Meneropong Masa Depan Perda Bankummaskin

Freddy Poernomo

Freddy Poernomo

Oleh:
Freddy Poernomo
Ketua Komisi A DPRD Jawa Timur

The law should be a shield for the weak and powerless, not a club for the powerful.
Gov. Roy Bames, 2004 Equal Justice Conference
Perda Provinsi Jawa Timur Nomor 9 Tahun 2012 tentang Bantuan Hukum Untuk Masyarakat  Miskin (Perda Bankummaskin) lahir 1 Oktober 2012 serta berlaku efektif sejak 2 November 2012.
Kehadiran Perda Bankummaskin adalah perintah Pasal 19 ayat (2) UU No.16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum (UU Bankum). Diusianya yang baru dua tahun lebih Perda Bankummaskin harus direvisi karena harus menyesuaikan dengan aturan di atasnya. Lahirnya PP No. 42 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum (PP No. 42/2013) menjadi dasar dilakukannya perubahan Perda Bankummaskin.
Berdasarkan surat Menteri Dalam Negeri tanggal 11 April 2014 Nomor 188.34/1839/SJ perihal klarifikasi peraturan daerah disebutkan bahwa berdasarkan hasil kajian Tim terhadap Perda Bankummaskin ditemukan Pasal 19 ayat (3) bertentangan dengan Pasal 18 sampai dengan Pasal 20 PP No. 42/2013 yang pada intinya menyatakan bahwa pemberian bantuan hukum dapat dibiayai dari APBN atau APBD, selain itu pendanaan dapat berasal dari hibah atau sumbangan dan/atau sumber pendanaan lain yang sah dan tidak mengikat. Dengan hanya satu pasal Perda Bankummaskin yang ditemukan bertentangan dengan PP No. 42/2013 menjadikan Perda Bankummaskin sangat luar biasa jika mengingat kelahirannya yang mendahului PP No. 42/2013. Kini DPRD Jawa Timur telah menyiapkan Raperda Perubahan Perda Bankummaskin untuk segera disahkan menjadi Perda. Jika nanti Raperda dimaksud telah ditetapkan menjadi Perda berimplikasi terdapat dua Perda yang mengatur tentang bantuan hukum untuk masyarakat miskin yaitu Perda Bankummaskin dan Perda perubahannya.
Hadirnya Perda Bankummaskin dan Perda perubahannya tidak menjadikan persoalan bantuan hukum bagi masyarakat miskin di Jawa Timur selesai. Perda atau peraturan tertulis lainnya apapun bentuknya hanya mampu memuat perintah, larangan, atau janji-janji namun ia tidak akan pernah mampu mewujudkannya dalam kenyataan. Perda Bankummaskin dan Perda perubahannya hanya memberikan dasar hukum penyelenggaraan bantuan hukum sedangkan dalam kenyataan pelaksanaannya efektif atau tidak sangat bergantung kepada para pelaksananya.
Para pelaksana Perda Bankummaskin dan Perda perubahannya yang mampu mewujudkan cita-cita yang termuat dalam Perda Bankummaskin dan Perda perubahannya itu.
Dalam rangka menjamin Perda Bankummaskin dan Perda perubahannya berjalan baik serta mencegah terjadinya penyimpangan terdapat beberapa hal penting yang harus diperhatikan dan diawasi pelaksanaannya secara ketat. Pertama, memastikan yang menerima bantuan miskin benar-benar masyarakat miskin. Sesuai dengan nama Perdanya maka hanya masyarakat miskin saja yang berhak mendapatkan bantuan hukum. Memastikan bahwa yang menerima bantuan hukum benar-benar masyarakat miskin sangat penting untuk mencegah pemberian bantuan hukum yang salah alamat karena menyangkut penggunaan uang negara.
Belajar dari program-program pemerintah yang menyangkut masyarakat miskin seringkali yang terjadi adalah penyimpangan-penyimpangan dalam praktik. Misalnya program Bantuan Langsung Tunai (BLT) atau program Kartu Indonesia Sehat (KIS) dan Kartu Indonesia Pintar (KIP) sering diterima oleh mereka yang justru secara ekonomi mampu dan beberapa masyarakat miskin justru tidak menikmati program-program itu. Selain itu, Kartu Keluarga Miskin atau Surat Keterangan Miskin dari Lurah atau Kepala Desa sebagai bukti bagi masyarakat miskin pun sangat mudah diperoleh.
Biasanya Kepala Desa atau Lurah begitu ada warganya yang meminta surat keterangan miskin langsung diberikan saja asal sudah ada pengantar RT/RW. Padahal yang sering terjadi mereka yang tidak termasuk kategori miskin tetapi meminta surat keterangan miskin dengan tujuan mendapatkan pelayanan gratis dari pemerintah.
Kedua, mendahulukan penyelesaian masalah hukum di luar pengadilan. Bantuan hukum adalah hak asasi manusia oleh sebab itu setiap masyarakat miskin yang terjerat perkara hukum baik perkara pidana, perdata, maupun tata usaha negara berhak mendapatkan bantuan hukum. Namun hendaknya bantuan hukum tidak selalu dimaknai sebagai proses hukum di pengadilan (litigasi).
Perkara hukum khususnya perkara perdata yang dapat diselesaikan secara musyawarah mufakat hendaknya diselesaikan dengan cara musyawarah mufakat lebih dahulu dibandingkan dengan proses litigasi. Gugatan di pengadilan baru dilakukan jika musyawarah untuk mufakat tidak mencapai kesepakatan. Jadi pemberi bantuan hukum tampil lebih dahulu sebagai juru damai dan jika gagal baru ke pengadilan.
Ketiga, siapa pemberi bantuan hukum. Pemberi bantuan hukum adalah lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan tetapi tidak setiap mereka dapat memberikan bantuan hukum. Hanya mereka yang telah memenuhi persyaratan Pasal 8 ayat (2) UU Bankum saja yang dapat bertindak sebagai pihak pemberi bantuan hukum yaitu: berbadan hukum, terakreditasi berdasarkan UU Bankum, memiliki kantor atau sekretariat yang tetap, memiliki pengurus, dan memiliki program Bantuan Hukum.
Pembatasan ini penting untuk mencegah pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab yang hanya ingin mendapatkan dana dari pemerintah daerah dengan berkedok melakukan pemberian bantuan hukum kepada masyarakat miskin.
Oleh karena itu pada saat pemberi bantuan hukum mengajukan permohonan dana bantuan hukum harus dicek secara teliti apakah telah memenuhi ketentuan Pasal 8 ayat (2) UU Bankum atau tidak. Jika tidak maka pengajuan dana bantuan hukum harus ditolak. Keempat, transparansi penggunaan dana bantuan hukum. Tansparansi penggunaan dana bantuan hukum sangat penting mengingat pelaksanaan bantuan hukum dibiayai dari APBD. Publik harus diberikan akses seluas-luasnya untuk dapat mengetahui apakah uang rakyat itu dipergunakan untuk tujuan yang semestinya. Transparansi untuk mencegah penyelewenangan penggunaan dana bantuan hukum oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Kelima, pertanggungjawaban penggunaan bahan hukum. Setiap penggunaan dana yang berasal dari APBN/APBD harus dipertanggungjawaban tidak terkecuali penggunaan dana bantuan hukum. Pertanggungjawaban dilakukan dengan membuat laporan pertanggungjawaban tiap penggunaan dana bantuan hukum kepada pihak yang memberikan dana bantuan hukum. Laporan pertanggungjawaban penggunaan dana bantuan hukum harus dapat diuji kebenarannya dan jika tidak maka akan dikenakan sanksi. Keenam atau terakhir, sanksi terhadap pelanggaran. Sanksi menjadi bagian penting dari tiap peraturan untuk menjamin bahwa peraturan itu ditaati. Perda Bankummaskin telah mengatur sanksi bagi pelanggar pelaksanaan bantuan hukum yang wujudnya sanksi administrasi, sanksi pidana, atau sanksi perdata. Sanksi administrasi dapat berupa teguran tertulis atau pengembalian semua bantuan dana yang telah diterima oleh pemberi bantuan hukum.
Sanksi pengembalian dana bantuan hukum penting dalam rangka mengembalikan kerugian dana APBD yang telah digunakan oleh pemberi bantuan hukum secara tidak bertanggungjawab. Sanksi pidana merujuk kepada UU Bankum yang dapat berwujud pidana penjara atau denda. Sanksi perdata berupa gugatan ganti kerugian jika pengembalian dana tidak dilakukan.
Sebaik apapun aturan hukum dibuat tidak akan berjalan dengan baik jika tidak dilakukan penegakan hukum yang baik. Hal itu pun berlaku untuk Perda Bankumaskin beserta Perda perubahannya. Penegakan hukum untuk menjamin bahwa suatu peraturan implementatif dalam praktik.

                                                                                ——————— *** ——————–

Tags: