Meneladani Prinsip Hidup Polisi Hoegeng

Resensi 16 - 1 - 2015Judul buku  : Hoegeng
Penulis    : Aris Santoso, dkk
Penerbit  : Bentang Pustaka
Tahun terbit  : 2014 (Edisi Revisi)
Tebal    : xviii + 342 Halaman
Harga    : Rp 59.000,-
ISBN    : 978-602-7888-00-5
Peresensi   : Richa Miskiyya
Mahasiswa Magister Administrasi Publik Universitas Diponegoro Semarang.

Saat ini citra pejabat publik sedang terpuruk, maraknya kasus korupsi yang dilakukan oleh para pejabat publik menjadikan kepercayaan masyarakat menurun.
Akan tetapi, tak semua pejabat publik memiliki peringai yang buruk dan memiliki keinginan untuk melakukan korupsi, salah satunya adalah Hoegeng, mantan Kapolri yang memiliki pribadi yang jujur, tegas, anti korupsi hingga akhir hayatnya.
Nama Hoegeng memang sudah tidak asing lagi di telinga rakyat Indonesia, ia dikenal sebagai polisi yang jujur, bahkan Almarhum KH. Abdurrahman Wahid menyebutkan jika hanya ada tiga polisi jujur di Indonesia, yaitu patung polisi, polisi tidur, dan Hoegeng.
Hoegeng memang memiliki integritas dan prinsip hidup yang kuat, sejak kecil ia memang memiliki cita-cita menjadi seorang polisi yang baik dan jujur.
Saat diangkat sebagai Kepala Direktorat Reskrim Kantor Polisi Sumut (Polda Medan), pada awal 1956, Hoegeng menolak semua fasilitas yang disediakan oleh sekelompok pengusaha. Waktu itu Medan memang dikenal sebagai lumbung penyelundupan dan perjudian yang mendapat banyak backing dari pejabat dan aparat. (halaman 47).
Hoegeng tak segan mengeluarkan semua perabot mewah hadiah para pengusaha Medan dari rumah dinasnya, perabot mewah itu diletakkannya begitu saja di pinggir jalan, ia melakukan semua itu karena Hoegeng selalu ingat akan pesan ayahnya.
“Kita sudah kehilangan harta dan segala-galanya, Geng. Yang tinggal hanya nama baik, itu saja yang perlu di pelihara.” (halaman 47).
Kecintaan Hoegeng terhadap institusi Kepolisian memang tak bisa diragukan, bahkan ia rela mundur dari jabatan Menteri/Sekretaris Kabinet Inti masa Pemerintahan Soekarno dan kembali ke barak Kepolisian sebagai Deputi Kapolri bagian operasi. Hoegeng tak mempermasalahkan turunnya jabatannya dari Menteri menjadi Deputi Kapolri, karena memang hati dan jiwanya ada di Kepolisian.
Ketika sudah menjadi Kapolri pada tahun 1968, sikap Hoegeng pun tidak jumawa, ia tak pernah menerima uang selain gajinya sebagai Kapolri. Hoegeng juga tidak pernah merasa malu untuk turun tangan sendiri mengambil alih tugas teknis seorang polisi, misalnya ketika terjadi kemacetan di sebuah perempatan, Hoegeng pun dengan ikhlas menjalankan tugas sebagai polantas dengan menggunakan baju dinas Kapolri (halaman 77).
Banyak gebrakan-gebrakan yang dilakukan oleh Hoegeng, beberapa di antaranya adalah menangani kasus Sum Kuning dan Robby Tjahjadi yang melibatkan backing aparat dan pejabat.
Dalam kasus pemerkosaan Sum Kuning tahun 1970 yang melibatkan anak aparat dan pejabat, setelah keputusan pengadilan terhadap kasus ini, Hoegeng tetap berupaya menyelidiki lagi kemungkinan penyelewengan yang terjadi dalam aparatnya (halaman 96).
Kasus Robby Tjahjadi, gembong penyelundupan mobil mewah, juga menjadi kasus yang dibongkar oleh Hoegeng, namun tak lama setelah kasus tersebut Hoegeng diberhentikan dari jabatan Kapolri secara mendadak dengan alasan peremajaan. Kabar yang berhembus, pemberhentian Hoegeng erat kaitannya dengan kasus Robby Tjahjadi (halaman 102).
Setelah tak lagi menjabat sebagai Kapolri, Hoegeng tetap bertahan dengan prinsip hidupnya untuk selalu jujur dan tak mengambil apa yang bukan haknya. Hoegeng hanya punya rumah tumpangan dan uang pensiun.
Kondisi ini pun membuat iba sejumlah Kapolda bekas anak buahnya hingga mereka sepakat untuk iuran sejumlah uang untuk membelikan sebuah mobil Holden Kingswood untuk diberikan pada Hoegeng.
Awalnya Hoegeng tak mau menerima mobil tersebut, namun akhirnya Hoegeng bersedia menerima setelah diyakinkan jika mobil tersebut hasil iuran anak buahnya.
Sisi Lain Hoegeng
Setelah Hoegeng pensiun, ia tak memiliki harta, yang ia miliki hanya rumah yang masih menumpang dan uang pensiun saja. Risiko hidup jujur yang berakibat kesulitan ekonomi pun harus diterima keluarga Hoegeng, namun hal itu tak membuat mereka berputus asa. Hoegeng dan istrinya pun terus menekuni hobinya melukis untuk mencukupi kebutuhan keluarganya (halaman 154).
Hoegeng memang mempunyai hobi melukis dan bermain musik, bahkan ia juga bergabung bersama grup musik The Hawaiian Seniors dan sering tampil di TVRI, satu-satunya stasiun televisi kala itu.
Salah satu prinsip yang terus dipegang Hoegeng hingga akhir hayatnya adalah, “Memang baik menjadi orang penting, tetapi yang lebih penting menjadi orang baik.” (halaman 191).
Selain berisi biografi Hoegeng, buku ini juga berisi tulisan dari sahabat dan keluarga yang mengenal dekat sosok Hoegeng. Buku ini patut dibaca tak hanya oleh para pejabat publik maupun aparat kepolisian, tetapi juga masyarakat luas yang ingin meneladani prinsip hidup Hoegeng yang senantiasa disiplin, tegas, jujur, dan melawan berbagai macam ketidakadilan di Indonesia.

                                                 ———————— *** ————————–

Tags: