Menelusuri Wilayah Majapahit Melalui Peta Kuno Belanda

Pusaka-pusaka kuno yang pernah di temukan di Sungai Brantas di Kabupaten Jombang. [Arif Yulianto]

Wilayah Selatan Brantas di Jombang Diperkirakan Sebagai TRYK Madjapait
Jombang, Bhirawa
Wilayah hutan Majapahit pada masa dahulu diduga terletak di selatan Sungai Brantas di Kabupaten Jombang, Jatim. Hal ini merujuk pada sebuah peta kuno berbahasa Belanda yang menyebutkan kata TRYK Madjapait berada di selatan Sungai Brantas yang secara geografis, wilayah tersebut saat ini masuk wilayah Kabupaten Jombang.
Sementara, kata TRYK juga digunakan pada peta tersebut untuk penulisan TRYK Van Gressic di wilayah utara Brantas di atas tulisan Het Prinsdom Van Soerabaja. Kemudian, gambar layaknya sebuah Kedaton Majapahit di peta itu diperkirakan terletak di sekitar daerah yang ditulis dengan tulisan Djapan.
Posisi Djapan terletak di sebelah selatan-timur dari TRYK Madjapait di peta itu. Dengan adanya petunjuk dari peta ini, diduga pembukaan hutan Majapahit oleh Raden Wijaya (Raja Majapahit Pertama) dilakukan di daerah selatan Brantas di Kabupaten Jombang dan bukan di Tarik, Sidoarjo.
Di dalam peta yang oleh jurnalis media ini masih ditelusuri pihak dan tahun pembuatannya ini, tulisan TRYK Madjapait berada di sebelah selatan Sungai Brantas tepat berawal dari Brantas yang mengalir dari selatan hingga berbelok ke arah timur. Jika disesuaikan dengan kondisi saat ini, titik tersebut diperkirakan berada di Kecamatan Megaluh, Tembelang, hingga Kesamben yang berada di timur Kabupaten Jombang. Diduga, titik ‘Tryk Majapahit’ ini juga mencakup daerah-daerah selatan Kecamatan Megaluh seperti wilayah Kota Jombang dan sekitarnya hingga mengarah ke timur sampai dengan Kecamatan Mojoagung, Jombang saat ini.
Sebagai ‘Daerah Majapahit’, tentu wilayah-wilayah di atas memiliki fungsi penting saat pemerintahan Kerajaan Majapahit. Di sepanjang tepi Sungai Brantas kala itu diperkirakan berdiri pelabuhan-pelabuhan untuk lalu lintas pendistribusian barang dari dan menuju Majapahit.
Seperti pernah ditulis media ini sebelumnya, di Desa Jatiwates, Kecamatan Tembelang, Kabupaten Jombang pernah ditemukan sebuah Kendi Susu peninggalan masa keemasan Kerajaan Majapahit. Penemuan tersebut terjadi sepuluh tahun yang lalu oleh pencari pasir yang menggali tanah di kebun warga setempat. Di sekitar lokasi penemuan Kendis Susu juga terdapat banyak pecahan-pecahan bata kuno berukuran besar. Kendi Susu itu saat ini disimpan di rumah warga setempat.
Adanya bata kuno yang masih utuh berukuran panjang sekitar 20 sentimeter, lebar 20 sentimeter, dan tebal sekitar 6,5 sentimeter. Menurut Arkeolog Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jatim (Jatim), Wicaksono Dwi Nugroho, Kendi Susu dan ukuran bata yang ada, menunjukkan benda-benda tersebut merupakan ciri benda yang berasal dari era Majapahit.
“Kendi susu abad 14 (Masehi). Majapahit keemasan. Bentuk kendi susu di temukan juga di Asia Tenggara seperti Kamboja, Vietnam, Thailand, dan Cina. Gaya seni tembikar abad 14-15 Masehi,” ujar Wicaksono.
Warga Jatiwates bernama Mohammad Adi Irmawan mengungkapkan, selain pernah ditemukan Kendi Susu dan benda-benda kuno lain di desanya yang berjarak satu kilometer di selatan Sungai Brantas, ia juga mengaku pernah mendapatkan beberapa benda pusaka berbagai bentuk dari para pencari benda kuno di Sungai Brantas. Dua benda pusaka yang ia simpan itu yakni, keris yang diperkirakan berasal dari era Kerajaan Singosari dan sebuah tombak yang diperkirakan berasal dari era yang lebih tua dari era Singosari. Benda-benda itu diperkirakan ditemukan di sepanjang Sungai Brantas antara Kecamatan Megaluh hingga Tembelang.
Meski begitu, hingga saat ini, masih belum diketahui secara pasti di mana sebenarnya titik di mana terdapat pelabuhan utama zaman Majapahit di Sungai Brantas di Jombang. Peneliti masih meyakini bahwa, pusat pelabuhan itu berada di daerah Canggu, Mojokerto.
Selain di Jatiwates, Tembelang, Jombang, di Desa Kesamben, Kecamatan Kesamben, Kabupaten Jombang yang juga terletak di selatan Sungai Brantas juga terdapat banyak sekali peninggalan-peninggalan kuno. Seperti yang ada di pemakaman Dusun Ngembul, Desa Kesamben. Di sekitar area pemakaman setempat hingga persawahan yang berjarak sekitar 200 meter ke selatan dari makam, masih ditemukan pecahan-pecahan bata, gerabah hingga keramik kuno. Menurut Wicaksono Dwi Nugroho, ukuran bata kuno yang ada di area makam yang memiliki ukuran panjang 38 sentimeter merupakan ciri bata pra Majapahit.
Sementara, pecahan-pecahan keramik yang ada diidentifikasi merupakan peninggalan Dinasti Song hingga Dinasti Yuan. Adanya pecahan-pecahan keramik (porselin) dan tembikar menurut Wicaksono, di daerah tersebut dulunya terdapat pemukiman kuno. Dinasti Song merupakan dinasti di China yang eksis pada tahun 960 sampai dengan tahun 1279 Masehi. Selain itu, di daerah ini juga terdapat benda-benda kuno terbuat dari batu andesit yang dibentuk seperti lumpang maupun bentuk lainnya. “Kalau banyak porselin dan tembikar, ya pemukiman kuno,” kata Wicaksono.
Sekadar diketahui, dari pemakaman Dusun Ngembul menuju Sungai Brantas hanya berjarak sekitar 300 meter saja. Sementara Jarak antara Desa Kesamben, Kecamatan Kesamben dengan Desa Jatiwates, Kecamatan Tembelang terpaut sekitar 8 kilometer.
Menurut Kepala Desa Kesamben, Aris Priyo Wasono, di peta blok desa, area pemakaman Dusun Ngembul, Desa Kesamben dan sekitarnya disebut sebagai ‘Area Situs’. Dia menerangkan, sebelum menjadi Dusun Ngembul, dusun tersebut dulunya bernama Dusun Tawangsari. Cerita ini didapatkannya dari cerita yang berkembang di masyarakat Dusun Ngembul.
“Tanah Situs, di peta blok tahun 1990. Situsnya ndak jelas mas, cuma di peta blok itu bunyinya Tanah Situs. Dan di sini memang ndak dikenakan pajak, bebas pajak,” kata Aris.
Dia menceritakan, sekitar tahun 1980-an, di sekitar lokasi di barat pemakaman pernah juga ditemukan perhiasan di dalam Cupu kuno. “Setelah Cupunya dipecah, perhiasannya kelihatan. Dan perhiasan itu sekarang dibawa ke museum di Jakarta. Selain itu, kalau orang sini menggali kubur itu ditemukan bata. Batanya itu tersusun rapi juga,” papar Aris.
Keberadaan peradaban kuno di selatan Sungai Brantas di Kabupaten Jombang ini juga dijelaskan oleh sejahrawan Jombang, Dian Sukarno. Dian Sukarno yang sudah pernah menulis tentang sejarah-sejarah desa di Kabupaten Jombang dalam beberapa buku ini menerangkan, ada nama-nama desa di Kabupaten Jombang yang berasal dari era Majapahit seperti, Wirosobo (Wirasaba) yang saat ini menjadi daerah Mojoagung.
“Karang Bulak, itu sekarang (berubah menjadi) Gambiran (Kecamatan Mojoagung), Wewetih sekarang Watudakon (Kecamatan Kesamben), Segada atau Sagada, itu sekarang Segodorejo (Kecamatan Sumobito), itu bukti desa-desa Majapahit,” rinci Dian Sukarno.
Desa-desa di selatan Brantas di Wilayah Kabupaten Jombang mulai Kecamatan Megaluh ke arah timur menuju Mojokerto menurut dia, juga memiliki sejarah kental era Airlangga hingga era Majapahit.
Selain di Dusun Ngembul, Desa Kesamben, 1 kilometer ke arah timur yakni di Dusun Ngerco, Desa Pojokrejo, Kecamatan Kesamben, Kabupaten Jombang juga pernah ditemukan sebuah arca sekitar tahun 1980-an. Jarak lokasi penemuan dengan Sungai Brantas hanya sekitar 100 meter saja. Jika di runtut menuju timur lagi, di Desa Blimbing, Kecamatan Kesamben, Kabupaten Jombang juga terdapat peninggalan era kuno.
Di depan rumah salah seorang warga Desa Blimbing misalnya, di tempat itu terdapat tumpukan bata-bata kuno. Jarak antara lokasi itu dengan Sungai Brantas bahkan hanya berjarak sekitar 20 meter saja. Di timur lokasi itu tepatnya di punden desa setempat juga terdapat batu-batu andesit berbagai bentuk. Ada beberapa di antaranya berbentuk seperti kursi.
Selain itu, berjarak sekitar 5 kilometer dari Desa Kesamben ke arah barat, terdapat pula desa yang bernama Jatiduwur. Desa ini diperkirakan merupakan desa tua yang sudah ada pada era Kerajaan Majapahit. Dari beberapa tulisan disebutkan, desa ini pernah disinggahi rombongan Pasukan Bhayangkara yang dipimpin Bekel Dipo (Gajah Mada) saat melarikan Raja Jayanegara dari pusat Kraton Majapahit di Trowulan, Mojokerto menuju utara Sungai Brantas ke daerah Bedander (Kabuh, Jombang) ketika terjadi pemberontakan Ra Kuti (1319) Masehi.
“Ketika penyelamatan (Raja Jayanegara), Gajah Mada ini dibantu seorang loyalis Singosari yang namanya Ki Ageng Jatiduwur. Sebelumnya Gajah Mada ndak mengenal. Tapi karena sempat diberitahu oleh Begawan Santyas Mentri, loyalisnya Prabu Kertanegara waktu Operasi Cakrawala Mendala atau Ekspedisi Pamalayu. Ki Ageng Jatiduwur itu hidup sangat lama, sejak era Singosari sampai Majapahit, Ki Ageng Jatiduwur membantu penyelamatan (Jayanegara) dibantu Sapta Sandi Baya itu, untuk melindungi Prabu Jayanegara, sehingga menyeberang ke Desa Badander,” terang Dian Sukarno. [Arif Yulianto]

Tags: