MenegakkanUU Pilkadayang Dibiayai Rakyat

Kerawanan Kampanye dan Money Politics
Oleh :
Yunus Supanto
Wartawan senior, penggiat dakwah sosial politik 

Perdukunan dan kuburan makam-makam keramat, mendadak ramai sebulan ini (sampai tiga bulan berikutnya). Yang datang bukan personel lusuh dengan problem yang menyesakkan dada. Melainkan paslon (pasangan calon legislative) pilkada serentak yang minta “disembur” dan minta khasiat jampi-jampi. Tujuannya, pasti, bisa memperoleh dukungan suara sebanyak-banyaknya, memenangkan pilkada. Tak jarang, paslon yang datang juga disertai tim sukses.
Kini rata-rata paslon juga membawa barang bawaan wajib, selain telepon selular. Yakni, azimat berupa kalung, cincin, buntalan kemenyan. Namun bersyukur, hampir seluruh paslon ber-kelakuan lebih baik, dan dermawan. Mulai rajin menunaikan ibadah. Senang membaca wiridpula. Bahkan untuk urusan belanja kampanye (karena sudah diyakinkan dukun), paslon akan rela meng-gadaikan BPKB mobil, atau sertifikat tanah dan rumah.
Setiap paslon pasti memiliki pengharapan yang sama besar. Tetapi yang sering datang ke tempat-tempat keramat dan dukun akan memiliki optimisme lebih besar. Semangat dan optimisme itulah yang mesti diatur melalui undang-undang (UU), dan berbagai peraturan KPU. Termasuk melalui kinerja Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu), sebagai “wasit pengadil” pilkada. Juga masih terdapat DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu).
Maka perangkat “wasit pengadil” pemilihan umum (termasuk pilkada) telah cukup memadai. Termasuk adanya DKPP, yang mengawasi kinerja KPU dan Bawaslu. Terbukti, beberapa komisioner KPU Propinsi, KPU Kabupaten dan kota, serta Bawaslu, dipecat karena melakukan pelanggaran. Biasanya, divonis tidak netral terhadap pasangan calon. Serta antaralain, tidak memproses laporan kecurangan dan pelanggaran pilkada. Terutama money politics yang sangat masif.
Berdasarkan UU Nomor 8 tahun 2015 tentang Pilkada, kampanye merupakan hak setiap paslon. Namun sejak pilkada serentak 2015 lalu, beberapa kampanye menjadi tanggungjawab bersama antara paslon dengan penyelenggara. KPU Propinsi serta KPU Kabupaten dan Kota, kini memiliki kewajiban fasilitasi kampanye. Bukan hanya jadwal yang diatur bersama. Melainkan juga jenis dan metode kampanye pilkada.
UU 8 tahun 2015, pada pasal 65 ayat (2), mengatur fasilitasi wajib oleh KPU. Metode kampanye yang difasilitasi wajib diikuti seluruh paslon secara bersama. Kampanye yang difasilitasi KPU daerah adalah, debat publik, penyebaran bahan dan alat peraga kampanye, pemasangan (jumlah dan tempat) alat peraga, serta iklan di media masa cetak dan media elektronik. Hebatnya, seluruh fasilitasi kampanye oleh KPU di daerah, dibiayai oleh APBD (kas daerah) setempat.
Disubsidi Rakyat
APBD (kas daerah) merupakan uang rakyat yang dikumpulkan melalui pajak dan berbagai retribusi. Tidak sedikit uang kas daerah yang dikeluarkan untuk pilkada setempat. Misalnya untuk pilkada Jawa Barat dan Jawa Timur, nilainya mencapai Rp 800-an milyar. Nilai itu hampir setara dengan 30% APBD Propinsi Jawa Barat maupun Jawa Timur. Sehingga ongkos pilkada harus sudah dicicil secara multi-years, sampai tiga tahun. Namun masih tetap terasa berat.
Dus, pembiayaan pilkada, seluruhnya ditanggung oleh rakyat. Maka fasilitasi pilkada harus dilaksanakan effisien dan efektif. Misalnya pemasangan banner dan spanduk besar berisi seluruh paslon, tidak perlu dicetak (dan dipasang) sebanyak-banyaknya. Cukup pada tempat strategis (selain area pendidikan dan ibadah) yang bisa dilihat banyak masyarakat. Begitu pula pemasangan banner di tingkat kecamatan, dan desa, wajib effisien dan efektif,
Fasilitasi APBD terhadap pilkada, merupakan langkah maju. Sebelumnya, setiap pilkada nyaris disertai “perang” alat peraga kampanye. Puluhan banner ukuran raksasa dipajang masing-masing paslon. Bisanya incumbent, memenangkan lokasi strategis (dengan tarif retribusi mahal). Banyak diantaranya, sumbangan dari cukongsimpatisan paslon. Sumbangan ini kelak, akan ditagih sebagai jasa. Harus dibayar (manakala menang).
Tak bisa dipungkiri incumbent memiliki peluang mengerahkan “bayar jasa” lebih besar. Termasuk melalui OPD (Organisasi Perangkat Daerah). Terbukti, pilkada 2018 telah marak dengan pengerahan OPD turut membiayai incumbent. Beberapa paslon incumbent terjaring OTT (Operasi Tangkap Tangan) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Antaralain di Jawa Timur, terdapat paslon pilkada Jombang. Serta di Jawa Barat, paslon pilkada Subang, ditangkap KPK.
Paslon pada pilkada propinsi (pemilihan gubernur), niscaya memiliki kerawanan lebih besar. Selain mengerahkan OPD, pilkada propinsi bisa mengerahkan Bupati dan Walikota, turut mendukung salahsatu paslon. Alasannya, solidaritas sesama kader parpol. Sudah banyak keluhan, keterlibatan Bupati dan Walikota turut mendampingi pasangan calon gubernur dalam berbagai acara.
Keterlibatan pejabat publik secara vertikal cukup miris, sampai kesertaan pejabat pusat (DPR-RI). Tokoh-tokoh nasional, tak ketinggalan dikerahkan secara terang-terangan turut bermain dalam pilkada. Mirip pilkada Jakarta. “Pemain” bukan sekadar tokoh daerah setempat (Jakarta), melainkan juga dipinjam dari daerah lain. Seluruh kader parpol (Ketua Umum tingkat pusat sampai tingkat kelurahan) diwajibkan berperan aktif.
Sehingga pilkada, bukan hanya kontestansi paslon. Tetapi telah menjadi ajang “aduan” kelompok parpol. Niscaya, berpotensi ajang tarung sosial secara diametral. Setidaknya, hal itu telah nyata-nyata terjadi di media sosial.Pilkada Jakarta, nyata-nyata berpotensi perpecahan sosial. Ini menjadi pengalaman, agar pilkada di daerah lain mestilah dihindarkan dari potensi perpecahan.
“Agen Calo Suara”
Urusan pilkada, seharusnya “selesai” di tingkat daerah. Tanpa melibatkan pejabat vertikal maupun “teman” dari daerah lain.Lebih ironis, pelibatan pejabat vertikal dan “teman” dari daerah lain, diperlukan untuk pendanaan kampanye paslon. Terutama untuk dua pos anggaran yang paling strategis. Yakni, ongkos (honor) saksi di TPS (Tempat Pemungutan Suara). Serta biaya “membeli” dukungan suara melalui agen-agen simpul masyarakat.
Pada musim pilkada (serentak), banyak bermunculan “agen suara” dengan membawa daftar suara pemilih. Personel “agen suara” biasanya memiliki kedudukan sosial cukup memadai dalam struktur masyarakat di perkampungan (desa). Misalnya, Ketua RT (Rukung Tetangga), Ketua RW (Rukun Warga), Kepala Dusun, sampai Kepala Desa. Seluruhnya memiliki kapasitas sebagai “calo” dukungan masyarakat. Ironisnya, daftar nama masyarakat yang akan “dijual” memiliki validitas 90% benar.
Garansi kebenaran sampai 90% itu, sangat memikat paslon. Jumlah dukungan yang diklaim, biasanya sebanyak (paling sedikit) seratus nama penduduk. Pada tingkat “calo” agen besarbisa mencapaisepuluh ribu nama, lengkap dengan alamat. Harga setiap nama (one vote), berkisar antara Rp 20 ribu sampai Rp 50 ribu. Tetapi pada saat genting, mendekati coblosan pilkada, bisa seharga Rp 100 ribu per-orang. Konon pada tiap pilkada, “calo”money politics telah menjadi kelaziman.
Siapa tak kepincut? Tetapi diperlukan dedikasi jajaran Bawaslu untuk membongkar kinerja “calo” agen suara dukungan masyarakat pemilih. Saat ini tengah diuji kasus money politics sistemik pada pilkada kabupaten Bangkalan (Madura). Bawaslu telah memperoleh banyak bukti, terutama bukti uang, serta saksi pelaku (penerima). Konsekuensi hukum “money politics” dapat berupa pencoretan kesertaan paslon dalam pilkada.
Sampai pilkada serentak tahun 2017 lalu, hampir seluruh sengketa pilkada di MK (Mahkamah Konstitusi) selalu bermuara pada politik uang. Bagai fenomena gunung es, menjadi penyakit politik (demokrasi) kronik. Ironisnya, suap politik seolah-olah “difasilitasi” secara sistemik oleh perundang-undangan.Politik uang, tak beda dengan suap, yang diatur dalam UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Seluruh dunia, dendam sengit terhadap suap dan korupsi. Sampai diterbitkan konvensi PBB (UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST CORRUPTION), tahun 2003. Pada mukadimah konvensi dinyatakan:”Prihatin atas keseriusan masalah dan ancaman yang ditimbulkan oleh suap-korupsi … yang merusak lembaga-lembaga dan nilai-nilai demokrasi, nilai-nilai etika dan keadilan serta mengacaukan pembangunan yang berkelanjutan dan penegakan hukum.”

——– 000 ———

 

Tags: