Meneladani Spirit Belajar Para Imam Mazhab

Buku Para Imam MazhabJudul Buku      : Mengungkap Rahasia Cara Belajar Para Imam Madzhab
Penerjemah    : Yanuar Arifin
Penerbit      : DIVA Press
Cetakan      : I, 2015
Tebal      : 220 halaman
ISBN        : 978-602-255-946-7
Peresensi  : Hendra Sugiantoro
Pegiat Pena Profetik Yogyakarta

Di kalangan umat Islam, ada empat imam mazhab yang namanya sangat populer. Buku ini menyajikan ulasan riwayat hidup dan spirit belajar mereka, sehingga reputasi keilmuannya diakui dunia. Karya-karya mereka dijadikan rujukan laku ibadah bagi umat Islam di seantero jagat.
Imam mazhab yang pertama adalah Abu Hanifah. Ia merupakan seorang tabi’in atau generasi muslim awal setelah generasi sahabat Nabi Muhammad SAW. Lahir pada tahun 80 Hijriyah di Kufah, Irak, Abu Hanifah semasa kecil mendampingi ayahnya sebagai pedagang kain sutra. Profesi ini ditekuninya ketika menginjak remaja. Tidak seperti pedagang lainnya, kehausannya terhadap ilmu begitu besar. Selain menimba ilmu Al-Qur’an, ia juga tekun mempelajari hadits.
Semasa muda, ia sempat belajar ilmu kalam dan ushuluddin. Namun, seiring berjalannya waktu, Abu Hanifah mengalihkan fokus untuk belajar ilmu fikih. Ulama yang dipilihnya adalah Hammad bin Abi Sulaiman al-Asy’ari, imam ahli fikih di Irak. Ia berguru kepada Hammad selama 18 tahun (hlm. 33-34). Selain itu, Abu Hanifah juga menyerap ilmu dari ulama lainnya, seperti Sa’id bin Jubair, ‘Atha’ bin Abi Rabah, Nafi’ bin Abdillah al-Qarsyi, Muhammad al-Baqir, Abdullah bin al-Hasan, Ja’far ash-Shadiq.
Dalam belajar, Abu Hanifah piawai memanajemen waktu. Ia memilih waktu usai Subuh sampai menjelang Zhuhur untuk belajar di majelis ilmu. Kesibukan kerja dilakukannya selepas shalat Zhuhur. Pada malam hari, ia juga menggunakan waktunya untuk belajar. Bahkan, sebuah riwayat menyebutkan bahwa ia seringkali tidur dengan durasi waktu yang pendek. Abu Hanifah aktif mencatat segala hal yang bersumber dari perkataan ulama maupun dari kitab-kitab yang dibacanya. Sebuah riwayat menyatakan bahwa Abu Hanifah tidak bisa jauh dari pena dan kertas (hlm. 59).
Imam mazhab yang kedua adalah Malik bin Anas. Pendiri mazhab Maliki ini lahir pada tahun 93 Hijriyah di Madinah. Ia dibesarkan di tengah keluarga yang sangat mencintai ilmu. Malik bin Anas telah menghafal Al-Qur’an dan banyak hadits saat masih belia. Agar fokus mengkaji ilmu, Malik bin Anas diorientasikan ibunya, Aliyah, untuk belajar ke beberapa ulama. Pada mulanya, ia belajar pada Rabi’ah ar-Ra’yi, seorang ulama fikih dan ahli hadits. Untuk lebih memperdalam hadits, ia belajar kepada Ibnu Harmuz dan Ibnu Syihab az-Zuhri. Meskipun dikenal memiliki daya ingat yang kuat, Malik bin Anas juga rajin mencatat apa yang telah dihafalkannya. Dalam petuahnya, ia pernah berkata, “Ilmu itu adalah cahaya yang hanya dapat dicapai dengan hati yang takwa dan khusyuk.”(hlm. 79).
Imam mazhab ketiga adalah Syafi’i. Lahir sebagai anak yatim pada tahun 150 Hijriah di Ghaza, Palestina, ia dibawa ibunya ke Mekah untuk belajar ilmu Al-Qur’an dan hadits. Ia juga berkesempatan ke Madinah dan berguru kepada Malik bin Anas dan ulama-ulama lainnya. Syafi’i tak letih mengembara mencari ilmu ke berbagai kota. Ia sempat menyinggahkan diri di Irak dan belajar kepada Muhammad bin al-Hasan, seorang murid Abu Hanifah. Dari proses belajar itu, Syafi’i mengusung dan mengajarkan fikih yang merupakan gabungan fikih Madinah dan fikih Irak yang menjadi karakter mazhabnya (hlm. 126).
Imam mazhab yang keempat adalah Ahmad bin Hanbal. Ia lahir di Baghdad pada 164 Hijriyah. Sebagaimana Syafi’i, ia juga terlahir yatim. Ibunya mengarahkannya untuk menempuh jalan ilmu. Pada usia 15 tahun, ia tertarik untuk mempelajari ilmu hadits dari Husyaim bin Basyir bin Abi Khazim al-Wasithi, ulama hadits di Baghdad. Saat usia 20 tahun, ia memutuskan untuk mengembara ke luar Baghdad. Beberapa kota yang pernah disinggahinya antara lain Kufah, Basrah, Hijaz, Wasith, dan Shan’a. Selain memperoleh banyak hadits, ia belajar kepada banyak ulama di kota-kota tersebut. Syafi’i adalah salah satu guru dari Ahmad bin Hanbal.
Dari Syafi’i, ia memperoleh nasihat, “Barangsiapa mempelajari Al-Qur’an akan menjadi orang terhormat. Barangsiapa mempelajari fikih akan meraih derajat yang tinggi. Barangsiapa mempelajari hadits, maka argumentasinya menjadi kuat.” Ahmad bin Hanbal pun mempelajari fikih para sahabat dan para tabi’in serta menghimpun fatwa-fatwa mereka (hlm. 185). Dalam pengembaraannya menimba ilmu, Ahmad bin Hanbal tak lupa mencatatnya. Ia berkata, “Aku akan membawa pena dan tinta ini hingga ke liang kuburku.”. Ia juga tekun menghafal. Konon, ada sejuta hadits dihafalkannya. Kitabnya, Al-Musnad, adalah karya apik dari pendiri mazhab Hambali ini.
Buku ini menginspirasi siapa pun untuk tekun menuntut ilmu, terutama ilmu yang memberi kemaslahatan bagi umat. Dari para imam mazhab, kita bisa menimba keteladanan terkait niat yang benar dalam belajar, tradisi membaca dan menulis, tidak puas mendapatkan ilmu dari satu ulama, dan tidak enggan mendatangi majelis ilmu. Menuntut ilmu merupakan kewajiban setiap muslim tanpa mengenal usia.

                                                                                                     ——————- *** ———————

Tags: