Mengajar Harus dengan Hati

khoirun-nisak-spdjpgOleh
Khoirun Nisak, S.Pd
Guru SD TPI Gedangan, Sidoarjo

Beredarnya pemberitaan tentang dugaan seorang guru memberikan hukuman kepada siswa berupa mengulum cicak telah menjadi viral di dunia maya. Apabila memang demikian adanya maka dunia pendidikan akan kembali tercoreng. Menjadi penting untuk diketahui sejauh mana batas kewajaran sebuah hukuman kepada siswa.
Kejadian hampir sama terjadi berupa peristiwa pemukulan yang dilakukan oleh TR, guru wali kelas V SDN Langensari 04, Ungaran Barat, Kabupaten Semarang, terhadap seorang muridnya, SFS, yang ternyata turut disaksikan oleh teman-temannya seisi kelas (kompas.com, 14/10/2016).
Guru yang sedianya menjadi panutan justru menjadi pelaku tindak kekerasan terhadap siswa. Sanggupkah kita apabila harus dilekati atribut baru semacam itu sebagai “pelaku tindak kekerasan terhadap siswa”. Ironis bukan, ketika seorang guru seharusnya menjadi tempat berlindung dan tempat mengunduh kasih sayang namun ternyata berlaku kebalikannya. Dengan melakukan kekerasan, akhirnya guru justru menjadi ketakutan terbesar bagi siswanya.
Berbagai jenis kekerasan yang acapkali terjadi di lingkungan sekolah, tidak hanya berupa kekerasan fisik semata. Namun, juga berupa kekerasan secara psikis. Kekerasan secara fisik meninggalkan bekas yang terlihat. Namun, kekerasan secara psikis seringkali tidak sadari.Diantaranya, berupa makian dan celaan.
Dengan melontarkan makian dan celaan, siswa telah mendapatkan kekerasan psikis. Padahal celaan ataupun makian memiliki dampak lebih buruk apabila dibandingkan dengan kekerasan fisik. Luka yang ditimbulkan akan lebih membekas dalam jiwa dan tidak dapat diobati layaknya luka fisik semacam pukulan atau cubitan.Dan sungguh tragis apabila hal ini dilakukan di kalangan pendidik.
Penulis setuju sekali dengan pernyataan bahwa “Bullying tak bisa lagi dianggap sebagai kondisi wajar yang dialami pada masa kanak-kanak. Semakin hari, tindakan ini semakin meluas dan berdampak sangat buruk bagi kesehatan fisik ataupun mental anak-anak usia sekolah,” kata para ahli dari The National Academies of Sciences, Engineering, and Medicine (kompas.com, 16/11).
Janganlah heran ketika mendapati siswa yang dikategorikan sebagai anak yang pendiam, disiplin dan bertanggung jawab. Tiba-tiba pada kelas-kelas selanjutnya mereka menjadi pemberontak kepada gurunya. Atau ketika didapati siswa mendapatkan prestasi bagus ketika di kelas kecil, namun akhirnya menurun drastis pada kelas-kelas selanjutnya bahkan menjadi siswa dengan prestasi paling rendah.
Dampak lain yang timbul ialah membelajarkan kepada siswa secara tidak langsung mengenai tindak kekerasan. Seringkalididapati siswa berkumpul hanya untuk saling adu kekuatan fisik dengan temannya dibandingkan dengan kegiatan berkumpul siswa untuk sebuah diskusi atau membaca buku.
Sesungguhnya, patut disadari bahwa pengembangan setiap anak didik haruslah dilakukan sesuai dengan masanya. Menurut Rousseau dalam usia 5-12 tahun, anak didik berada pada masa bandel (savage stage). Masa ini ditandai dengan perasaan yang dominan berupa keinginan untuk main-main, loncat – loncat, lari-lari dan sebagainya. (Sarwono, 2002 : 22).
Lebih lanjut lagi, menurut Ginsburg dalam laporannya dinyatakan dengan tegas bahwa kegiatan bermain akan mendorong anak-anak untuk menggunakan seluruh kemampuan kreatifnya. (Hendrasjah, 2011:67).
Memaksakan siswa agar mampu memahami semua materi yang diajarkan, membawa dampak stress.Siswa kekurangan waktu untuk bermain dan harus menghafal sekian banyak rumus dalam pembelajaran matematika, misalnya.
Contoh lain, memaksakan anak harus dapat membaca dan menulis lancar dalam usia 5 hingga 7 tahun dengan harapan mereka tidak kesulitan untuk menjalani tingkatan sekolah dasar. Tindakan semacam ini, dapat dikategorikan sebagai upaya pemusnahan hak mereka untuk mendapatkan kegembiraan dan kesenangan di masa kanak-kanaknya. Padahal, sebagian besar dunia anak adalah dunia bermain.
Tidak perlu kita mengalami dilemma antara target krikulum dan memenuhi kebutuhan bermain anak. Guru dapat mengemas pembelajaran sekaligus menjadi sebuah permainan yang menarik untuk mereka ikuti. Kesalahan yang umumnya dilakukan para guru ialah memasukkan siswa ke dalam dunia orang dewasa.
Sebagai pendidik dan pengajar marilah kita berusaha semaksimal mungkin untuk masuk pada dunia anak . Dengan segala kebutuhan bermainnya, dengan segala kebutuhan untuk disayangi dan diperhatikan. Buanglah egoisme kita sebagai orang dewasa. Karena hal ini hanya akan membawa anak didik pada situasi yang tidak menyenangkan bagi mereka.
Sudah selayaknya seorang guru harus memiliki keteladanan, kasih saying, dan keikhlasan (3K). Segala perilaku dan ucapan guru merupakan teladan bagi siswanya. Guru berkata kasar, mencela atau memaki akan memberikan teladan untuk sebuah pribadi yang suka merendahkan orang lain. Di sekolah, guru adalah orangtua kedua bagi siswa. Apabila demikian adanya, maka perlakukan siswa seperti anak sendiri. Karena, mereka hanya butuh kasih sayang untuk memaksimalkan kemampuan yang dimiliki.
Atribut ‘digugu dan ditiru’ melekat erat dalam profesi guru. Agar atribut tersebut tidak tercederai oleh hasutan nafsu dan amarah, Marilah bersama menjadi pendidik yang mengajar dengan hati. Memiliki ketulusan luar biasa demi kejayaan generasi penerus bangsa. Kuncilah serapat-rapatnya semua masalah dan kegalauan yang kita miliki pada saat mengajar. Nikmatilah semua keceriaan dan kegembiraan siswa. Berpikir positif. Bahwa satu masa kelak mereka bisa membuka jalan menuju Ridho Allah yang maha luas.

                                                                                                                    ————- *** ————-

Rate this article!
Tags: