Menego Kemutlakan Diyat

Yunus Supanto

Yunus Supanto

(Perlu Pembekalan Advokasi TKI/TKW)
Oleh :
Yunus Supanto
wartawan senior penggiat dakwah sosial politik
Banyak jalan membayar diyat. Sudah berkali-kali warga negara Indonesia bisa sukses membayar diyat, termasuk dengan cara pengumpulan uang oleh masyarakat. Ingat dulu kasus Darsem (TKW asal Subang, Jawa Barat)? Secara dramatik ia lolos dari hukuman mati, dan malah kelebihan biaya diyat. Namun lakon  “drama” Darsem tidak bisa diterus-teruskan. Seyogianya Kementerian Tenaga Kerja meningkat kualitas TKI (Tenaga Kerja Indonesia), terutama bekal advokasi.
Pada tataran LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dan berbagai NGO, TKI dan TKW disebut pula sebagai pahlawan devisa. Berdasarkan catatan pada Komisi XI DPR-RI (yang membidangi Ketenagakerjaan), devisa yang dihasilkan oleh TKI mencapai Rp 3 trilyun per-bulan! Maka saat ini, jumlah devisa tentu sudah berjumlah puluhan trilyun rupiah. Selain itu pemerintah juga memiliki dana cadangan dengan nomenklatur perlindungan WNI sebesar Rp 250 miliar per-tahun.
Sehingga permasalahan pembayaran diyat, sebenarnya memiliki payung hukum, maupun alasan logis. Maka kasus kesanggupan membayar diyat lebih mengenai harkat dan martabat bangsa Indonesia. Toh diyat, merupakan kasus by accident (kejadian tak diinginkan), bukan case by design (kejadian yang sengaja direkayasa). Siapa suka keluarganya terbunuh dengan imbalan uang?!
Pada kasus Satinah (TKW asal Semarang, Jawa Tengah) yang bakal menghadapi hukuman mati pada 3 April (2014) ini, banyak pengamat hukum kelewat ketus. Menganggap diyat sebagai pemerasan. Andai situasi (keluarga korban) bisa membalas berkomentar, seberapa besar nilai untuk satu jiwa manusia? Seyogianya, komentar pemerhati hukum tetap pada koridor hukum yang berlaku pada bangsa dan negara TKP (tempat kejadian perkara). Seyogianya pula para ahli hukum turut mengupayakan pengampunan dari keluarga korban.
Diyat, merupapakan domain hak hukum keluarga korban. Hak diyat bersifat mutlak, sehingga negara (Arab saudi) pun tidak bisa mencampuri. Hanya ada dua pilihan. Yakni: me-nego nominal diyat sampai batas kesanggupan, atau melobi sampai diperoleh kata maaf dari keluarga korban. Cara pertama, nego, konon sudah berhasil menurunkan nilai diyat (terhadap Satina) menjadi Rp 15 miliar. Boleh jadi, masih bisa diturunkan lagi. Atau diringankan cara pembayarannya secara angsuran.
Sedangkan cara kedua (bebas diyat karena dimaafkan) juga pernah diperoleh 5 orang TKI pada kasus pembunuhan di Arab Saudi. Dalam hal ini pelaku (keluarga warga Pakistan yang miskin) memilih memaafkan, setelah pihak pelaku membantu pengurusan pengobatan keluarga korban yang sakit. Lebih lagi, kematian dengan jalan dibunuh dianggap takdir (konon pula bagian dari mati syahid, mulia). Kasus yang terjadi pada tahun 2007 itu kini sedang menunggu penetapan hukuman pidana kurungan penjara. Andai divonis 7 tahun, maka kelima TKI akan segera bebas.
“Penyelesaian Adat”
Secara tekstual diyat, disebut dalam surat An-Nisa (4:92), sebagai tebusan yang diberikan dari pelaku kepada keluarga korban. Tetapi dalam Al-Quran, diyat merupakan tambahan, sedangkan tebusan utamanya berupa pembebasan budak. Sebagai hukuman utama, pembebasan budak bersifat wajib syar’i, aturan antara hak Tuhan dengan manusia. Dalam situasi khusus, pembebasan budak bisa diganti dengan puasa selama dua bulan berturut-turut.
Sedangkan diyat, sebagai hukuman tambahan merupakan kewajiban anan-nas, aturan hak antar-manusia. Pelaksananaan diyat dilakukan berdasarkan “nego” antara pelaku dengan korban. Sehingga nominal diyat tidak memiliki nilai pagu secara baku. Bisa murah, mungkin pula dianggap terlalu mahal. Namun jika pelaku sukses melobi keluarga korban sampai diperoleh kata maaf, maka diyat bisa gratis. Berdasarkan hukum di Arab Saudi, pembebasan diyat berarti pembebasan hukuman pidana.
Awalnya diyat, merupakan penyelesaian “secara adat” terhadap kasus pembunuhan, tetapi telah menjadi hukum positif selama berabad-abad sebelum masehi. Bahkan dalam kitab Taurat (diberlakukan pada zaman Nabi Musa a.s., untuk bani Israil). Pada Taurat, diberlakukan qishas, yang secara tekstual disebut “nyawa dibayar dengan nyawa, … dan luka-luka ada qishasnya yang sama. Barangsiapa melapas hak qishasnya maka itu juga menjadi penebusan dosa.” Jadi, bisa pula dimaafkan, bebas tanpa membayar diyat
Pada beberapa kitab hadits, dinyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW melaksanakan hukum Taurat. “Sesungguhnya aku memberi hukum seperti yang terdapat dalam Taurat.” Begitu kata Nabi SAW (setidaknya diriwayatkan oleh tiga perawi shahih: Imam Muslim, Imam Ahmad dan Imam Abu Dawud). Hadits tersebut merupakan catatan asbabun-nuzul (kisah yang melatarbelakangi) turunnya wahyu untuk surat Al-Maidah ayat ke-44.
Diyat, masih diyakini sebagai penjamin rasa keadilan, agar pelaku pembunuhan jera. Dan terbukti efektif. Di seluruh dunia juga bisa ditemui hukum pidana serupa, termasuk beberapa suku di Indonesia. Tetapi memang harus ekstra-waspada, terutama dalam hal saweran publik. Mestilah dilakukan oleh institusi yang akuntabel, dan menyertakan pertanggungjawaban publik. Ingat misalnya, kasus Darsem, TKW asal Subang, Jawa Barat.
“Drama” TKW Darsem
Pada sekitar Agustus sampai September 2011, “drama” Darsem, menyita perhatian publik secara luas. Banyak yang mencucurkan air mata, lalu memberikan donasi berupa uang. Alhasil, (melalui stasiun televisi) terkumpul dana sebesar Rp 1,2 milyar Ia merupakan sedikit TKW yang meraup berkah dari tebusan diyat. Padahal pemerintah (diluar saweran masyarakat) telah membayar lunas diyat sebesar Rp 4,7 milyar.
Darsem yang berubah menjadi jutawan baru, ujung-ujungnya menimbulkan anti-pati masyarakat, karena hidup berfoya-foya dengan kekayaan Rp 1,2 milyar!  Di rumah, kampung Truntum, Desa Patimban, Subang, ia sibuk mengurusi usaha barunya, yakni warung kelontong. “Alumni” TKW di Arab Saudi ini hidup makmur menikmati ekses diyat.
Kasus TKI dan TKW pada tahun 2007, agaknya cukup memancing kesetiakawanan nasional. Selain Darsem 5 TKI juga memperoleh maaf sehingga bebas tanpa diyat. Terbukti, bahwa diyat bukan sistem hukum yang beraltar pemerasan, melainkan nyata-nyata membuat jera. Walau hukuman atas kasus pembunuhan di Arab Saudi, juga kukuh terhadap diyat. Misalnya yang terjadi pada TKW Zaenab, asal Bangkalan, Jawa Timur.
Pengadilan Arab Saudi pada tahun 1999 lalu memilih menunggu anak korban beranjak dewasa (akil baliq) sehingga boleh menentukan hukuman untuk Zaenab. Yakni, dimaafkan atau harus membayar diyat. Hal yang sama, mengantre pelunasan diyat, saat ini juga dialami 34 TKI/TKW di Arab Saudi. Sehingga problem penempatan tenaga kerja di luar negeri memerlukan advokasi.
Salahsatu prestasi advokasi terhadap TKI dan TKW adalah kasus (alm) Isti Komariah, yang tewas di rumah majikannya di Malaysia.Pada kasus Isti, pihak korban dari Indonesia berhak atas diyat, atau kasus qishah hukuman gantung (mati). Ini disebabkan Malaysia menganut hukum syariat Islam. Pengadilan Tinggi Malaysia Kamis 6 Maret 2014 memutuskan kedua terpidana sengaja membunuh Isti Komariah, 26 tahun.
Terdakwa majikan Isti diyakini membiarkan buruhnya kelaparan dan menderita sakit sampai ditemukan tewas tanpa dibawa berobat. Karena itu pasangan suami istri Fong Kong Meng, 58 tahun, dan Teoh Ching Yen, 56 tahun, dijatuhi hukuman gantung karena terbukti bersalah membunuh tenaga kerja asal Indonesia, Isti Komariah.
Mencermati berbagai permasalahan hukum terhadap TKI dan TKW, pemerintah tak cukup hanya mengandalkan dana perlindungan WNI. Melainkan harus memperbaiki UU Penempatan dan Perlindungan TKI.  Revisi UU ini sebenarnya sudah disepakati menjadi RUU inisiatif DPR pada 2012 lalu. Namun hingga kini undang-undang itu belum disahkan dan masih dalam pembahasan. Apakah harus menunggu antrean diyat sampai menjebol APBN?

Rate this article!
Menego Kemutlakan Diyat,5 / 5 ( 1votes )
Tags: