Meng-amankan Stok Beras

Karikatur Ilustrasi

Puncak musim kemarau, menandai tanaman pangan palawija mulai memasuki masa panen. Pada saat sama, stok beras di lumbung milik rakyat (sampai gudang Bulog) akan mulai dikuras untuk konsumsi. Boleh jadi, harga beras akan berfluktuasi berdasar supply and demand. Maka pemerintah (terutama Bulog) dan pemerintah daerah, seyogianya waspada gejolak harga pangan. Memastikan kecukupan cadangan pangan dengan harga normal.
Ironisnya, belum terdapat data valid ketersediaan beras. Juga data hasil panen raya padi sepanjang bulan Januari sampai Maret (2018) lalu. Terdapat komunikasi (informas data) yang tidak tuntas, sehingga masih memicu spekulasi impor. Padahal telah berlaku selama beberapa dekade, stok beras bukan hanya pada Divre Bulog. Melainkan juga di gudang milik pedagang besar. Hanya sebagian kecil yang tersimpan di lumbung desa maupun di rumah petani.
Normalnya hasil panen 2018, akan menghasilkan sekitar 68 juta ton gabah kering giling. Akan menjadi beras sebanyak 38,76 juta ton. Sedangkan konsumsi beras (setelah revisi perhitungan konsumsi yang makin beragam) sekitar 31 juta ton beras. Dus, masih surplus beras sebanyak 7,7 juta ton. Lazimnya bisa di-ekspor, atau dihemat sebagai cadangan manakala terjadi paceklik.
Namun terdapat komunikasi (informas data) yang tidak tuntas, sehingga masih memicu spekulasi impor. Konon panen sejak bulan Januari hingga Maret (2018), hanya menghasilkan sebanyak 15,5 juta ton beras. Hanya sekitar 51,62% total kebutuhan beras nasional. Konsumsi beras per-kapita sebanyak 114,6 kg (kilogram) per-tahun. Maka untuk 263 juta jiwa penduduk Indonesia dibutuhkan 30.130 juta ton (dibesarkan menjadi 31 juta ton).
Impor masih menjadi keniscayaan mengamankan ketersediaan beras. Namun sesungguhnya juga terdapat ekspor beras (khusus jenis premium) oleh berbagai daerah. Ekspor beras premium diperkirakan mencapai 200 ribu ton. Sebesar 85% ekspor beras memenuhi permintaan Malaysia, sebanyak 170 ribu ton per-tahun. Sisanya, ke negeri tetangga di kepulauan Pasifik Selatan.
Silang data terjadi pada Kementerian Pertanian, berkait hasil panen raya. Terutama luas areal ladang padi, dan perkiraan panen. Realitanya, pengadaan beras dalam negeri oleh Bulog, hanya sekitar 820 ribu ton. Sedangkan stok beras di gudang Bulo mencapai 2,3 juta ton. Bulog kewalahan menampung beras impor, harus menyewa gudang lain (termasuk gudang TNI dan Polri). Ongkos sewa gudang di berbagai daerah mencapai Rp 45 milyar.
Nilai total impor beras (sejak Januari hingga Agustus) tahun 2018 mencapai US$ 700 juta, untuk beras sebanyak 1,5 juta ton. Beras (medium) impor lebih murah dibanding harga beras lokal. Hal itu disebabkan ongkos produksi beras dalam negeri sangat mahal. Misalnya di China, ongkos produksi beras hanya US$ 0,331. Serta di Filipina US$ 0,292. Sedangkan ongkos produksi beras dalam negeri mencapai US$ 0,369.
Ketika di-ekspor, di negara tujuan (jika ke Indonesia) harga beras China sekitar Rp 6.500,- per-kilogram. Serta beras Filipina seharga Rp 6.100,-. Di tingkat pasar, ditambah Rp 2.000,- (ongkos transportasi dan keuntungan pedagang) menjadi Rp 8.500-an. Harga tersebut lebih murah dibanding HET (Harga Eceran Tertinggi) beras Indonesia, rata-rata sebesar Rp 9.450,-. Dus, pemerintah memperoleh keuntungan dengan impor beras. Masyarakat juga bisa membeli beras dengan harga lebih murah.
Maka menga-aman-kan ketersediaan beras, bagai simalakama. Pemerintah (dan daerah) perlu meng-inovasi pola ke-pertani-an. Sehingga menghasilkan lebih banyak beras premium (untuk ekspor yang berharga mahal). Jika hasil panen bisa menghasilkan beras premium lebih besar untuk ekspor, maka impor beras medium tidak masalah!.

——— 000 ———

Rate this article!
Meng-amankan Stok Beras,5 / 5 ( 1votes )
Tags: