Meneropong Pendidikan 5.0

Oleh :
Ardi Wina Saputra
Dosen Universitas Katolik Widya Mandala Madiun

Saat ini, hampir semua negara sedang sibuk menata kebijakan untuk mengantisipasi gelombang tsunami teknologi informasi yang begitu besar. Peta persebaran kebijakan tersebut ditulis dalam penelitian Mayumi Fukuyama bertajuk ‘Society 5.0: Aiming For A New Human Centered Society’ (2018). Berdasarkan temuan tersebut, Eropa didominasi oleh kebijakan industri 4.0, China menggunakan kebijakan Made in China 2025, Asia Tenggara menggunakan kebijakan Smart Cities, Jepang menggunakan kebijakan Masyarakat 5.0, dan Amerika Utara menggunakan kebijakan industrial internet. Hal yang menarik adalah Jepang, saat semua benua dan negara masih merespons 4.0, Jepang sudah berani menggunakan kebijakan masyarakat 5.0. Negara ini mulai mencetuskan sistem itu sejak tahun 2016, dan sekarang dalam tahap mengaplikasikannya.
Latar belakang dibentuknya masyarakat 5.0 ini karena Jepang sedang mengantisipasi dua permasalahan serius dalam hal kependudukan, yaitu rendahnya angka kelahiran dan meningkatnya populasi orang dewasa. Hal ini berdampak pada merosotnya jumlah tenaga kerja. Di sisi lain, biaya pengamanan meningkat sekaligus merosotnya kualitas infrastruktur. Saya mencoba melakukan riset pada tiga mahasiswi Jepang dari Kanda University, yaitu Atsumi Fuji, Nozomi Imazeki, dan Miyono. Ketika ditanya tentang angka kelahiran Jepang, mereka sepakat mengatakan bahwa sedang menurun. Hal ini disebabkan oleh wanita Jepang usia produktif saat ini tidak memprioritaskan menikah. Andaikan ada yang menikahpun, mereka tidak ingin memiliki anak. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, tapi yang paling berpengaruh adalah faktor pendidikan dan pekerjaan. Banyak wanita Jepang yang memilih untuk menjadi wanita karir dan banyak rumah tangga muda yang didominasi oleh pasangan berkarir sehingga mereka lebih memilih fokus pada karir demi memenuhi kebutuhan rumah tangganya daripada memiliki anak. Ketika memiliki anak, mereka harus memikirkan tentang biaya pengasuhnya karena mereka tidak ada waktu untuk mengasuh anaknya. Ketiga narasumber ini juga memprediksi bahwa sepuluh hingga dua puluh tahun lagi, Jepang akan didominasi oleh orang tua. Sedikitnya kaum muda dan anak-anak membuat Jepang akan dihuni oleh kaum lansia. Infrastruktur makin lama juga makin lapuk dan berkurang nilai gunanya, sehingga membutuhkan perawatan. Inilah yang membuat Jepang berpikir keras untuk mengupayakan masyarakat 5.0.
Untuk merealisasikan hal itu, maka diperlukan strategi konkret di lapangan. Fukuyama mengatakan bahwa strategi memanfaatkan masyarakat 5.0 ini ada lima yaitu (1) memperpanjang usia atau angka harapan hidup, (2) merealisasikan teknologi yang mendukung mobilitas, (3) menciptakan cadagan produksi hingga konsumsi untuk generasi selanjutnya, (4) membangun dan menciptakan infrastruktur kota yang menyenangkan, dan (5) pemanfaatan teknologi finansial.
Mewujudkan masyarakat 5.0 tentu tidak serta merta dan instan. Salah satu faktor yang perlu dibentuk adalah kesadaran untuk menjadi masyarakat yang cerdas (smart society). Kesadaran tersebut dapat diperoleh melalui jalur pendidikan. Oleh sebab itu, Jepang mulai menerapkan pendidikan 5.0. Perdana menteri Jepang, Shinzo Abe mengatakan hal yang penting terkait pendidikan Jepang pada Konferensi Internasional Masa Depan Asia pada tahun 2017. Menurutnya, siswa Jepang akan meninggalkan pembelajaran tradisional yang mengedepankan antara nilai dan mata pelajaran. Mereka akan fokus pada pembelajaran memaksimalkan teknologi.
Perubahan pola pikir sistem pendidikan menuju pendidikan 5.0 direspons oleh pakar pendidikan, Matia Rufenacht (2017), dia mengatakan bahwa jutaan anak tidak tahu tujuan sekolah. Mereka yang berada dalam posisi ini tentu sekolah karena perintah, bukan karena kesadaran. Kesalahan dimulai dari pembagian antara akademis dan non akademis, gelar dan non gelar, pintar dan tidak pintar. Rufenacht juga menegaskan bahwa kecerdasan saat ini sudah tidak lagi ingatan karena semua sudah disediakan google. Kecerdasan yang dibutuhkan pada abad 21 adalah kapasitas penalaran deduktif (umum ke khusus) ditambah dengan skemata. Perubahan drastis pada dunia kerja membuat pendidikan harus beradaptasi. Pada pendidikan tingkat menengah, anak harus diyakinkan pada cita-citanya. Belajar harus punya cita-cita, tujuan, dan kemampuaan mengopreasikan teknologi untuk mewujudkan cita-cita itu.
Kebijakan masyarakat cerdas 5.0 yang dilakukan oleh Jepang dapat direalisasikan apabila sistem pendidikanya diubah. Meskipun demikian hal ini harusnya dapat direspons dengan bijak oleh negara-negara sekitar, termasuk Indonesia. Menyiapkan masyarakat cerdas 5.0 sesungguhnya bukan berdasarkan pada gengsi atau tergagap-gagap arus informasi, melainkan bergantung pada kebutuhan masing-masing negara. Riset yang mendalam serta prediksi permasalahan kependudukan merupakan upaya antisipasi cerdas yang dilakukan oleh Jepang dalam mewujudkan masyarakat 5.0. Namun, perlu kita ingat bahwa permasalahan masing-masing negara berbeda. Kebijakan masyarakat 5.0 terjadi karena rendahnya angka kelahiran di Jepang. Fakta ini tentu berbanding terbalik dengan kondisi Indonesia yang mengalami bonus demografi hingga tahun 2045. Penguatan SDM menjadi hal utama dalam mewujudkan Indonesia cerdas. Infrastruktur dan teknologi baiknya digunakan sebagai penunjang apabila kesadaran kritis telah terbentuk. Infrastruktur yang dibangun tanpa memperhatikan SDM hanya akan menjadi senjata makan tuan bagi pemiliknya. Oleh sebab itu, mewujudkan pendidikan Indonesia menjadi lebih memerdekakan manusia merupakan PR besar bagi pemerintah guna mewujudkan Indonesia cerdas (cermat dan emas) pada 2045.

———– *** ————-

Rate this article!
Meneropong Pendidikan 5.0,5 / 5 ( 1votes )
Tags: