Oleh :
Asri Kusuma Dewanti
Pengajar FKIP Universitas Muhammadiyah Malang
Belakangan ini rencana Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait pengalokasian dana haji ke pembangunan infrastruktur banyak menuai kontroversi di tengah-tengah masyarakat. Gagasan pengalokasian dana haji ke pembangunan infrastruktur oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) tersebut, tidak serta merta tanpa alasan. Presiden Jokowi melihat ada peluang memperoleh tambahan pendapatan bernegara dari pengelolaan haji dan umroh yang dilakukan oleh Kementerian Agama.
Terlebih, selama ini dana haji justru menjadi sasaran korupsi. Mantan Menteri Agama Suryadharma Ali termasuk orang yang melakukan korupsi dana haji. Supaya kejadian serupa tidak terulang lagi, Jokowi memiliki pandangan agar dana haji dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur.
Merujuk dari kalkulasi dana dari data Kementerian Agama menunjukkan per 2016 terkumpul dana haji hampir Rp90 triliun. Sayang sejuta sayang dana haji selama ini dibiarkan tidak terlalu produktif. Uang tersebut dibiarkan tidak membawa manfaat atau maslahat secara maksimal. Bisa dikatakan dana haji itu ditumpuk sia-sia. Bahkan pada suatu masa dana haji itu dikorupsi.
Memang, di satu sisi dana haji yang terkumpul mencapai puluhan triliun itu sangat menggoda untuk dimanfaatkan. Sedangkan di sisi lain, pemerintah yang minim dana untuk merealisasikan proyek infrastruktur melirik dana haji tersebut dapat dioptimalkan. Selain berguna untuk negara, juga dapat memberi hasil investasi lebih tinggi dibanding hasil investasi selama ini di sektor keuangan. Akan tetapi, bila dana haji diinvestasikan dalam proyek atau program ekonomi produktif, manfaat yang bisa dipetik jauh lebih besar lagi. Manfaat itu bukan cuma buat jemaah haji, melainkan juga buat rakyat bahkan negara.
Mencari solusi bersama
Malaysia menjadi contoh sukses pengelolaan dana haji melalui investasi. Di Malaysia investasi dana haji dikelola Lembaga Tabung Haji. Bila investasi dana haji di sektor produktif halal dari sisi hukum agama dan hukum negara serta membawa maslahat secara lebih luas, pemerintah dan para pemangku kepentingan tak perlu ragu untuk segera merancang realisasinya.
Sejak 1969, negara jiran kita itu menginvestasikan dana hajinya di berbagai sektor ekonomi, antara lain sektor perkebunan sawit dan properti. Hasil investasi digunakan untuk meningkatkan fasilitas buat jemaah haji. Jemaah haji Malaysia dengan ONH biasa mendapat fasilitas sekelas ONH plus.
Sektor perkebunan sawit Malaysia pun maju, sanggup bersaing dengan Indonesia. Begitupun dengan perekonomian negara tersebut, yang antara lain disumbang sektor perkebunan sawit, dalam tingkat tertentu lebih moncer daripada kita. Jalan pikiran seperti itu tampaknya yang melatarbelakangi Presiden Joko Widodo melontarkan gagasan dana haji diinvestasikan ke proyek atau program yang menguntungkan, semisal infrastruktur.
Kita berharap wacana investasi dana haji di sektor infrastruktur yang mengundang kontroversi tajam segera berakhir. Sekarang sudah ada BPKH yang khusus bertugas bagaimana mengelola dana haji semaksimal mungkin sehingga dapat memberi manfaat seluas-luasnya, bukan hanya kepada calon jamaah haji, melainkan juga masyarakat pada umumnya.
Timbulnya kontroversi tajam soal investasi dana haji memang tidak bisa dihindari karena selama ini masih banyak masyarakat yang belum paham ke mana saja dana besar itu diinvestasikan. Ini peringatan bagi BPKH untuk selalu mengedepankan keterbukaan dalam mengelola dana haji. Terlepas dari pro dan kontra terhadap keinginan pemerintah untuk menggunakan dana haji dalam pembangunan infrastruktur. Berikut ini sekiranya langkah terdekat yang bisa kita ambil soslusi bersama.
Pertama, idealnya semua pihak yang berkompeten harus duduk bersama membicarakan hal ini secara tuntas, apakah itu pemerintah, DPR, MUI dan elemen lainnya yang dianggap mewakili kepentingan jemaah haji tersebut. Janji bahwa dana yang diperuntukkan untuk infrastruktur tersebut nantinya akan memberi keuntungan, harusnya tidak dilihat sebagai janji politik. Artinya, keuntungan tersebut harus riil. Dan keuntungan tersebut harus dikembalikan kepada para jemaah haji yang berkaitan dengan penyelenggaraan ibadah haji ke tanah suci.
Kedua, bila dana haji ingin diinvestasikan tentunya harus dilakukan sesuai Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji. Pemerintah boleh saja berpendapat agar dapat tersebut bisa membantu infrastruktur pembangunan, namun harus diingat sebenarnya yang berkompeten untuk ‘memberdayakan’ dana haji itu adalah mereka yang menyumbang yaitu umat Islam yang telah secara ikhlas menyumbangkan dananya.
Ketiga, kalaupun untuk mengelola dana haji menjadi sebuah investasi produktif harusnya juga memikirkan kemanfaatan untuk para jemaah haji. Apakah itu berkaitan dengan pemondokan hajinya di tanah suci atau dalam hal memperkecil biaya haji yang selama ini dinilai cukup mahal.
Melalui ke tiga solusi terdekat itulah, besar harapan para stakeholder bisa berpikir jernih terkait pengelolaan dana ibadah haji, agar dana ini benar-benar bermanfaat keberadaannya. Terutama tanpa mengurangi skala prioritas adalah calon jamaan haji itu sediri, karena bagaimanapun juga calon jamaah hajilah pemilih dana yang harus menjadi perhatian utama.
———— *** ————-