Mengakhiri Ironi Pengelolaan Energi

wahyu kuncoro snOleh :
Wahyu Kuncoro SN
Wartawan Harian Bhirawa
Alumnus Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya
Selama ini, pemerintah maupun DPR terlihat tak serius melaksanakan pengendalian, penghematan, dan konversi bahan bakar minyak (BBM). Para pemimpin dan wakil rakyat tak hanya mementingkan orang kaya, tapi juga berilusi Indonesia kaya minyak. Jangankan melaksanakan kebijakan energi secara keseluruhan, program yang sudah jelas pun mangkrak. Konversi BBM ke bahan bakar gas (BBG) tak berjalan lancar. Sedangkan Sistem Monitoring dan Pengendalian (SMP) lewat  radio frequency identification (RFID), layu sebelum berkembang. Ketidakseriusan pemerintah dan DPR juga terlihat dari minimnya program perbaikan sarana dan prasarana angkutan umum. Alhasil, kemacetan tetap terjadi di mana-mana. Masyarakat terpaksa masih menggunakan kendaraan pribadi, mobil maupun sepeda motor, karena angkutan umum tak nyaman dan tak memadai.
Melaksanakan konversi BBM ke BBG memang bukan perkara mudah. Perlu sejumlah prasyarat, seperti pasokan gas harus terjamin, jaringan infrastruktur memadai, kebijakan harga yang jelas, serta didukung kebijakan yang bersifat nasional. Tetapi kebijakan itu harus secepatnya dimulai. Jika dikalkulasi, penggunaan BBG jauh lebih hemat dari BBM. Sebuah studi menyatakan, dengan mengonversi BBG ke BBM untuk transportasi, secara nasional bisa menghemat sekitar Rp 60 triliun per tahun atau sekitar Rp 40 triliun per tahun untuk wilayah Jawa, dan kurang lebih Rp 17 triliun per tahun untuk wilayah Jabodetabek.
Studi ini harusnya menjadi pijakan pemerintah untuk secepatnya melakukan konversi BBM ke BBG. Bukankah masalah konversi juga pernah dilakukan pemerintah untuk mengalihkan konsumsi minyak ke elpiji? Jika ada kemauan politik, tidaklah sulit untuk melakukan konversi BBM ke BBG. Jika tak mungkin dilakukan secara nasional karena keterbatasan infrastruktur, konversi BBG bisa dilakukan secara bertahap. Langkah awal bisa dimulai dengan mewajibkan transportasi umum menggunakan BBG, selanjutnya pembangkit listrik, kendaraan pribadi, dan akhirnya meluas untuk konsumsi rumah tangga.
Untuk mengimplementasi kebijakan itu, perlu dibuatkan roadmap penggunaan gas yang terintegrasi. Perlu ada koordinasi antar-instansi, seperti Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), Perhubungan, Perindustrian, dan juga BUMN. Sangatlah disayangkan, negeri yang kaya sumber gas ini terus berkubang pada kemelut ketersediaan energi karena salah memilih kebijakan. Konversi BBM ke BBG harus dipercepat agar subsidi bisa dihemat dan dimanfaatkan untuk memperluas infrastruktur pipanisasi gas. Seiring dengan akan hadirnya pemimpin baru nanti, maka relevan kiranya untuk mendesakkan kembali program konversi BBM ke BBG. Inilah momentum yang tepat untuk mempercepat program konversi energi tersebut.
Ironi Pengelolaan Energi
Dari sejumlah ironi di negeri ini, masalah pengelolaan energi mungkin merupakan salah satu keanehan yang paling menyesakkan. Indonesia masuk dalam top 10 negara pemilik cadangan gas terbesar di dunia, dengan total cadangan lebih dari 170 triliun kaki kubik, tetapi selalu bermasalah dalam hal penyediaan energi.
Masalah listrik byar pet terus mengganggu aktivitas ekonomi. Salah satu sebabnya adalah masih banyaknya pembangkit  yang menggunakan bahan bakar minyak (BBM). Sementara itu, Singapura yang banyak mengimpor gas dari Indonesia listriknya menyala terang dari hasil pembangkit berbahan bakar gas. Tak hanya itu, banyak industri di Tanah Air produknya tidak kompetitif karena mahalnya tarif listrik akibat pembangkitnya menggunakan BBM. Sementara negara lain bisa menikmati tarif listrik lebih murah, padahal mereka mengimpor energi pembangkit, baik gas dan batubara, dari Indonesia.
Keganjilan lain adalah pengadaan bahan bakar gas (BBG) untuk sektor transportasi. Sudah berulang kali pemerintah dibuat pusing dengan tingginya konsumsi BBM yang melebihi kuota, anehnya, pemerintah terus saja sibuk berkutat mengkalkulasi bagaimana menurunkan subsidi BBM dengan mengalihkan kendaraan pribadi untuk menggunakan BBM nonsubsidi. Sebaliknya, pemanfaatan gas untuk transportasi tidak digarap serius.
Jika kita runut, berbagai permasalahan energi di negeri ini bersumber pada ketidaksiapan pemerintah mengkonversi BBM ke BBG. Pada masa lalu, memang Indonesia menjadi salah satu eksportir minyak. Tetapi kondisi sekarang jauh berbeda. Kita telah menjadi  importir bersih minyak dengan nilai impor 600.000 barel per hari. Harga minyak yang cenderung naik akan terus membuat pemerintah pusing karena berimplikasi pada pembengkakan subsidi.
Salah satu solusi untuk mengatasi masalah energi di tanah air adalah mengubah kebijakan energi dengan menggunakan sumber yang masih melimpah di Indonesia, yakni gas. Sayangnya, sebagian produksi gas tersebut justru diekspor ke negara lain. Pemanfaatan gas untuk kebutuhan dalam negeri sebenarnya sudah termaktub dalam Permen No 3 Tahun 2010. Permen itu menyebutkan, penggunaan gas bumi yang diprioritaskan untuk peningkatan produksi migas, industri pupuk, penyediaan listrik, dan industri lainnya. Sayangnya, permen itu tidak menyebutkan secara tegas untuk kebutuhan transportasi umum, padahal itu harusnya menjadi prioritas. Untuk itu, permen tersebut perlu direvisi agar cakupannya lebih luas, termasuk untuk mencukupi kebutuhan konsumsi gas rumah tangga.
Pemerintahan baru mendatang tentu harus serius bekerja dan tidak boleh lagi melakukan pembiaran mulai dari pembiaran subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang membengkak dan pengabaian pembangunan industri dasar hingga hilirisasi komoditas, akibatnya semua sektor terpukul. Jika pekerjaan rumah (PR) ini bisa diselesaikan pemerintah dengan baik, ekonomi Indonesia 2015 diprediksi tumbuh kembali di atas 6 persen, lebih baik dibanding 2014 yang diproyeksikan 5,5-5,8 persen. Sedangkan tahun lalu diperkirakan 5,7 persen, meleset jauh dari asumsi APBN Perubahan 2013 sebesar 6,3 persen.
Dalam sektor komoditas misalnya, ketentuan larangan ekspor bijih mineral mulai 12 Januari 2014 wajib diimplementasikan dengan baik. Penerapan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba) dipastikan menguntungkan Indonesia ke depan. Memang, larangan ekspor tambang mineral mentah tahun ini diperkirakan menghilangkan potensi ekspor US$ 4 miliar dan mendorong defisit neraca perdagangan bertambah jadi US$ 10 miliar. Namun, kebijakan tersebut akan meningkatkan ekspor mineral olahan menjadi dua kali lipat lebih, dari saat ini US$ 4,9 miliar menjadi sekitar US$ 9 miliar pada 2015. Dengan adanya pengolahan dan pemurnian bijih mineral di dalam negeri, penerimaan negara dari sektor pertambangan juga dipastikan naik signifikan mulai 2016, menjadi US$ 19 miliar. Bandingkan dengan penerimaan negara dari pertambangan pada 2014 yang hanya dipatok Rp 158,4 triliun (US$ 12,97 miliar). Bahkan, pada 2017 akan mencapai US$ 24 miliar seiring nilai industri pertambangan yang naik dua kali lipat. Selain itu, investasi smelter ratusan triliun rupiah akan membanjir, baik dari investor asing maupun lokal. Sedangkan untuk menambal defisit neraca perdagangan, pemerintah harus melaksanakan mandatori 10 persen biodiesel dari minyak sawit tahun ini. Penggunaan campuran biodiesel pada solar ini bisa menghemat impor BBM/minyak US$ 4 miliar tahun ini. Impor minyak bisa makin dipangkas jika pemerintah juga sungguh-sungguh melaksanakan konversi dari penggunaan BBM ke gas yang cadangannya jauh lebih banyak. Selain itu, program pemasangan radio-frequency identification (RFID) di kendararan bermotor dan stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) harus dijalankan segera, sehingga konsumsi BBM bersubsidi sesuai kuota dan penyelewengan dipangkas.
Bahkan, pemerintah harus berani merevisi subsidi bahan bakar yang sangat besar pada APBN 2014, yang mencapai Rp 210,73 triliun. Subsidi ini setidaknya bisa dipangkas separuh untuk membangun infrastruktur yang diperlukan, mulai dari pelabuhan, jalan, bandara, jaringan kereta api, hingga infrastruktur listrik dan pertanian/perkebunan. Dengan arus barang yang lancar dan biaya transportasi/logistik murah, daya saing dan kapasitas industri dalam negeri akan membesar. Ditambah dengan berbagai insentif pajak, kemudahan berinvestasi, dan kepastian hukum, investor asing dan lokal pun akan makin meningkatkan investasinya.  (habis)

Rate this article!
Tags: