Meneguhkan Mental Sehat melalui Ramadan

Oleh :
Moh. Mahrus Hasan
Penulis adalah guru MAN Bondowoso dan Pesantren Nurul Ma’rifah Poncogati Curahdami.

Kita sudah memasuki bulan yang sangat istimewa, yakni  Ramadhan.Di dalamnya terdapat lailatul qodar (malam yang lebih baik dari seribu bulan). Bulan yang awalnya dipenuhi rahmah (rahmat), pertengahannya diliputi maghfiroh(ampunan), dan di akhirnya’itqun minan-nar (pembebasan dari api neraka). Beribadah di dalamnya bernilai pahala hingga 70 kali lipat.
Jika disadari, Ramadhan akan “merangsang” pribadi umat Islam untuk mengasah mental-ruhaniyahnyamenjadi lebih baik dan sehat, antara lain:
Pertama, mentalitas jujur.Puasa merupakan ibadah yang sangat pribadi, yang sangat sulit dinilai orang lain. Orang yang berpuasa pasti memiliki mental jujur. Bisa saja ia makan-minum tanpa diketahui orang lain dan berpura-pura layaknya berpuasa. Tapi bagi orang yang berpuasa lillah (karena Allah), ia tidak akan tergoda untuk makan-minum serta yang membatalkan puasa lainnya walau luput dari pantauan orang lain. Mengapa? Karena puasa menanamkan mental jujur bagi pelakunya. Ia merasa dalam pantauan Dzat Yang Maha Melihat.
Sebagai ibarat, pada zaman Khalifah Umar bin Khattab, ada seorang pengembala kambing milik tuannya. Khalifah Umar hendak menguji kejujuran pengembala itu dengan membujuknya agar mau menjual kambing gembalaannya, satu ekor saja. “Tidak akan ada yang tahu–termasuk tuanmu–bahwa satu ekor kambingnya telah kau jual, karena kambing-kambing ini sangat banyak”, demikian kira-kira rayuan sang Khalifah. Tanpa diduga,  pengembala kambing menjawab, “Tapi, dimanakah Allah?” Jawabannya itu  menandakan kejujuran dan kesadaran bahwa Allah pasti mengetahuinya. Puasa diharapkan membentuk pribadi yang jujur dan merasa selalu dalam pantauan Allah.
Kedua, mentalitas semangat beraktifitas-ibadah.Pahala beribadah di bulan Ramadhan dilipatgandakan hingga 70 kali lipat. Ini merupakan karunia Allah dan rangsangan dari-Nya agar para hamba-Nya memiliki semangat beraktifitas dengan niat ibadah.
Bagi orang yang berpikiran sehat, ia pasti akan bertambah semangat mengerjakan sesuatu jika dijanjikan imbalan, terlebih imbalannya besar. Tentu, dalam hal ini,  ending-nya adalah bagaimana beribadah itu menjadi wujud aktualisasi diri sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya di muka bumi ini.
Maka, berpuasa bukanlah menjadi alasan untuk malas beraktifitas. Terkadang kita salah kaprah dengan beralasan “Tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah.” Padahal alasan ini tidak ada dasar dalilnya sama sekali.
Ada beberapa fenomena berikut ini yang perlu diluruskan, yakni: 1). Ada sekelompok orang yang berpuasa yang menghabiskan waktu siangnya dengan tidur. Sedangkan malamnya digunakan untuk begadang dan meronda sambil berpatrol hingga menelusup ke kampung-kampung. Alasannya membangunkan orang untuk sahur. Padahal waktu masih menunjukkan pukul 1 dini hari. Tidak sadarkah mereka bahwa aktifitas yang demikian itu mengganggu istirahat orang lain, terutama orang yang sakit dan anak kecil? 2). Ditambah lagi dengan petasan (mercon) yang sudah pasti termasuk menghambur-hambur harta serta suaranya yang mengganggu orang lain.  Dan 3). Masih banyak orang yang bertadarus al-Qur’an dengan pengeras suara luar ruangan hingga pukul 12 malam, bahkan lebih. Masih ragukah bahwa Allah itu Maha Mendengar dan Maha Melihat? Tidakkah lebih ikhlas, lebih khusyuk, dan tidak mengganggu istirahat orang lain, jika bertadarus melebihi pukul 11 malam tanpa pengeras suara luar ruangan?
Oleh karena itu, menjadi sangat penting bahwa ketiga fenomena itu menjadi bahan Seruan Ramadhan MUI Kabupaten Bondowoso Nomor 22/MUI.KAB/V/2017 tertanggal 17 Mei 2017, demi ketenangan dan kekhusyukan beribadah. Dan saya yakin semua ormas keagamaan juga menyerukan hal serupa.Tentunya, diharapkan Seruan Ramadhan ini diindahkan dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Dan ketiga,mentalitas peduli sesama.Di bulan Ramadhan, sangat dianjurkan berderma untuk orang lain dengan zakat fitrah dan mal (harta), infaq, shodaqoh dan lain sebagainya. Ada penjelasan bahwa “Bulan Ramadhan tergantung pada langit dan bumi, dan tidak diangkat kepada Allah kecuali dengan berzakat fitrah”. Tetapi jangan riya’ (pamer) dengan mengundang media–cetak dan elektronik–agar meliput orang-orang yang antri berdesak-desakan untuk menerima amplop zakat itu, misalnya.
Memberi makanan-minuman untuk berbuka puasa (ifthar-ta’jil) juga amat bernilai pahala, karena dalam sebuah hadits, “Siapa memberi makan orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti orang yang berpuasa tersebut, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikit pun juga.”
Puasa juga sarana untuk menahan diri–karena memang puasa salah satu maknanya adalah imsak (menahan)–dari perilaku yang merugikan diri sendiri dan orang lain. Seperti menahan nafsu perut, terlebih lagi di bawah perut, karena banyak perbuatan yang tidak berprikemanusiaan disebabkan oleh keduanya. Bahkan, “Yang paling sering menyebabkan manusia masuk neraka adalah dua lubang: mulut dan kemaluan,” sabda Rasulullah.
Juga menahan nafsu lisan dan tulisan, utamanya di medsos, agar tidak menebar ujaran kebencian, hoax, fitnah, ghibah (mengumbar aib orang lain), dan namimah (mengadu domba), karena “Muslim–yang sebenarnya–itu adalah orang yang orang-orang Muslim yang lain selamat dari ulah mulut dan tangannya”, demikian Rasul memberikan tuntunan.
Demikian pula menahan nafsu amarah untuk selalu menang sendiri dan minta dihormati. Oleh karena itu, orang berpuasa tidak perlu minta perhatian dan penghormatan dari orang yang tidak berpuasa, karena ia  sudah sangat terhormat di “mata” Allah. Bukankah Allah telah memutuskan bahwa “Puasa hanya untuk-Ku, dan Aku yang akan membalasnya”?
Semoga spirit dan berkah Ramadhan bisa mewarnai 11 bulan berikutnya. Karena salah satu tanda diterimanya amal ibadah di bulan Ramadhan, adalah istiqomah (konsistensi) beribadahnya di luar Ramadhan. Semoga berkah!

                                               ————– *** —————

Tags: