutuhan dasar yang harus dipenuhi, melainkan juga interaksi sosial, dan aspek rekreatif psikologi masa, dan rekreatif ke-ekonomi-an pada saat wabah pandemi.
Karena itu dibutuhkan kebijakan persuasif menata kesiapan masyarakat menghadapi PSBB. Setiap penetapan PSBB dari Kemenkes wajib diikuti Peraturan Kepala Daerah, berupa Pergub (Peraturan Gubernur) serta dijabarkan lagi dalam Peraturan Bupati dan Peraturan Walikota. Berdasar UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, penegakan Peraturan Kepala Daerah dilaksanakan oleh Satpol PP (Pamong Praja). Prosedur pelaksanaannya wajib mempertimbangkan suasana kebatinan masyarakat.
UU Pemerintahan Daerah pasal 255 ayat (2) huruf c, menyatakan kewenangan “melakukan tindakan penyelidikan terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang diduga melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau Perkada.” Satpol PP secara khusus juga memiliki payung hukum yang kuat. Yakni berdasar PP (Peraturan Pemerintah) Nomor 6 tahjun 2010 tentang Satuan Polisi Pamong Praja. Mengokohkan tupoksi Satpol PP sebagai penegak Peraturan Daerah (Perda), dan Perkada (Peraturan Kepala Daerah).
Berkaca pada pelaksanaan PSBB di Jakarta, dan Jawa Barat, kepatuhan terhadap protokol masa PSBB masih patut digencarkan. Sangat perlu peningkatan kedisiplinan masyarakat. Masih banyak kerumunan orang di warung kopi, dan kafe. Begitu pula kegiatan keagamaan yang melibatkan banyak orang masih sering diselenggarakan. Tetapi penegakan Pergub (serta Perbup dan Perwali) harus dilaksanakan secara persuasif dan cerdas.
Pola lama, bongkar–angkut harus ditinggalkan. Begitu pula pengejaran PKL (pedagang kaki lima), bagai kisah film “Tom and Jerry,” harus diubah menjadi pola kerjasama pembinaan. Terutama pada masa darurat kebencanaan, kinerja Satpol PP bisa memantapkan aspek Ketenteraman dan Ketertiban Umum (Trantibum). Lebih lagi saat ini pemerintah propinsi sedang meng-galang sinergitas bidang Keamanan dan Ketertiban Umum (Kamtibum).
Jalinan Kamtibum melibatkan TNI (Kodam), Polri (Polda), dan Satpol PP Propinsi. Diharapkan, sejak tahun anggaran 2020 ini, pelaksanaan Kamtibum akan memiliki tingkat keberhasilan lebih besar. Bisa diawali dengan kinerja penanganan wabah virus corona. Misalnya dengan patrol bersama, dengan melibatkan BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan). Sukses pelaksanaan (disiplin) protokol PSBB akan sangat menentukan tingkat pemutusan wabah pandemi.
Shalat Tarawih di Rumah
Bahkan pada obyek vital, perlu dilakukan patroli Satpol PP bersama Polri dan TNI, dengan mengenakan APD (Alat Pelindung Diri). Antaralain RSUD, terminal, pelabuhan, mal, dan pusat perbelanjaan. Kehadiran petugas dengan mengenakan APD akan meningkatkan moril masyarakat turut serta berpartisipasi melaksanakan protokol PSBB. Sebenarnya tidak sulit dilakukan. Hanya diam di rumah, cuci tangan, mengenakan masker saat keluar rumah, dan jaga jarak antar-orang.
Tak terkecuali partisipasi berbasis keagamaan. Tokoh-tokoh agama juga telah menyarankan segenap umat membatasi diri, menunda pertemuan yang melibatkan banyak orang. Jamaah istighotsah, dan jamaah yasin–tahlil sementara berhenti berdakwah. Tiada shalat Jumat, sampai tidak menyelenggarakan shalat tarawih berjamaah di masjid maupun mushala. Untuk pertama kalinya sepanjang sejarah, tahun ini shalat tarawih dilakukan di rumah.
Namun tidak mudah manakala berkait dengan nafkah (mata pencarian). Sangat sedikit mata nafkah yang bisa dilaksanakan di rumah. Maka jargon protokol “diam di rumah,” berkonsekuensi logis dengan penyelenggaraan perlindungan sosial. Menjadi tanggungjawab pemerintah. Terutama pada aspek kesehatan masyarakat. Secara lex specialist, Indonesia memiliki payung hukum kokoh penanggulangan wabah penyakit. Antaralain berupa UU Nomor 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Pada pasal 11 ayat (1) dinyatakan, “Penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan pada Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat secara cepat dan tepat berdasarkan besarnya ancaman, efektivitas, dukungan sumber daya, dan teknik operasional dengan mempertimbangkan kedaulatan negara, keamanan, ekonomi, sosial, dan budaya.”
Sejak diterbitkan Keppres Nomor 12 tahun 2020, status pewabahan virus corona bukan sekadar tanggap darurat. Melainkan naik status menjadi Bencana Nasional. Maka berlaku UU Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Paradigma tersebut memberi mandat kepada BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana). Penerbitan Keppres 12 tahun 2020, sebagai pelengkap peraturan sesuai arahan pasal 51 ayat (2) UU Penanggulangan Bencana.
UU Penanggulangan Bencana pada pasal 26 ayat (2), menyatakan, “Setiap orang yang terkena bencana berhak mendapatkan bantuan pemenuhan kebutuhan dasar.” Berdasar pasal 48 huruf d, pemenuhan kebutuhan dasar merupakan prosedur tetap penyelenggaraan penanggulangan bencana. Pada pasal 53, terdapat enam jenis kebutuhan dasar. Yakni, air bersih dan sanitasi, pangan, sandang, pelayanan kesehatan, dan layanan psiko-sosial.
PSBB “Rekreatif” Ekonomi
Banyak rumah tangga yang semula tidak tergolong miskin, menjadi benar-benar miskin, karena di-rumah-kan. Juga kehilangan mata nafkah karena menyusutnya omzet penjualan seiring pemberlakuan PSBB. Seluruh pasar tradisional sepi. Gerobak dorong, dan warung makan tiada pembeli. Terutama toko penjual pakaian yang akan melaksanakan “panen raya” selama bulan Ramadhan, dipastikan tidak bisa bekerja. Kompleks pertokoan ditutup.
Bahkan pusat perkulakan paling masyhur, Tanah Abang (Jakarta), ditutup. Begitu juga pusat grosir Pasarturi (Surabaya), ditutup, seiring PSBB. Pekerja sektor informal, dan sektor usaha mikro, dan kecil, bagai “dipukul KO.” Jumlahj pengangguran telahj bertambah. Tetapi biasanya, masih akan banyak sektor informal yang “pantang menyerah” tetap buka lapak, termasuk di sepanjang pinggir jalan. Dalam hal ini pemerintah perlu menggencarkan upaya persuasif melaksanakan protokol PSBB.
Pemerintah daerah (propinsi serta kabupaten dan kota) memiliki peran strategis. Selain kukuh mencegah pewabahan CoViD-19, juga membuka “harapan ke-ekonomi-an” sektor informal. Terutama pada saat Ramadhan. Beberapa negara mayoritas muslim (Arab Saudi, Mesir, dan Irak) juga diberlakukan kelonggaran lockdown. Pasar (rakyat) pangan dibuka. Namun tetap sesuai protokol penecegahan wabah. Diharapkan suasana Ramadhan lebih tenteram
Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati, dan Peraturan Walikota, bisa dikreasi menjadi penyehatan lingkungan, sekaligus “rekreatif” ekonomi. Misalnya, dengan menyelenggarakan pasar sembako murah pada kawasan yang biasa digunakan masyarakat. Antaralain di lapangan Makodam V/Brawijaya, sekitar Masjid Agung Surabaya (MAS) Al-Akbar. Sekaligus dengan pembatasan kuantitatif (jumlah PKL), dan pengurangan kualitatif (jam operasional).
Pasar sembako bisa disiapkan dengan fasilitasi pemerintah daerah mematuhi protokol PSBB. Fasilitasi bisa berupa setrilisasi kawasan dengan disinfektan, bilik sterilisasi di setiap pintu masuk, dan penyediaan (penjualan) masker. Juga perlu disediakan hand-sanitizer di setiap jarak lima lapak. Serta pos pengamanan yang dijaga petugas Satpol PP, Polri, TNI, dan petugas BPOM. Bila perlu, disiagakan personel Satpol PP dengan mengenakan APD (Alat Pelindung Diri). Fasilitasi serupa bisa didirikan pada mal, pusat perbelanjaan selama bulan Ramadhan.
Pemerintah juga wajib menjaga ketenangan masyarakat, memastikan bahwa pandemi virus corona bisa disembuhkan. BNPB melalui media masa, seyogianya men-sosialisasi-kan pengharapan “di depan mata.” Yakni, keberhasilan tenaga kesehatan yang berjuang keras, serta aparat petugas Kamtibum yang selalu siaga menjamin suasana ketenteraman sosial.

——— 000 ———

Rate this article!
Tags: