Menepiskan Godaan Netralitas TNI

Wahyu Kuncoro

Oleh :
Wahyu Kuncoro SN
Wartawan Harian Bhirawa 

Kegamangan dan kekhawatiran akan netralitas Tentara Nasional Indonesia (TNI) selalu hadir setiap menjelang pelaksanaan hajatan politik baik pemilihan kepala daerah (Pilkada) dan apalagi Pemilihan Presiden (Pilpres). Kekhawatiran ini tentu tidak berlebihan. Sejarah, pernah mencatat betapa rezim penguasa acap memanfaatkan TNI untuk ikut berpolitik. Implikasinya, adalah selalu muncul kecemasan akan ada upaya pelibatan TNI dalam ranah politik.
Bagi TNI sendiri, tentu sorotan yang selalu diarahkan tersebut harus dibaca secara positif sebagai bentuk kontrol agar TNI lebih berhati-hati karena sedikit saja terseret atau terlibat dalam politik maka akan meruntuhkan bangunan kepercayaan publik terhadapnya.
Kita sungguh percaya, secara kelembagaan TNI akan terus menjaga netralitasnya dalam politik. Namun kita juga tidak boleh menutup mata bila masih ada suara-suara yang meragukan netralitas TNI. Keraguan yang muncul tentu juga bukan tanpa sebab. Sebagai contoh, dalam Pilkada serentak 27 Juni 2018 yang lalu, netralitas TNI dan Polri sempat memancing polemik menyusul statemen mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang secara terbuka mengungkapkan indikasi tidak netralnya TNI dalam penyelenggaraan Pilkada serentak. Apa yang disampaikan SBY hemat penulis tentu juga tidak boleh diabaikan begitu saja. Setidaknya tengara itu menjadi warning kepada siapa saja agar tidak membawa-membawa institusi TNI dalam politik praktis. Peringatan itu bisa jadi berangkat dari realitas dalam Pilkada serentak kemarin yakni ada beberapa purnawirawan dan bahkan perwira tinggi aktif di TNI ikut berlaga dalam pilkada.
Berkaca dari itu, kalau dalam pelaksanaan Pilkada saja, kekhawatiran akan ketidaknetralan TNI muncul, maka bukan tidak mungkin kekhawatiran serupa bahkan lebih besar akan muncul dalam pelaksanaan pesta demokrasi yang lebih besar yakni Pilpres 2019 tahun depan. Apalagi secara faktual dalam Pilpres 2019 mendatang, di masing-masing kubu pasangan Prabowo/Sandiaga Uno dan Jokowi/Makruf Amin melibatkan purnawiran TNI menjadi anggota tim suksesnya. Kondisi tersebut tentu mau tidak mau akan melahirkan peluang untuk mengkaitkannya dengan lembaga TNI.
Menjaga Netralitas TNI
Bahwa terlibatnya beberapa purnawirawan TNI untuk menjadi tim sukses di kedua kubu adalah realitas yang tidak bisa dibantah. Namun, yang juga harus ditegaskan adalah bahwa keiikutsertaan mereka dalam tim sukses pasangan Capres/Cawapres juga tidak lantas bisa diartikan sebagai ikut sertanya gerbong TNI dalam berpolitik.
Kita harus belajar dari penyelenggaraan Pilkada serentak kemarin yang secara faktual mempertontonan aparat TNI dan juga Polri telah berperan dalam menjaga agar pilkada dan pemilu bisa berjalan aman dan damai. Profesionalitas dan netralitas prajurit masih sangat dijunjung tinggi. Lantaran itu, rasanya kita perlu menaruh harapan dan kepercayaan bahwa TNI dan Polri juga akan menjaga netralitasnya dalam Pilpres mendatang. Maka sudah menjadi tugas kita untuk sama-sama menjaga agar TNI tidak ikut diseret-seret dalam pertarungan politik yang ada. Sungguh sangat mahal harganya bila politik harus mengorbankan netralitas TNI.
Kita sungguh berharap, ucapan, imbauan, dan juga komitmen pimpinan tertinggi TNI untuk menjaga netralitasnya benar-benar bisa diterapkan dalam pelaksanaan di lapangan. Netralitas TNI dalam politik ini sejatinya merupakan amanah dari reformasi internal TNI sesuai Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Merujuk amanah UU ini, TNI harus bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis. Dalam pedoman mengenai netralitas itu juga dijabarkan implementasi netralitas TNI dalam pemilu dan pilkada yakni mengamankan penyelenggaraan sesuai dengan tugas dan fungsi bantuan TNI kepada Polri. Netral dengan tidak memihak dan memberikan dukungan kepada salah satu kontestan pemilu/pilkada.
Dari pedoman itu dan penegasan pimpinan TNI, kita sangat yakin dan harus percaya bahwa TNI akan netral. Netralitas tidak boleh hanya dalam pidato. Dibutuhkan parameter dan panduan konkret, apa yang dimaksudkan netralitas politik TNI dan Polri tersebut serta siapa yang akan mengawasi perilaku anggota TNI dan Polri di lapangan. Politik TNI dan Polri adalah politik negara. Anggotanya tidak punya hak memilih ataupun dipilih. TNI dan Polri tetaplah harus bisa memastikan deteksi dini berjalan dan tetap menjaga situasi keamanan di dalam negeri. TNI dan Polri haruslah tetap tegak berdiri di atas semua golongan dan mampu menjaga perekat kemajemukan bangsa.
Sikap netral adalah keharusan agar demokrasi secara prosedural dapat terjaga walaupun kualitas hasil pemilu adalah hal yang lain. Sebagai negara yang sudah diakui dunia sebagai negara demokrasi terbesar, kita perlu menjaga agar tidak sampai ada noda. Sikap netralitas TNI ini tentu dapat mendorong proses demokrasi berjalan dengan baik.
Tanggung Jawab Bersama
Bahwa menjaga netralitas TNI adalah agenda bersama. Tidak adil rasanya, kalau netralitas hanya disandarkan dan menjadi tanggung jawab institusi TNI semata. Lantaran itu, semua pihak harus bersama-sama menepiskan peluang masuknya godaan terhadap netralitas TNI.
Godaan netralitas TNI paling kuat biasanya akan bersumber pada rezim yang sedang berkuasa. Apalagi dalam Pilpres tahun depan juga melibatkan incumbent dalam kontestasi politik Pilpres. Artinya, sorotan terhadap incumbent menjadi sangat tajam. Kita tentu masih ingat betul ketika Presiden Joko Widodo meminta jajaran TNI agar ikut ‘mengampanyekan’ keberhasilan pembangunan kepada masyarakat di manapun saat bertugas, serta merta langsung disambut dengan kritikan bahwa presiden telah ikut menyeret TNI untuk ikut memihak penguasa.
Munculnya polemik tersebut tentu sangat bisa dipahami. Dalam situasi normal, aparat negara baik TNI, Polri dan Aparat Sipil Negara (ASN) menganpanyekan keberhasilan pembangunan tentu wajar adanya, namun dalam situasi politik seperti saat ini tentu langkah-langkah yang awalnya wajar menjadi dibaca sangat politik. Oleh karena itu, memang dibutuhkan kearifan semua pihak agar tidak menyeret TNI dalam situasi yang sulit.
Godaan politik berikutnya yang bisa mempengaruhi netralitas TNI berasal dari para politisi. Kita tentu tidak bisa memungkuiri bahwa kedua kubu yang akan bertarung dalam Pilpres mendatang tentu akan berjuang keras untuk memenangkan kontestasi politik. Namun demikian, tentu publik sangat berharap agar jangan sampai masing-masing kubu mencoba menggoda TNI untuk ikut terserat ke dalam politik. Lantaran itu, kedua kubu harus berkomitmen bahwa netralitas TNI adalah yang terbaik bagi bangsa ini. Kalau sampai TNI terseret maka itu akan jadi bencana bagi masa depan demokrasi kita.
Sumber godaan terhadap netralitas TNI berikutnya adalah berasal dari internal TNI. Ini biasanya terjadi ketika pimpinan di tubuh TNI memiliki hasrat politik yang besar sehingga akhirnya bisa menyeret kelembagaan TNI. Namun kita harus terus mendorong semua pihak agar tidak mencoba-coba menggoda para pimpinan TNI ikut berpolitik praktis. Netralitas TNI merupakan jiwa, nafas, dan sikap setiap prajurit. Bahwa netralitas TNI sesungguhnya tidak hanya terkait dengan pesta demokrasi namun juga dalam kehidupan kesehariannya, baik didalam kedinasan maupun kehidupan sosial kemasyarakatan yakni TNI melayani semuanya. Ini sudah final, tidak bisa ditawar-tawar, bahkan diragukan maupun dipertanyakan lagi. Tugas TNI hanya mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara.
Singkatnya, menjaga netralitas TNI sesungguhnya harus menjadi komitmen kita bersama. Tidak boleh ada satu pihakpun yang mencoba bermain-main dengan netralitas TNI. Sebab, bila itu terjadi maka sejarah demoktrasi kita kembali set back ke belakang. Dan yang akan menanggung kemudian adalah para anak cucu kita yang akan kembali tertatih membangun dari awal pondasi demokrasi yang kini sesungguhnya mulai tegak berdiri.
————- *** ————

Rate this article!
Tags: