Meneguhkan Kesalehan Sosial

SusantoOleh :
Susanto, MPd
Alumnus Pascasarjana UNS Surakarta-Jateng Tahun 2010
Penulis buku dan  editor berbagai buku.  Mengajar di SMAN 3 Bojonegoro

Tak terasa ramadhan akan meninggalkan kita kembali. Kalau tak ada aral  ramadhan tahun ini akan berakhir tanggal 5 Juli 2016. Tentunya, seluruh umat muslim akan merayakan Idul Fitri 6 Juli 2016. Semua umat muslim berkewajiban menjalankan perintah Allah SWT. Berbagai amalan  telah dilaksanakan mulai sholat tarawih, tadarus, dan kegiatan ibadah  lainnya. Tentunya semua itu bertujuan meningkatkan rasa keimanan kepada Allah SWT selama bulan Ramadhan.
Permasalahan dan sekaligus pertanyaannya apakah dengan puasa ramadhan dapat menjadikan moralitas kita lebih baik? Benarkah puasa dapat mencegah perbuatan tercela dan tersesat? Harus bagaimana umat Islam dalam bersikap dengan datangnya dan berakhirnya setelah bulan suci ini?
Pribadi Konsisten
Puasa pada prinsipnya akan menjadikan seorang individu dengan sendirinya akan terbentuk sebuah perilaku yang mahasempurna. Sebuah perilaku yang selalu mendapatkan ketenangan jiwa manakala dalam menjalankan kehidupan selalu ikhlas. Surat Al Baqarah 183 yang merupakan  spririt untuk kita. Orang-orang yang berimanlah yang selalu mendapatkan panggilan untuk melakukan puasa. Terlebih lagi  puasa adalah sebuah jawaban untuk membentuk insan menjadi orang yang taqwa. Menjauhi segala sesuatu perbuatan yang munkar dan melaksanakan perintah-Nya.
Sehingga dalam konteks yang bagaimanapun dimensi puasa adalah perlu mendapatkan keimanan yang kuat. Puasa dalam sekala luas adalah sebagai pembentuk watak dan karakter yang patuh dan disiplin terhadap peraturan. Puasa berdimensi luas karena dengan puasa orang akan semakin mempertebal sikap disiplin dalam beribadah. Hal itu, bila kita menyadari betul hakikat puasa. Bila kita mampu memahami makna puasa dalam rangka untuk mencapai tubuh yang sehat selain memperoleh pahala yang berlipat. Maka sikap konsisten (istiqomah) juga merupakan hal tak kalah pentingnya.
Sikap istiqomah akan lebih baik  dan mudah diperoleh dibandingkan dengan mereka yang beribadah puasa yang hanya memahami ganjaran pahala kebajikan saja. Kalau sudah demikian, tentunya segala kegiatan yang kita lakukan didunia ini semata-mata hanya ibadah. Maka istiqomah dalam beribadah akan dapat mudah ditranformasi dalam setiap gerak aktivitas dan nafas kita. Betapa indahnya manakala gerakan kehidupan yang kita lakukan selalu didasari ketaqwaan. Justru jangan sebaliknya, misalnya memiliki sikap merugikan orang lain.
Puasa tidak hanya menahan lapar dan haus semata-mata. Namun, yang terpenting pengaktulalisasian diri yang dapat menahan nafsu yang merugikan diri sendiri dan orang lain. Perilaku mencegah perbuatan yang munkar dan selalu mengerjakan yang ma’ruf untuk mendekatkan diri dan menjalankan perintah-Nya. Seseorang yang berhasil dalam puasa ramadhan akan berdampak pada kehidupan sehari-hari khususnya menjadi pribadi yang memiliki empati untuk sesama tanpa melakukan kekerasan.
Mengasah Kepekaan
Puasa ramadhan 1437 H yang akan segera berakhir ada beberapa hal yang patut direnungkan. Pertama, menjauhkan diri dari perbuatan yang mengarah pada maksiat atau zina saat Ramadhan dan sebelas bulan setelahnya. Maksudnya umat Islam agar senantiasa memerangi perilaku dan sikap yang membuat masyarakat untuk selalu ke jalan Allah bukan perilaku yang merugikan masyarakat semisal judi, korupsi atau perbuatan zina. Logika bahasanya agar umat muslim bisa tenang dalam beribadah. Dan yang terpenting juga agar kita senantiasa membentengi keluarga kita dari perbuatan maksiat dan juga yang merugikan diri sendiri dan juga masyarakat. Sehingga setelah bulan Ramadhan perilaku kita harus bertambah baik dan taqwa.
Kedua, puasa harus bisa diterjemahkan dalam perilaku yang santun, beradab, jujur, amanah dan tidak merugikan orang banyak. Jujur saja kalau saya cermati kondisi sekarang ini di media cetak maupun elektronik budaya tidak jujur semacam korupsi kian nyaris sempurna. Sebagai gambaran mulai menyalakan sampai akan mematikan TV berita masalah ketidakjujuran masih sangat dominan. Saling ejek dan perang urat syaraf para politisi semakin menambah lengkapnya kecarutmarutan bangsa.
Memang kalau kita sadari betul bagaimanapun juga fenomena yang terjadi akhir-akhir ini (baca: perilaku korupsi)  merupakan salah satu penyebab keterpurukan bangsa ini dalam krisis yang berkepanjangan. Korupsi di kalangan masyarakat kita tersebut merupakan klasik yang tak kunjung usai dan terelakkan dalam kehidupan. Hal itu terbukti dari omongan tingkat rendah warung kopi, tukang becak, atau yang main-main sampai serius (baca: seminar, diskusi) tetap menunjukkan bahwa masyarakat kita tetaplah membenci budaya salah makan atau korupsi sebagai perilaku tersebut. Dalam konteks yang demikian ini pula, bulan suci ini dapat dijadikan moment untuk menata dan merajut kembali moralitas individu lebih baik bukan saling sikut, fitnah, dan juga mengorbankan idealisme yang beretika.
Ketiga, mempertinggi kepekaan empati sosial. Kehidupan tentunya akan bersentuhan dengan perilaku orang banyak. Dalam situasi yang demikian, rasa sosial kepada sesama harus menjadi sesuatu  harga mati. Jangan terjebak pada perilaku individualis. Momen puasa adalah salah satu cara yang tepat untuk menata kembali empati sosial kita. Ramadhan adalah bulan solidaritas kepada sesama untuk selalu berbagi kepada siapa saja khusus para dhuafa dan orang-orang miskin yang butuh uluran kita. Kita harus bisa merasakan sekaligus merefleksi saat kita sedang lapar dalam berpuasa. Ini harus menjadi kajian kita bahwa beginilah rasanya menahan lapar. Bisa menjadi perbandingan bagaimana kalau orang lain yang tidak berkecukupan dalam merasakan kelaparan. Untuk itu yang terpenting transformasi “ikut rasa” dan jiwa tidak egois pada sesama untuk bisa dikendalikan pada saat ramadhan kali ini.
Keempat, sangatlah relevan sekali bila puasa ramadhan kali ini sebagai media mawas diri untuk menatap hari esok yang lebih baik dan bermartabat. Dengan cara tetap menjaga hati dan kerukunan umat. Sebab bagaimanapun juga esensi puasa itu sendiri adalah untuk menjaga hati, perasaan, ucapan, dan juga perilaku kita agar selalu pada spirit taqwa kepada Allah SWT.
Nah, tentunya puasa 1437 H ini  dapat dijadikan tolak ukur dan parameter  untuk selalu mengevaluasi perilaku-perilaku yang tidak bermanfaat pada hari-hari yang telah kita lalui dan juga menata kembali komitmen diri sendiri dan juga kepada orang lain, masyarakat, bangsa dan negara. Sebab bagaimanapun puasa pada hakikatnya untuk selalu menjadikan diri kita yang lebih baik dengan semangat keimanan dan ketaqwaan.

                                                                                                                  ———– *** ————

Rate this article!
Tags: